Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arman dan pak Arfan
Pagi itu, sinar matahari yang lembut masuk melalui celah-celah jendela rumah. Suara burung berkicau menyambut hari baru. Sasa terbangun lebih awal dari biasanya. Tubuhnya masih terasa lelah, tetapi hatinya ringan. Arman masih terlelap di sampingnya, napasnya teratur, wajahnya tampak damai. Sasa memutuskan untuk segera bangun dan memulai hari.
Di dapur, Sasa mulai menyiapkan sarapan sederhana. Telur dadar, nasi goreng, dan teh hangat menjadi pilihannya. Suara panci dan aroma masakan akhirnya membangunkan penghuni rumah.
“Wah, sudah bangun, Nak?” Ibu Rahayu muncul dari kamar dengan senyum di wajahnya. “Kok nggak istirahat dulu?”
Sasa tersenyum sambil terus mengaduk nasi goreng. “Nggak apa-apa, Bu. Kan enak kalau pagi-pagi bisa makan bareng.”
Arman muncul tak lama setelah itu, mengenakan kaos santai dan celana pendek. “Pagi, Sayang. Kamu masak apa pagi ini? Wangi Keesokan Harinya: Awal yang Hangat (Lanjutan)
Sore itu, setelah orang tua Arman kembali ke rumah mereka, suasana mulai tenang. Matahari perlahan turun ke ufuk barat, menyisakan langit jingga yang hangat. Di teras rumah, Pak Arfan duduk di kursi rotan dengan secangkir kopi hitam di tangan. Ia menikmati sore yang hening sambil sesekali melamun.
Tak lama kemudian, Arman keluar dari ruang tengah, membawa segelas teh yang tadi dibuatkan Sasa. Melihat Ayah mertuanya duduk sendiri, ia ragu sejenak sebelum akhirnya mendekat. "Ayah sendiri, nih? Boleh saya temenin?" tanyanya sambil menatap Pak Arfan.
Pak Arfan menoleh, tersenyum ramah. "Tentu, Man. Duduk sini. Udah selesai bantu Sasa beres-beres?"
Arman mengangguk, menarik kursi dan duduk di sebelah mertuanya. "Sudah, Yah. Tadi Sasa bilang mau istirahat sebentar di kamar."
Mereka berbincang ringan sejenak, membahas acara syukuran kemarin dan suasana rumah yang kembali tenang. Namun, beberapa menit kemudian, percakapan mulai mengarah pada topik yang lebih serius.
"Lusa, kamu berangkat jam berapa, Man?" tanya Pak Arfan dengan nada pelan, tetapi serius.
Arman meletakkan gelas tehnya di meja kecil di samping kursinya. "Pukul 10.00, Yah. Tapi besok saya rencana antar Sasa dulu ke rumah Ayah. Saya juga mau nginap di sana semalam, biar Sasa nggak sendirian."
Pak Arfan mengangguk pelan, menyesap kopinya sebelum menatap Arman dengan sorot mata penuh makna. "Bagus kalau begitu. Tapi ada yang Ayah ingin kamu ingat baik-baik, Man."
Arman menegakkan tubuhnya, memperhatikan dengan seksama.
"Kamu harus jaga kesehatan. Jangan terlalu forsir tenaga kamu untuk kerja. Pekerjaan memang penting, tapi keluarga jauh lebih penting," ujar Pak Arfan dengan nada lembut, tetapi tegas.
"Iya, Yah. Saya selalu ingat itu," jawab Arman, mencoba meyakinkan mertuanya.
Pak Arfan melanjutkan, suaranya sedikit lebih berat kali ini. "Ingat, Man, kamu sekarang punya istri yang sedang mengandung anakmu. Sasa itu anak perempuan Ayah satu-satunya. Kalau sampai terjadi apa-apa, Ayah nggak akan diam. Ayah tahu, rumah tangga nggak selalu mulus. Tapi kalau kamu sampai nggak menyayangi Sasa lagi, atau merasa nggak bisa bersama dia, kembalikan dia ke Ayah secara baik-baik. Seperti dulu waktu kamu memintanya dengan cara baik-baik."
Kata-kata itu menusuk hati Arman. Ia merasa seolah-olah Pak Arfan tahu sesuatu, meskipun pria tua itu tidak secara langsung menyinggung apa pun. Arman menundukkan kepala, mengusap tengkuknya dengan canggung.
"Iya, Yah. Saya janji akan selalu jaga Sasa. Saya nggak akan menyakitinya," ujar Arman dengan nada pelan.
Namun, hatinya terasa berat. Bayangan masa lalunya kembali menghantui—kesalahan besar yang hampir merusak segalanya. Arman teringat bagaimana ia pernah tergoda oleh sahabat Sasa, Caca, ketika hubungan mereka sedang diuji dengan berbagai masalah.
---
Kilasan Masa Lalu yang Menyakitkan
Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, hubungan Arman dan Sasa sempat berada di ujung tanduk. Saat itu, tekanan pekerjaan membuat Arman sering pulang larut malam. Sasa, yang masih beradaptasi dengan kehidupan baru sebagai istri, merasa diabaikan.
