Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Renaya terdiam, mencoba mencerna segala informasi yang baru saja diterimanya. Semua yang dia ketahui tentang Edwin kini terasa seperti ilusi. Dia tak bisa mengerti sepenuhnya, namun perasaan ketidakpercayaan itu semakin dalam. Edwin, yang dulu dia anggap sebagai teman, ternyata memiliki niat jahat yang tersembunyi.
"Jadi Daddy membunuhnya?" Renaya bertanya dengan pelan, matanya mencoba menatap Mario, mencari kepastian.
Mario mengangguk perlahan, ekspresinya yang biasanya tenang kini menunjukkan sedikit penyesalan, namun juga tekad yang kuat. “Kadang kita harus membuat keputusan yang sulit, Renaya. Untuk melindungi orang yang kita cintai, kita harus siap berbuat apa saja, bahkan jika itu artinya membuat pilihan yang tidak bisa dibalikkan. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam permainan kotor yang dia buat. Kamu penting bagiku, lebih dari apapun.”
Renaya merasa hatinya berdebar, namun juga ada rasa bingung yang menguasainya. Semua yang selama ini ia anggap sederhana, kini terasa jauh lebih rumit. “Tapi Daddy... aku... aku nggak tahu lagi apa yang harus aku percayai. Semua ini... terasa sangat berat,” ucapnya dengan suara hampir pecah, merasakan ketegangan yang ada di antara mereka.
Mario mendekat dan menatap Renaya dalam-dalam, dengan mata yang penuh keyakinan. “Aku tahu, ini sulit. Tapi aku ingin kamu tahu, aku melakukannya semua untuk melindungimu, Renaya. Dunia ini nggak semudah yang kita pikirkan. Aku nggak ingin ada orang yang bisa menyakitimu. Kamu adalah segalanya bagiku, dan aku akan selalu berjuang untuk kita.”
Renaya menatapnya lama, mencoba meresapi kata-kata Mario. Di satu sisi, dia merasa terkejut dan takut dengan kenyataan ini, tetapi di sisi lain, ada rasa aman yang datang dari ketegasan Mario. Namun, ketidakpastian yang membayangi pikirannya tak bisa begitu saja hilang.
“Aku... aku perlu waktu untuk berpikir, Daddy,” kata Renaya akhirnya, suaranya serak karena emosi yang membingungkan. “Semua ini terlalu banyak untuk aku terima sekaligus.”
Mario mengangguk, mengerti betapa beratnya semua ini untuk Renaya. “Aku paham, Renaya. Aku nggak akan memaksamu. Tapi aku harap kamu tahu bahwa apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untuk kamu.”
Dengan perlahan, Mario meletakkan tangannya di atas tangan Renaya, memberi sentuhan yang lembut. Namun, di dalam hati Renaya, sebuah pertanyaan besar masih menggantung. Seberapa jauh dia bisa mempercayai dunia yang dipilih oleh Mario?
**
**
**
Pagi itu, Renaya terbangun dengan perasaan yang masih gamang. Tidur semalam tak banyak memberi ketenangan. Ketika matanya terbuka, ia melihat Mario duduk santai di kursi sebelah jendela, memegang secangkir kopi, sambil menatap layar ponselnya dengan wajah yang terlihat serius, meskipun suasana pagi itu terasa tenang.
Renaya menarik napas panjang dan bangkit dari tempat tidurnya, berjalan menuju Mario dengan langkah pelan. Tak lama kemudian, dia duduk di kursi sebelah Mario, menatap pria itu dengan campuran perasaan yang sulit diungkapkan. Di satu sisi, dia merasa aman, namun di sisi lain, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab.
"Dad, aku ingin bicara," ucap Renaya akhirnya, suaranya sedikit ragu namun tegas.
Mario menoleh, matanya yang biasanya tenang kini terlihat penuh perhatian. Dia meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, melemparkan pandangan lembut ke arah Renaya. “Tentu, sayang. Ada apa?”
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Renaya menatapnya, merasa campur aduk. Sebuah perasaan berat menghimpit dadanya. Meskipun kata-kata Mario terdengar penuh cinta dan janji, hatinya masih dipenuhi dengan keraguan yang dalam. “Tapi aku merasa... aku tidak bisa lagi hidup dalam bayangan semua yang kamu lakukan, Dad. Semua yang terjadi, semuanya terasa... salah,” ucap Renaya dengan suara pelan, seperti mencoba melepaskan beban yang selama ini dia pendam.
