Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Seiring malam semakin larut, Dylan menyadari bahwa Rose mulai tampak kelelahan. Ia menyarankan agar Rose beristirahat di salah satu kamar penthouse miliknya. Rose menolak dengan alasan sederhana. “Aku tidak bisa tidur dengan memakai gaun ini,” katanya, melirik pakaian yang ia kenakan sejak pagi.
Dylan tertawa kecil. “Tunggu sebentar.” Ia bangkit menuju lemarinya dan kembali dengan setumpuk pakaian santai. “Ini, pakai salah satu yang nyaman buatmu.”
Rose mengambil tumpukan pakaian itu dengan ragu. “Ini bajumu?”
“Ya,” jawab Dylan ringan. “Aku tidak punya pilihan lain, kan?”
Rose menghela napas, akhirnya menyerah. “Baiklah. Tapi jangan menyesal kalau aku terlihat aneh memakainya.” Dengan langkah kecil, ia menuju kamar tamu untuk berganti pakaian.
Ketika ia keluar beberapa menit kemudian, Dylan terdiam. Rose mengenakan kaus oversize dan celana pendek yang sedikit longgar di tubuhnya. Namun entah kenapa, pemandangan itu justru membuatnya terlihat lebih menawan. Rambutnya yang terurai dan wajahnya yang sedikit memerah karena kehangatan ruangan menambah kesan alami yang membuat Dylan kehilangan kata-kata.
Rose menyadari tatapan Dylan dan mengerutkan kening. “Apa? Jangan bilang aku terlihat konyol.”
Dylan menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Tidak. Kau terlihat… nyaman.”
Rose mengangkat alis, tidak yakin dengan pujian itu. “Kalau begitu, aku akan tidur. Terima kasih atas bajunya, dan… malam ini.”
“Rose,” panggil Dylan sebelum ia melangkah pergi.
Rose berbalik, menunggu.
“Aku sungguh senang kau ada di sini,” kata Dylan dengan suara pelan namun tulus.
Rose terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku juga.”
Ia masuk ke kamar, meninggalkan Dylan yang masih berdiri di ruang tamu, memandangi pintu yang tertutup dengan perasaan hangat di dadanya. Bagi Dylan, malam itu adalah bukti bahwa cinta terkadang butuh keberanian untuk mengungkapkan, dan kesabaran untuk menanti.
***
Rose memutar tubuhnya ke kanan dan kiri di atas ranjang empuk, namun tetap saja tidak bisa tidur. Perutnya yang kosong terus mengganggu pikirannya. Di pesta tadi, ia hanya sempat menyesap beberapa minuman dan mencicipi kudapan manis, jauh dari cukup untuk mengganjal rasa laparnya sekarang.
Setelah mencoba bertahan selama beberapa menit, Rose menyerah. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu kamar dan berjalan menuju ruang tamu, di mana Dylan masih duduk di sofa sambil membaca sebuah buku. Pria itu menoleh begitu mendengar suara langkahnya.
“Kau belum tidur?” tanya Dylan, meletakkan bukunya.
Rose menggaruk lehernya dengan canggung. “Aku… lapar. Di pesta tadi aku tidak sempat makan.”
Dylan mengangkat alis, lalu tersenyum simpul. “Kenapa tidak bilang dari tadi? Aku bisa memasakkan sesuatu untukmu.”
Rose merasa sedikit malu, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau tidak merepotkan, aku benar-benar butuh sesuatu untuk dimakan sekarang.”
Dylan berdiri dan mengisyaratkan Rose untuk mengikutinya ke dapur kecil di sudut penthouse. Ia menggulung lengan kemejanya dengan santai sambil membuka lemari es. “Aku tidak punya banyak bahan makanan, tapi aku bisa buatkan pasta sederhana. Bagaimana?”
“Itu terdengar enak,” jawab Rose, sedikit terhibur dengan sikap Dylan yang ringan.
Dengan gerakan cekatan, Dylan mulai memasak. Aroma bawang putih yang ditumis dengan minyak zaitun segera memenuhi ruangan, membuat perut Rose semakin keroncongan. Ia duduk di kursi bar di dekat dapur, memperhatikan Dylan yang tampak begitu terampil di dapur.
“Kau sering memasak?” tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa laparnya.
“Tidak sering, tapi aku tahu dasar-dasarnya,” jawab Dylan sambil menambahkan pasta ke dalam wajan. “Kadang memasak sendiri lebih menenangkan daripada makan di luar.”
Rose tersenyum kecil. “Aku tidak menyangka kau punya sisi seperti ini.”
“Aku punya banyak sisi yang mungkin belum kau kenal,” balas Dylan sambil meliriknya, membuat Rose tertawa kecil.
Tak lama kemudian, Dylan menyajikan sepiring pasta aglio e olio dengan taburan keju parmesan. Rose langsung mencicipinya, dan rasa lapar yang ia tahan sejak tadi mulai terobati. “Ini enak sekali,” katanya, matanya berbinar.
Dylan tersenyum puas, duduk di sebelahnya sambil menyandarkan tubuhnya di meja. “Aku senang kau suka.”
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, hanya suara garpu yang beradu dengan piring dan desiran angin malam dari luar jendela yang menemani. Rose merasa lebih tenang, dan perasaan canggung yang sebelumnya mengganggu mulai menghilang.
“Terima kasih, Dylan,” kata Rose akhirnya, menatap pria itu dengan tulus.
“Untuk apa?” Dylan bertanya, meski senyumnya tak pernah hilang.
