Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Pahlawan Langit Mendung
Valeska melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar. Pintu depan dibiarkan terbuka lebar, seakan memang menunggunya untuk masuk ke arena perang. Di ruang tamu, Keenan duduk dengan wajah yang sudah siap menyerang. Di sebelahnya, Vidya terlihat gelisah, sementara Sam—Oh Tuhan, kenapa harus ada Sam juga di sini?
“Abis darimana lo? Lo jual diri, Val?!” suara Keenan menggelegar, membuat Valeska tersentak.
“Keenan!” Sam membentak, jelas tidak terima dengan tuduhan kasar itu.
Valeska menggigit bibir, berusaha mengumpulkan keberanian. Tangannya gemetar di balik tas kecilnya, tapi ia mencoba berdiri tegak. Tidak boleh keliatan takut. Jangan kasih Keenan peluang untuk menyudutkan dirinya.
“Val, sini duduk dulu,” ujar Vidya lembut sambil menarik lengan Valeska. Tapi dia hanya menggeleng pelan, tetap berdiri di tempat.
“Nggak usah. Gue jelasin sekarang aja soal uang itu,” kata Valeska sedikit bergetar, tapi ia berhasil membuatnya terdengar lebih tegas.
Sam menatapnya prihatin. Vidya tampak ingin menenangkan tapi memilih diam. Sementara itu, Keenan melipat tangan di dada, matanya menyipit penuh selidik.
“Jelasin. Sekarang!” desak Keenan. Nada perintahnya membuat udara di ruangan terasa semakin sesak bagi Valeska.
“Itu ... bukan uang gue,” kata Valeska, membuka percakapan dengan hati-hati.
Hening. Semua menunggu lanjutan dari kalimatnya, termasuk Keenan yang alisnya sudah naik ke tingkat kekesalan maksimum.
“Itu uang Pak Vincent,” lanjut Valeska akhirnya.
Nama itu langsung membuat Keenan mengerutkan kening. Vincent? Nama itu nggak asing di telinganya, tapi otaknya belum nyambung. Masa iya Vincent yang dia kenal di kantor ada hubungannya sama adiknya ini? Lagipula nama Vincent itu sangat banyak.
“Vincent siapa?” tanya Keenan, matanya mempersempit tatapan, penuh curiga.
“Itu uang saya.” Sebuah suara baru terdengar dari arah pintu.
Semua kepala langsung menoleh. Di depan pintu, berdiri Vincent dengan senyum tipis yang membuat siapa pun susah percaya kalau ini hanya sebuah kebetulan. Bahkan Valeska sendiri pun ternganga.
“Pak Vincent?” Keenan melompat berdiri, kaget setengah mati melihat atasannya berdiri di ruang tamu rumahnya yang sederhana. “Kok Anda bisa ada di sini?”
Valeska masih dalam mode bengong total. “Kok ... Anda—”
Vincent mengangkat tangan, memberi isyarat agar Valeska diam saja. “Maaf, Val. Gue nggak tenang, jadi gue ikutin lo pulang,” katanya dengan nada yang hampir terdengar menyesal. Tapi senyumnya cukup untuk membuat Valeska sadar kalau dia ada di sini buat membantu.
Valeska mengerjap, panik mulai merayap. Oh Tuhan, dia dengar semuanya tadi? Gimana kalau dia berpikir gue cewek yang suka bohong?
“Saya—” Valeska membuka mulut, tapi Vincent sudah mengambil alih.
“Jadi begini.” Vincent mulai bicara, menatap Keenan dengan tenang. “Uang itu memang uang saya.”
“Lalu, kenapa bisa ada di Valeska?” Keenan bertanya, masih setengah percaya.
Vincent melangkah masuk, auranya memenuhi ruangan kecil itu. “Uangnya jatuh di jalan. Untung Valeska yang nemuin. Tadi kita ketemu di luar buat bahas itu. Dia nggak percaya kalau itu uang saya.”
“Jadi, kamu ketemu sama dia tadi?” Sam bertanya pada Valeska dengan nada lembut, seolah ingin memastikan dia baik-baik saja.
Valeska mengangguk pelan. “Iya, Sam.”
Sam? Vincent melirik Sam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tinggi, rapi, lumayan tampan. Tapi dia cuma bisa menyimpulkan satu hal: Masih ganteng gue.
“Tapi—” Vidya menginterupsi, wajahnya masih penuh keraguan. “Masa iya uang sebanyak itu bisa jatuh tanpa sadar? Terus bagaimana caranya Valeska tau kalau itu uang Pak Vincent?"
Vidya, plis diem. Gak usah nyulut api lagi! Valeska memohon dalam hati.
Vincent tersenyum tipis, menanggapi dengan santai. “Karena yang bawa bukan saya. Kalau saya yang bawa, pasti nggak bakal seceroboh itu. Dan ... di dalam amplop itu ada kartu nama saya."
Vidya mengangguk meski ekspresinya jelas masih penuh tanda tanya. Tapi Keenan? Lelaki itu terlihat lega, akhirnya bisa menerima penjelasan Vincent tanpa ribut lagi. Dia menghela napas panjang, seolah beban di pundaknya lenyap.
“Val,” panggil Keenan, suaranya sekarang jauh lebih tenang. “Sori, gue udah ngira lo ngelakuin hal yang nggak-nggak.”
Valeska menatapnya, bibirnya melengkung dalam senyum kecil. “Nggak apa-apa, Kak,” jawabnya pelan.
Vincent yang berdiri di sudut ruangan, hanya tersenyum samar sambil melirik Valeska. Dalam hati, dia memuji dirinya sendiri. Nggak nyangka jadi hero gini rasanya seru juga.
......................