Mario mendekat, mengambil tangan Renaya dengan lembut, namun tidak berusaha untuk memaksanya. “Renaya, kamu tidak harus langsung memutuskan apapun sekarang. Aku tahu ini sangat berat, dan aku juga tahu kamu butuh waktu untuk memahami semuanya. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku akan selalu melindungimu, apapun yang terjadi.”
Renaya merasakan perasaan hangat yang datang dari sentuhan tangan Mario, namun semakin lama dia merasa semakin terjebak dalam situasi yang tak pernah ia pilih. “Aku nggak tahu lagi, Dad. Aku... aku ingin bebas,” ujarnya, dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Mario menatapnya, wajahnya tampak lebih serius dari sebelumnya. “Jika itu yang kamu inginkan, aku akan memberimu waktu, Renaya. Tapi ingat, apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu. Dan aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa memisahkan kita.”
**
**
**
Bella tampak menghisap rokoknya dengan tenang, asap putih keluar dari bibirnya dan menghilang di udara malam yang dingin. Ia duduk di sudut ruangan yang redup, dipojokkan bersama seorang pria yang dikenal dengan nama Ruben, keasih gelapnya. Matanya menatap pria itu dengan ekspresi yang sulit dibaca, tapi ada ketegangan yang jelas terpendam.
“Edwin mati kecelakaan, pasti karena disengaja oleh Mario,” kata Ruben dengan nada yang penuh keyakinan, matanya memperhatikan Bella dengan cermat. “Aku sudah ingatkan berkali-kali, Bella, jangan terlalu ambil risiko menghadapi Mario. Mimpimu terlalu tinggi untuk mendapatkan kembali Mario, dengan cara menyingkirkan Renaya.”
Bella menyeringai tipis, matanya tetap terfokus pada api rokok yang membara di tangannya. Dia tidak segera menjawab, hanya melemparkan pandangannya yang tajam ke Ruben, seakan mempertimbangkan kata-kata yang baru saja diucapkannya. Setelah beberapa saat, dia akhirnya membuka mulut dengan suara yang lembut namun penuh ketegasan.
“Ruben,” ucap Bella dengan suara rendah, “Sejak kapan kamu jadi cerewet? Bukankah tugasmu hanya memuaskan aku?” tanyanya dengan nada yang sinis, seolah mengingatkan Ruben tentang posisinya.
Ruben menatap Bella dengan ekspresi yang mulai terlihat bingung. Tidak biasanya Bella berbicara seperti itu padanya. Namun, dia tahu betul bahwa Bella adalah wanita yang tidak mudah didekati atau ditanggapi begitu saja. Dia sudah terbiasa dengan cara Bella yang kadang manipulatif dan penuh perhitungan, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di udara.
“Bella,” Ruben mulai berbicara dengan sedikit lebih hati-hati, “Kamu nggak takut? Mario itu... nggak bisa dianggap enteng. Apa kamu benar-benar berpikir bisa menghadapinya dengan cara ini?”
Bella menyandarkan tubuhnya ke dinding, menghembuskan asap rokok dengan santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Takut? Kenapa aku harus takut pada Mario? Kalau aku mau, dia bisa jadi milikku lagi kapan saja. Tapi Renaya… itu masalahnya. Aku cuma perlu menghapus penghalang itu, Ruben. Dan kamu tahu itu. Kalau kamu nggak bisa membantu, berarti kamu hanya menjadi penghalang juga.”
“Hidupmu selalu saja penuh kurang kepuasan, sudah bagus-bagus dinikahi pengusaha sesukses Arnold, walau tidak sebesar Mario, sudah mendapatkan kepuasan ranjang dariku, masih saja mengincar Mario kembali dalam pelukanmu,” gerutu Ruben.
“Aku akan cari cara lain untuk mendapatkan Mario lagi,” desis Bella.
“Tapi, Bella,” Ruben melanjutkan, “apa yang kamu inginkan itu… berbahaya. Mario bukan orang sembarangan. Kamu nggak akan bisa mengendalikannya seperti yang kamu pikirkan.”
Bella menatapnya dengan tatapan tajam, seolah ingin menantang semua keraguan yang muncul di benak Ruben. “Aku tidak perlu mengendalikan Mario, Ruben. Aku hanya perlu menghancurkan apa yang menghalangiku. Dan itu termasuk Renaya,” jawabnya dengan ketegasan yang mencekam.
“Sudahlah, ayo ke hotel! Aku butuh kamu,” kata wanita itu kemudian berdiri, dan dengan langkah malas Ruben pun mengikutinya.
jadi wajib baca dan masuk rak.