Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Hari ini minggu, libur kuliah dan aku memutuskan untuk membantu Alesha membereskan kamar kostnya. Kamar yang biasa kita gunakan untuk menghabiskan waktu bersama.
Kamar ini tampak, mungkin karna jarang di bersihkan. Sesekali kita juga bercanda di sela sela aktifitas beres beres.
“Aku nggak nyangka kamu sepinter ini berantakin kamar,” godaku sambil tertawa.
Alesha melemparkan bantal ke arahku, namun aku berhasil menangkapnya.
"Kamu juga sama," jawabnya seraya pura-pura cemberut.
Di tengah suasana riang itu, aku iseng membungkusnya dengan selimut tebal yang terlipat di sudut kamar. Sebelum alesha sempat melawan, aku memeluknya erat hingga kami jatuh bersama di atas ranjang. Aku menggelitik pinggangnya, membuat tawanya pecah memenuhi ruangan.
"Farel, udah ah ! Kalau begini terus, kapan kita beresnya ?” ucapnya di antara tawa dan napas yang terengah-engah. Ia memukulku pelan di bahu.
Aku tertawa sambil melepaskannya.
“Iya, iya, bos. Mulai sekarang serius, deh.”
Kita kembali melanjutkan pekerjaan dengan lebih fokus. Aku membantunya menjemur baju yang baru selesai dicuci, lalu mencuci piring-piring kotor di wastafel.
Setelah itu, aku menyapu lantai sementara Alesha mengepel. Semua dilakukan dengan santai dan tak terburu-buru, diselingi percakapan ringan yang membuat suasana jadi terasa hangat. Alesha benar benar bisa mengalihkan dunia ku, dengan salsa pun aku tak pernah seperti ini.
Setelah beberapa lama akhirnya semua pekerjaan sudah selesai kita kerjakan, aku dan alesha sama-sama merebahkan badan di lantai karna lelah seraya merasakan hembusan AC yang dingin.
Aku menatap wajahnya yang kini terlihat segar tanpa sisa lelah, lalu tersenyum.
"Kamu capek ya ?" tanyaku seraya menyingkapkan rambut yang menutupi wajahnya.
"Lumayan." jawab alesha.
Aku mendekatkan wajah dan baru saja akan menciumnya, namun alesha menghindar seakan enggan di dekati.
"Kenapa ?" tanyaku heran.
"Maaf farel, aku lagi enggak mood." ucapnya seraya beranjak dan duduk.
Aku pun ikut duduk dan mendekat ke arah alesha.
"Sha, maaf." ucapku jadi merasa bersalah.
"Gak apa apa." jawabnya dengan wajah yang sedikit bete.
"Aku mau mandi." ucap alesha seraya berlalu ke kamar mandi.
Aku masih terdiam menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Suara gemericik air terdengar dari dalam. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada jarak di antara kami yang tak mampu kupahami.
Memang benar, siapa lah aku baginya ?
Setelah selesai, Alesha keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang terlihat basah. Wajahnya terlihat lebih segar, meskipun sorot matanya masih menyimpan sedikit sisa keengganan dari kejadian tadi. Aku segera bangkit dari dudukku.
Kini giliranku yang akan memakai kamar mandi. Saat hendak masuk, aku tak sengaja melihat pembalut di sudut rak wastafel. Seketika aku sadar, mungkin Alesha sedang datang bulan. Pantas saja tadi dia menolak ku.
Aku segera mandi, membiarkan air dingin membasuh tubuhku yang lelah sekaligus meredakan pikiran. Setelah selesai, aku berpakaian cepat dan keluar dari kamar mandi.
Alesha tengah duduk di ranjang seraya memeriksa ponselnya, wajahnya lebih tenang sekarang.
Aku mendekatinya dengan hati-hati.
"Sha," panggilku lembut.
Alesha mengangkat wajahnya.
"Kenapa?" tanyanya dengan nada datar, tapi tidak lagi terdengar dingin.
Aku tersenyum kecil.
"Kita jalan yuk."
Alesha menatapku sebentar, ragu-ragu.
"Jalan ke mana?"
"Terserah kamu mau ke mana. Cari tempat makan enak, atau cuma muter-muter naik motor. Yang penting jalan aja," jawabku.
Butuh beberapa detik sebelum akhirnya dia tersenyum tipis.
"Yaudah ayok." ucap alesha seraya langsung beranjak, aku melihat raut wajahnya sedikit berubah tak seperti tadi.
Kami berdua segera bersiap, dan beberapa menit kemudian sudah berada di atas motor. Aku mulai melajukan motorku pelan di jalan yang ramai oleh suasana Minggu sore.
Aku sengaja membiarkan Alesha memilih tujuan. Akhirnya, dia meminta kami berhenti di sebuah kafe kecil yang baru buka di dekat kampus.
Kita memesan minuman dan camilan ringan, lalu duduk di sudut ruangan dengan suasana yang tenang. Alesha terlihat mulai lebih nyaman, dan aku memanfaatkan momen ini untuk membicarakan kejadian tadi.
"Sha." ucapku pelan, alesha yang sedang menikmati camilan jadi menoleh.