Setelah drama di dalam rumah selesai, Valeska mengantar Vincent ke depan gang tempat tinggalnya. Langkah mereka bersisian, suasana canggung terasa, meski keduanya berusaha memecahkannya dengan obrolan ringan.
“Makasih banyak ya, Pak. Kalau bukan karena Anda, saya nggak tahu gimana caranya ngadepin Keenan tadi,” ujar Valeska sambil menundukkan kepala.
Vincent tertawa kecil, memandangi gadis itu. “Gue jadi beneran dipanggil ‘Pak Vincent’ nih sekarang?”
Valeska mendongak, tertawa kecil. “Kan udah seharusnya. Anda bos saya sekarang.”
“Kalau panggilan itu bikin lo nyaman, gue oke aja,” jawab Vincent sambil mengedikkan bahu.
Mereka terus berjalan, dengan Vincent menggenggam amplop cokelat berisi uang—yang sebenarnya miliknya sendiri. Ia menatap amplop itu sekilas, kemudian melirik Valeska.
“Ngomong-ngomong, soal ini … lo beneran mau nitipin ke gue?” Vincent mengangkat amplopnya sedikit.
Valeska menghela napas, berhenti melangkah, dan menghadap Vincent. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap cantik di bawah lampu jalanan yang temaram.
“Saya nggak punya tempat lain buat nitipin ini, Pak. Kalau saya bawa pulang, Keenan pasti tanya lagi. Kalau saya kasih ke Vidya, sama aja ngasih rahasia ke kakak sendiri,” ujarnya setengah bercanda.
Vincent mengangguk pelan, lalu menatapnya lekat-lekat. “Boleh gue tanya sesuatu?”
Valeska menatapnya dengan alis terangkat. “Tentu.”
“Ini sebenarnya uang apa, Val?” tanya Vincent pura-pura tidak tahu.
Valeska tercekat. Tenggorokannya terasa kering. Apakah dia harus jujur sekarang?
“Sebenarnya … uang itu—” kata Valeska, menggantung kalimatnya.
Vincent menunggu, tapi sejurus kemudian Valeska hanya menggeleng pelan. “Maaf … saya nggak bisa cerita, Pak.”
Vincent menghela napas panjang. Wajahnya berubah datar, tapi ada rasa bersalah yang tersirat di matanya.
“Ya sudah. Kalau lo belum siap cerita, gue nggak akan paksa,” jawabnya akhirnya.
Valeska mendongak, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Pak, boleh saya tanya sesuatu?”
“Hm?”
“Kenapa ada orang jahat yang tega mengambil sesuatu dari orang yang nggak berdaya buat melawan?” tanyanya lirih, hampir berbisik. Matanya berkaca-kaca.
Tertampar!
Pertanyaan itu menampar Vincent tepat di wajahnya. Ingatan tentang malam itu—malam ketika dia kehilangan kendali dan mengambil sesuatu yang tidak seharusnya dari Valeska—kembali terputar di benaknya. Malam itu, Valeska mabuk berat dan tidak sadarkan diri. Dia tidak berniat menyakitinya, tapi kesempatan itu terlalu menggoda.
“Orang itu bukan cuma jahat, Val,” jawab Vincent pelan, dengan suara bergetar. “Dia iblis.”
Air mata Valeska akhirnya jatuh. Langit malam yang mendung seakan ikut merasakan kesedihannya, mulai meneteskan gerimis tipis.
“Val …,” panggil Vincent, suaranya penuh penyesalan.
Dia ingin sekali memeluk Valeska, meminta maaf atas semua yang terjadi. Tapi rasa takutnya lebih besar. Bagaimana kalau Valeska tahu siapa dirinya sebenarnya? Apa reaksi gadis itu nantinya?
Di saat suasana menjadi serius, tiba-tiba suara langkah cepat mendekat.
“Vals!” teriak seseorang.
Valeska dan Vincent sama-sama menoleh. Di bawah gerimis, Sam muncul dengan membawa payung. Dia tampak gelisah dan sedikit tergesa-gesa.
“Sam?” gumam Valeska kaget.
Sam menghampiri mereka, memayungi Valeska tanpa berkata apa-apa. Pandangannya tajam tertuju pada Vincent. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa pria ini lebih dari sekadar ‘bos’ untuk Valeska.
Tatapan Vincent balik menantang, tapi bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis yang terlihat sangat dingin.
“Kamu nggak kedinginan, Val?” tanya Sam akhirnya, mengabaikan keberadaan Vincent.
Valeska menggeleng pelan. “Aku baik-baik aja, Sam. Ini cuma gerimis.”
“Seharusnya kamu nggak perlu keluar rumah,” kata Sam lagi, kali ini sambil melirik Vincent dengan pandangan tidak bersahabat.
Valeska hendak menjawab, tapi Vincent bicara lebih dulu. “Chill, Bro. Saya gak semanja itu buat dianterin sampai depan,” ujarnya dengan nada santai.
Sam tidak menjawab, hanya menatap Vincent dengan tatapan tidak ramah.
“Kalau begitu, gue pamit,” kata Vincent akhirnya. Ia melirik Valeska, memberikan senyuman kecil. “Val, see you.”
Valeska mengangguk pelan, masih merasa bersalah karena Vincent harus ikut terlibat dalam masalahnya.
Setelah Vincent pergi, Sam menoleh pada Valeska. “Kamu dekat sama dia?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi penuh makna. Valeska menatap Sam, mencoba memahami apa yang sebenarnya dia tanyakan.
“Nggak,” jawab Valeska singkat.
Sam mengangguk, tapi rasa cemburu yang tadi sempat muncul masih menggantung di dadanya. Sesuatu bagaimana cara Vincent menatap Valeska tadi telah membuatnya tidak tenang.
...****************...