“Untuk semuanya. Untuk malam ini, dan… untuk pasta ini,” jawab Rose, nada suaranya lebih lembut.
Dylan hanya mengangguk. “Aku akan selalu ada untukmu, Rose. Apa pun yang kau butuhkan.”
***
Setelah menyelesaikan makanannya, Rose menyandarkan tubuh di kursi bar, merasa kenyang dan nyaman. Ia memandang Dylan yang sedang membereskan peralatan memasak di dapur. Sejenak, pikirannya melayang.
“Kau tahu,” katanya tiba-tiba, suaranya pelan tapi cukup jelas untuk didengar Dylan.
Dylan menoleh, menyeka tangannya dengan handuk kecil. “Apa?”
Rose tersenyum tipis, memainkan ujung rambutnya. “Aku pernah bercita-cita memiliki suami yang pandai memasak. Karena aku sama sekali tidak bisa, dan jujur saja… aku tidak tertarik belajar.”
Dylan mengangkat alis, tampak terkejut namun juga terhibur. “Benarkah? Itu alasan yang cukup unik.”
“Unik atau malas?” balas Rose sambil tertawa kecil. “Aku sudah mencoba beberapa kali, tapi entah kenapa dapur selalu terasa seperti tempat yang asing bagiku. Jadi aku memutuskan untuk menyerah.”
Dylan berjalan mendekat, menyandarkan tubuhnya di meja bar sambil menatap Rose dengan intens. “Jadi, menurutmu aku memenuhi kriteria itu?”
Rose terdiam, merasa wajahnya mulai memanas. Ia berusaha mengalihkan tatapannya, tapi senyum Dylan terlalu sulit untuk diabaikan. “Aku tidak bilang begitu…”
“Tapi kau memikirkannya,” sela Dylan, nada suaranya penuh godaan.
Rose memutar matanya, meskipun senyumnya tak bisa disembunyikan. “Jangan terlalu percaya diri, Tuan Chef Dadakan.”
Dylan tertawa, suara rendahnya menggema di ruangan. “Baiklah, aku tidak akan membahasnya lebih jauh. Tapi kalau itu memang cita-citamu, aku senang bisa memberikan sedikit gambaran.”
Rose menghela napas panjang, merasa kalah dalam percakapan ini. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Dylan memang memenuhi gambaran yang selama ini ia bayangkan. Pandai memasak, perhatian, dan memiliki kesabaran yang cukup untuk meladeni segala kerumitannya.
“Baiklah, aku akan tidur sekarang,” kata Rose akhirnya, berdiri dari kursinya. “Terima kasih sekali lagi untuk makanannya.”
Dylan, yang sedang menyandarkan tubuh di meja bar, tersenyum samar, matanya menatap Rose dengan sorot usil. “Tunggu dulu.”
Rose mengerutkan kening. “Apa lagi?”
“Kau lupa sesuatu,” jawab Dylan ringan, menyilangkan lengannya.
Rose menghela napas, berpikir Dylan mungkin sedang bercanda. “Lupa apa? Aku sudah bilang terima kasih, kan?”
Dylan menggeleng perlahan, senyumnya semakin lebar. “Terima kasih saja tidak cukup. Aku ingin bayaran.”
Rose menatapnya dengan curiga. “Bayaran? Apa maksudmu?”
Dylan mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, nadanya tenang tapi penuh godaan. “Aku ingin ciuman.”
Mata Rose membesar, wajahnya langsung memerah. “Apa? Kau serius?”
“Serius,” jawab Dylan sambil mengangguk, tetap tenang. “Itu harga untuk pasta tengah malam ini.”
Rose membuka mulut, ingin membalas, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Jantungnya berdegup kencang, tidak tahu harus bagaimana menghadapi permintaan Dylan yang tiba-tiba itu. “Kau benar-benar tidak tahu malu,” gumamnya akhirnya, mencoba terlihat kesal, meskipun pipinya jelas menunjukkan sebaliknya.
Dylan hanya tertawa kecil. “Hanya untukmu. Jadi, bagaimana? Aku menunggu.”
Rose menatapnya, merasa terjebak. Ia bisa saja menolak, tapi entah kenapa, bagian kecil dalam dirinya merasa tergoda untuk memenuhi permintaan itu. Dengan langkah pelan, ia mendekati Dylan, berdiri di depannya sambil menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu.
“Ini hanya sekali,” kata Rose, suaranya hampir berbisik. “Dan setelah ini, aku akan langsung tidur.”
“Setuju,” jawab Dylan tanpa ragu, matanya bersinar penuh antisipasi.
Dengan sedikit gemetar, Rose mendekatkan wajahnya ke Dylan dan memberikan ciuman singkat di pipinya sebelum cepat-cepat menarik diri. “Sudah,” katanya sambil berpaling, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Namun Dylan hanya tertawa kecil, matanya masih memandangi Rose dengan penuh kehangatan. “Terima kasih, Nona Rose. Itu lebih dari cukup.”
Rose mendengus, meski senyum kecil menghiasi wajahnya. “Malam ini saja. Jangan harap aku akan melakukan hal itu lagi.”
Dylan tidak menjawab, hanya mengangguk dengan ekspresi puas. Rose pun berbalik dan berjalan cepat menuju kamar, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang masih berantakan. Malam itu, ia akhirnya tertidur dengan senyum kecil yang tidak bisa ia tahan, sementara Dylan, di ruang tamu, hanya tersenyum sendiri, merasa malam itu adalah malam yang tidak akan ia lupakan.