Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Api Dalam Sekam
Langit pagi mulai terang, tetapi kegelapan masih menyelimuti hati Ariella. Dia berdiri di puncak bukit, memegang alat komunikasi yang ditinggalkan Rael. Jari-jarinya mencengkeram benda itu erat, sementara pikirannya berusaha menerima kenyataan bahwa salah satu orang kepercayaannya telah berkhianat.
Di bawah bukit, timnya masih sibuk bertahan. Tembakan senjata api dan ledakan terdengar bergema, tanda bahwa musuh masih mengepung mereka.
“Komandan, kita tidak bisa bertahan lebih lama!” suara Liana terdengar di radio, suaranya bergetar antara cemas dan putus asa.
Ariella menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Dia tahu saat ini bukan waktunya untuk menyerah pada amarah. Dia harus memimpin.
“Liana, arahkan tim untuk mundur ke zona aman. Aku akan menyusul kalian,” balas Ariella dengan nada tegas.
“Tapi, Komandan—”
“Ini perintah, Liana. Lakukan sekarang!”
Setelah beberapa detik hening, suara Liana akhirnya terdengar kembali. “Dimengerti.”
Ariella menatap sekali lagi ke alat komunikasi di tangannya. "Rael, kau sudah memilih sisi. Tapi aku akan memastikan pilihanmu tidak menghancurkan kami semua."
Dia kemudian berlari menuruni bukit, bergabung kembali dengan timnya.
---
Rael berdiri di depan Leonard, wajahnya kaku meskipun hatinya bergejolak. Dia tahu bahwa tindakannya tidak bisa dimaafkan oleh Ariella dan timnya. Tapi Leonard telah menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dia tolak: kebebasan bagi keluarganya, yang selama ini menjadi tawanan di tangan pria kejam itu.
“Kau sudah melakukan pekerjaan yang baik, Rael,” kata Leonard sambil tersenyum dingin. Dia duduk di kursi besar, dengan segelas anggur di tangannya.
“Aku hanya melakukan apa yang kau minta,” jawab Rael singkat, suaranya terdengar datar.
Leonard memiringkan kepalanya, mempelajari pria di depannya. “Tapi aku bisa merasakan bahwa hatimu masih bersama mereka. Kau tahu, pengkhianatan itu seperti api kecil. Jika tidak kau padamkan sepenuhnya, itu akan membakar dirimu sendiri.”
Rael tidak menjawab, tapi jemarinya mengepal di sisi tubuhnya.
Leonard berdiri, mendekati Rael dengan langkah perlahan. “Dengar, Rael. Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Tapi jika kau ingin keluargamu tetap hidup, kau harus sepenuhnya setia padaku.”
Rael akhirnya menatap Leonard, matanya penuh kebencian yang dia coba sembunyikan. “Aku akan melakukan apa pun yang kau minta. Tapi aku ingin bukti bahwa mereka aman.”
Leonard tersenyum, lalu menepuk bahu Rael. “Sabar, temanku. Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan, setelah misi ini selesai.”
---
Ariella dan timnya akhirnya berhasil mencapai zona aman, sebuah rumah kosong di tengah hutan yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka. Tubuh mereka penuh luka dan kelelahan, tetapi mereka tahu tidak ada waktu untuk beristirahat.
Liana segera mengakses perangkat komunikasinya, mencoba mencari tahu bagaimana musuh bisa mengetahui lokasi mereka. “Komandan, aku menemukan sesuatu.”
Ariella mendekat, melihat layar yang menampilkan log komunikasi. “Apa itu?”
“Ini berasal dari salah satu perangkat kita. Ada sinyal yang dikirimkan langsung ke sistem Leonard. Sinyal ini… dari alat yang digunakan Rael.”
Ariella mengangguk pelan, wajahnya tanpa ekspresi. “Aku sudah menduganya.”
Salah satu anggota tim, Alex, menatapnya dengan bingung. “Rael? Maksudmu dia yang mengkhianati kita?”
Liana mengangguk. “Semua bukti mengarah ke dia. Tidak mungkin ada orang lain.”
Alex mengepalkan tinjunya. “Dia membahayakan kita semua! Jika aku melihatnya lagi, aku akan—”
“Tenang, Alex,” potong Ariella. “Kita tidak bisa membiarkan emosi menguasai kita. Fokus kita sekarang adalah mencari tahu apa rencana Leonard berikutnya dan bagaimana kita bisa menghentikannya.”
Liana mengetik sesuatu di laptopnya. “Aku sedang mencoba melacak pergerakan mereka. Tapi jika Rael benar-benar bekerja untuk Leonard, dia mungkin memberikan semua informasi tentang strategi kita.”
Ariella menatap timnya dengan mata tajam. “Kita harus mengubah cara kita bergerak. Mulai sekarang, tidak ada rencana yang dibagikan lebih awal. Aku sendiri yang akan menentukan langkah berikutnya.”
---
Beberapa jam kemudian, Liana akhirnya menemukan sesuatu yang penting. “Komandan, aku menemukan lokasi salah satu markas utama mereka. Tapi ini sangat dijaga ketat. Jika kita menyerang tanpa rencana matang, kita tidak akan selamat.”
Ariella mempelajari peta di layar. Lokasi itu adalah sebuah kompleks besar di tengah gurun, dengan penjagaan ketat dan banyak sistem keamanan canggih.
“Kita tidak akan menyerang langsung,” kata Ariella sambil berpikir. “Kita butuh pengalihan.”
Alex mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Kita akan membuat Leonard berpikir bahwa kita menyerangnya di lokasi lain. Sementara itu, kita akan menyusup ke markas ini dan mengambil data yang kita butuhkan.”
Liana mengangguk. “Tapi bagaimana kita bisa membuat pengalihan yang cukup besar untuk menarik perhatian mereka?”
Ariella tersenyum tipis, sebuah rencana mulai terbentuk di pikirannya. “Kita akan gunakan taktik lama. Buat mereka percaya bahwa kita memiliki senjata pemusnah massal.”
---
Di markasnya, Leonard menerima laporan tentang pergerakan Ariella dan timnya. Seseorang menginformasikan bahwa mereka telah melihat aktivitas mencurigakan di salah satu fasilitas Leonard yang lebih kecil.
“Hmm… mereka mencoba memancing kita,” gumam Leonard sambil memutar gelas anggurnya.
Rael yang berdiri di belakangnya merasa gelisah. Dia tahu bahwa Ariella tidak akan melakukan sesuatu yang sembrono tanpa rencana.
“Apa yang kau pikirkan, Rael?” tanya Leonard tiba-tiba, membuat Rael tersentak.
“Tidak ada, Tuan. Hanya mencoba memahami strategi mereka.”
Leonard tersenyum tipis. “Jangan terlalu banyak berpikir. Kau hanya perlu melakukan apa yang kuperintahkan.”
Namun, di dalam hatinya, Rael tahu bahwa waktu semakin mendekat untuk membuat pilihan terakhir. Apakah dia akan terus memihak Leonard, ataukah dia akan kembali membantu Ariella meskipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya sendiri?
---
Ariella tahu bahwa pertempuran ini belum mendekati akhir, tetapi dia tidak akan berhenti. Leonard mungkin memiliki kekuatan besar, tetapi dia percaya pada satu hal: keadilan akan selalu menang, bahkan di tengah kegelapan.
Dan untuk Rael, setiap langkah yang dia ambil kini dipenuhi dengan keraguan. Apakah dia benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari pengkhianatannya, atau akankah dia menemukan keberanian untuk memperbaiki kesalahannya?