"Kenapa ?" tanyanya.
"Yang tadi maaf ya." ucapku.
"Gak usah di bahas," jawab alesha.
"Oke, oke. Sorry." ucapku.
Malam hari, sepertinya alesha juga sudah puas jalan jalan, dia mengajakku untuk pulang dan beristirahat di kosannya.
Alesha terlihat lelah, mungkin bukan hanya karena aktivitas beres-beres tadi, tapi juga karena rasa tidak nyaman yang dirasakannya.
Aku duduk di tepi ranjang dan menatap kearahnya. Wajahnya tampak sedikit pucat, dan tangannya memegangi perut.
"Kamu kenapa, Sha ? Sakit ya?" tanyaku khawatir.
Dia mengangguk pelan.
"Perutku agak nyeri. Biasanya sih begini kalau hari pertama."
Aku memang tak pernah tau bagaimana rasa sakitnya datang bulan, tapi aku tahu cara yang bisa sedikit meredakan rasa sakit yang derita olehnya.
Aku berlalu ke dapur seraya mengambil botol kosong, lalu mengisinya dengan air hangat. Setelah itu, aku kembali ke kamar. Alesha hanya menatapku dengan wajahnya yang kebingungan.
"Ini buat kompres. Siapa tau bisa bantu." ucapku seraya duduk di sampingnya.
Dia tersenyum kecil, terlihat tersentuh.
"Kamu tahu dari mana sih ?"
"Ada deh," jawabku dengan nada bercanda.
Aku membungkus botol itu dengan handuk kecil agar tidak terlalu panas, lalu meletakkannya di perut Alesha dengan hati-hati. Dia meringis sedikit, lalu akhirnya terlihat lebih nyaman.
Kita jadi terdiam beberapa saat. Aku duduk bersandar di sisi ranjang, sementara Alesha tetap berbaring dengan botol kompres di perutnya. Tiba-tiba, dia meraih lenganku dan memeluknya erat.
"Makasih, farel," ucapnya pelan, suaranya terdengar lembut.
Aku menoleh dan menatap wajahnya yang mungkin lebih tenang di banding tadi.
Aku tersenyum seraya mengacak rambutnya pelan.
Suasana terasa sepi, saat ku toleh ternyata alesha tertidur. Aku hanya bisa tersenyum kecil, merasa lega, setidaknya aku bisa sedikit meringankan beban yang dia rasakan.
Aku masih duduk bersandar di tepi ranjang, sementara Alesha masih memeluk lenganku dengan keadaannya yang sekarang sudah terlelap.
Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat begitu damai, meski lelah. Aku tersenyum kecil, membenarkan posisi selimut agar tubuhnya tetap nyaman.
Namun, di tengah ketenangan itu, pikiranku tiba-tiba melayang. Aku teringat dengan seseorang. Yaitu alsa.
Wajahnya, suaranya, bahkan kenangan-kenangan lama yang pernah aku lewati mendadak muncul seperti bayangan.
Aku bertanya-tanya, bagaimana jika yang tertidur di sampingku saat ini adalah Salsa ? Bagaimana jika Salsa-lah yang bersandar padaku, tertawa bersamaku, atau bahkan berbagi kehangatan seperti ini ? Apa semuanya akan terasa lebih berarti ?
Aku menunduk, mencoba menepis bayangan itu. Tapi semakin aku melawan, semakin jelas rasa itu menyelimuti pikiranku.
Ada sesuatu tentang Salsa yang selalu sulit untuk kulupakan. Entah itu caranya tersenyum, atau mungkin harapan yang dulu pernah ku gantungkan padanya.
Namun, lamunan itu perlahan memudar ketika aku kembali menatap Alesha. Dia masih memeluk lenganku dengan erat, wajahnya bersandar lembut di bantal. Ada kehangatan yang nyata di sini, sesuatu yang tidak pernah kudapatkan dari Salsa.
Aku menarik napas panjang, salsa memang ada tapi dia tak peduli padaku. Tapi Alesha... dia ada di sini. Dia yang selalu mau berbagi tawa dan kelelahan, dia yang membuat aku merasa diterima tanpa harus menjadi orang lain.
Pikiranku tersentak oleh kenyataan itu.
Aku bodoh kalau terus membandingkan. Yang benar-benar ada untukku sekarang hanya Alesha. Dia yang bertahan di sisiku meskipun aku sering tidak peka. Mungkin selama ini aku hanya terjebak dalam bayangan Salsa yang sebenarnya dia tak pernah ada untukku.
Aku menatap Alesha sekali lagi. Dia menghela napas kecil, seperti mencari posisi yang lebih nyaman, tapi tidak melepaskan lenganku. Aku tersenyum tipis.
“Maaf, Sha,” bisikku pelan, entah untuk apa. Mungkin karena aku sempat melamun tentang Salsa, atau mungkin karena aku baru menyadari hanya alesha yang bisa memperlakukanku dengan baik tanpa memandang status hubungan.
Seharusnya aku sadar dari dulu, tak perlu aku menjatuhkan harga diri demi wanita yang tak pernah mencintaiku.