Di tengah situasi itu, Caca—sahabat Sasa sejak SMA—sering datang ke rumah mereka, awalnya untuk menemani Sasa yang sering merasa kesepian. Namun, tanpa disadari, hubungan antara Arman dan Caca mulai melenceng. Perhatian kecil, percakapan panjang, hingga momen-momen yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Pada suatu malam, Sasa memergoki mereka berdua berbicara dengan nada yang terlalu akrab di ruang tamu. Saat itu, tidak ada tindakan yang melampaui batas, tetapi cukup untuk membuat Sasa merasa terluka.
"Apa yang kalian lakukan?" suara Sasa bergetar, menahan tangis.
Caca segera bangkit, wajahnya pucat. "Sa, ini nggak seperti yang kamu pikirkan..."
Namun, Sasa tidak mau mendengar. Tatapannya penuh kekecewaan pada Arman.
---
Kesepakatan Rahasia
Pertengkaran besar terjadi malam itu. Sasa menangis semalaman, sementara Arman mencoba menjelaskan bahwa semuanya hanya kesalahpahaman. Meski akhirnya Sasa memutuskan untuk memaafkan, ia membuat satu syarat.
"Kita nggak akan pernah cerita soal ini ke siapa pun, termasuk orang tua kita. Biar ini jadi rahasia kita," ujar Sasa dengan nada dingin.
Arman mengangguk, merasa lega karena Sasa masih memberinya kesempatan. Namun, rasa bersalah terus menghantui.
---
Kembali ke Masa Kini
Pak Arfan tidak tahu apa-apa tentang masa lalu itu, tetapi ucapannya sore itu seolah menekan titik lemah Arman. Setelah beberapa saat hening, Pak Arfan meletakkan cangkir kopinya di meja dan menepuk bahu Arman.
"Ayah percaya sama kamu, Man. Jangan sampai Ayah salah menilai."
Arman mengangguk, tetapi dadanya terasa sesak. "Iya, Yah. Saya nggak akan mengecewakan Ayah."
Sore itu berlalu dengan percakapan ringan lainnya. Namun, bagi Arman, percakapan itu meninggalkan beban yang semakin berat di hatinya.
Di kamar, Sasa duduk di tepi ranjang, melihat Arman yang masuk dengan wajah murung. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya.
"Mas, kamu kenapa? Ayah ngomong sesuatu yang berat, ya?" tanyanya lembu
Setelah sekitar setengah jam mengobrol, Arman dan Pak Arfan beranjak dari teras rumah. Langit mulai menggelap, dan suara azan Maghrib menggema dari masjid tak jauh dari rumah. Dengan langkah santai, mereka masuk ke dalam untuk bersiap-siap. Akbar, adik Sasa, sudah menunggu di ruang tamu dengan peci dan sarungnya, tersenyum ketika melihat Arman mendekat.
"Mas Arman, ayo buruan. Nanti saf depan diambil orang!" katanya dengan nada bercanda, meski langkahnya cepat menuju pintu.
"Iya, iya. Santai aja, Bar. Kita nggak lomba," balas Arman, memasang senyum yang agak kaku.
Di belakang, Pak Arfan mengikuti sambil membawa tasbih kecil di tangan kirinya. "Akbar ini memang dari dulu nggak suka ketinggalan saf depan. Nanti kalau jadi imam tetap, jangan lupa doain orang tuanya," gurau Pak Arfan.
Akbar tertawa kecil sambil mendorong pintu pagar. Mereka bertiga berjalan ke masjid yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Jalan setapak yang dilalui diterangi lampu jalan yang remang-remang, memberikan suasana yang damai.
Di Dalam Masjid
Masjid sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Beberapa orang duduk berzikir, sementara lainnya mengambil wudu. Arman, Pak Arfan, dan Akbar bergabung di saf depan seperti yang diinginkan Akbar. Setelah iqamah dikumandangkan, salat berjemaah pun dimulai.
Saat rakaat kedua, pikiran Arman mulai melayang. Ia mencoba fokus pada bacaan imam, tetapi kata-kata Pak Arfan tadi sore terus menggema di kepalanya: "Jangan sampai kamu menyakiti hati Sasa dan merusak kepercayaan Ayah."
Hatinya berdebar lebih cepat. Apa yang akan terjadi jika rahasianya dengan Sasa terbongkar? Bagaimana jika kepercayaan yang Pak Arfan berikan selama ini hancur?
Ketika salam terakhir diucapkan, Arman menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia merasa harus lebih kuat menyembunyikan kegelisahannya.
Percakapan Sepulang dari Masjid
Dalam perjalanan pulang, Akbar sibuk berbincang dengan Pak Arfan tentang rencana kegiatan pemuda masjid minggu depan. Arman hanya mendengarkan di belakang, tetapi pikirannya masih berputar-putar.
"Mas Arman, kok diam aja? Biasanya suka nimbrung nih kalau ngobrolin masjid," sapa Akbar sambil menoleh.
Arman tersenyum tipis. "Oh, nggak apa-apa, Bar. Lagi mikir aja."
Pak Arfan meliriknya sesaat, tetapi tidak berkata apa-apa.
Sesampainya di rumah, suasana kembali tenang. Ibu Salwa dan Sasa baru saja selesai menunaikan salat Magrib. Aroma teh jahe yang baru diseduh menyambut mereka di ruang makan.