Novel ketiga Author septi.sari
Karya asli dengan ide alami!!
Anissa terpaksa menerima perjodohan atas kehendak ayahnya, dengan pria matang bernama Prabu Sakti Darmanta.
Mendapat julukan nona Darmanta sesungguhnya bukan keinginan Anissa, karena pernikahan yang tengah dia jalani hanya sebagai batu loncatan saja.
Anissa sangka, dia diperistri karena Prabu mencintainya. Namun dia salah. Kehadiranya, sesungguhnya hanya dijadikan budak untuk merawat kekasihnya yang saat ini dalam masa pengobatan, akibat Deprsi berat.
Marah, kecewa, kesal seakan bertempur menjadi satu dalam jiwanya. Setelah dia tahu kebenaran dalam pernikahanya.
Prabu sendiri menyimpan rahasia besar atas kekasihnya itu. Seiring berjalanya waktu, Anissa berhasil membongkar kebenaran tentang rumah tangganya yang hampir kandas ditengah jalan.
Namum semuanya sudah terasa mati. Cinta yang dulu tersususn rapi, seolah hancur tanpa dia tahu kapan waktu yang tepat untuk merakitnya kembali.
Akankan Anissa masih bisa bertahan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
"Biar bagaimanapun, dia masih mertuaku Mika," sahut Anissa menyadarkan sahabatnya.
"Benar yang dikatakan Nissa! Berbuat baik tidak ada habisnya. Kalau dia mampu, kenapa tidak! Tidak mungkin Anissa sekekeh itu jika mertuanya bukan orang yang baik," sela Anjas menimpali ucapan Anissa.
Huhh!!
Mika hanya mendesah pasrah. Dia tidak dapat berbuat banyak, selain mendoakan dan mendukung Sahabatnya~Anissa.
Setelah itu, Mika mengantarkan Anissa ke kamar tamu di lantai dua.
"Selamat beristirahat Nissa ku sayang. Lepaskan dulu semua beban dipundakmu! Aku tutup ...." ucap Mika diambang pintu.
Blam!
Setelah pintu tertutup, Anissa mencoba merebahkan tubuhnya diatas ranjang. Dia mencoba memejamkan mata dalam. Namun lagi-lagi terbuka.
Dia lalu bangkit. Duduk dengan kaki menjuntai di lantai. Pendengarannya terganggu dengan suara guyuran hujan yang tiba-tiba datang.
Anissa lalu bangkit, berjalan pelan menuju jendela balkon. Penulis cantik itu menyingkap korden separu, dan dapat dia lihat hujan bercampur angin yang begitu kencangnya.
Kota Salatiga benar-benar damai malam ini.
Untung saja dia pergi membawa tas selempang yang cukup besar. Anissa merasa lega saat dia menatap kearah tasnya, yang dimana terdapat barang-barang pentingnya dalam menulis.
'Entah kenapa hatiku gelisah seperti ini?' jerit batin Anissa dalam posisi semula, menatap derasnya air hujan.
Anissa menatap ponsel yang sejak tadi dia genggam. Perlahan, tangannya menekan tombol untuk mengaktifkan kembali. Setelah menunggu beberapa detik, ponselnya kembali hidup.
Disana, Anissa terperanjat. Beberapa panggilan serta pesan dari suaminya berderetan masuk. Anissa sengaja tidak menekan logo hijau tersebut. Anissa hanya menarik dari atas, dan dia dapat membaca semua pesan Prabu yang mungkin lebih dari seratus pesan yang terkirim.
"Anissa, kamu pergi kemana?"
"Kamu tidak tahu, secemas apa aku mencarimu!"
"Di Magelang hujan sangat deras. Aku bolak balik mencarimu ke kota!"
~send gambar~
"Lihatlah, badanku basah seperti ini! Kamu tidak kasian kepadaku?"
"Apa kamu marah karena perlakuanku terhadap Ailin, tadi?"
"Ayolah Anissa ... Jangan buat aku merasa bersalah seperti ini!"
Dan masih banyak beberapa pesan yang Prabu kirimkan.
Anissa kembali menonaktifkan ponselnya. Dia kali ini benar-benar ingin hidup dalam kedamaian, tanpa adanya sebuah rasa tertekan.
Dia meletakan kembali ponselnya diatas nakas. Pandanganya terangkat kembali, masih menikmati derasnya air hujan.
"Aku bukan orang jahat! Bukanya aku memperkeruh keadaan. Aku hanya ingin melihat ... Jika dihatinya masih ada namaku, maka dia akan menjaga kesetiaan ini. Tapi jika tidak, maka memang cinta itu tidak ada disana!" gumam Anissa seolah meyakinkan dirinya pada kegelapan.
*
*
*
Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam.
Di kota, para toko ataupun ruko sudah kebanyakan yang tutup. Mengingat tadi derasnya hujan, jadi banyak pedagang yang mengakhiri jualannya, dengan menutupnya lebih awal.
Jalanan sudah mulai tampak gelap, hanya ada penerangan dari lampu-lampu kota yang masih berdiri tegak.
Prabu memutuskan untuk menyudahi pencariannya. Dia kembali kerumah, berharap sang istri sudah pulang tanpa sepengetahuannya.
Sesampainya dirumah, Prabu langsung segera turun. Dia berjalan dengan tergesa untuk melihat keadaan rumah, apakah sang istri sudah datang.
"Nyonya mana?"
Prabu spontan terdiam, membeku dalam posisinya. Dia menggeleng lemah pada kepala pelayan itu.
"Apa tuan sejak tadi bertengkar?" tanya kembali mbok Marni. Karena hanya wanita tua itu yang mampu bersikap lebih atas tuan mudanya.
Prabu menjatuhkan tubuhnya diatas sofa ukir. Pakaiannya basah kuyup karena sempat mondar mandir dari toko ke toko.
Dia menunduk lesu membiarkan sisa air hujan berjatuhan melewati rambut basahnya.
"Malah seharusnya hari ini, kita akan mengantar Ailin kepada orang tuanya, mbok!" gumam Prabu nyaris tak terdengar.
Mbok Marni mendekat. Keningnya berkerut dengan sorot mata penuh tanya. Wanita berbadan gempal itu masih berdiri, segan untuk duduk.
Prabu mengangkat pandanganya. Wajahnya terlihat kurang sehat. Tatapanya begitu sayu, tampak bibirnya sedikit agak membiru karena kedinginan.
"Duduklah Mbok! Saya butuh teman untuk bercerita. Mungkin hanya mbok Marni yang paling mengerti keadaan saya."
Perlahan wanita tua itu duduk disebrang tuan mudanya. Tatapanya melekat kearah tubuh menggigil tadi.
"Nyonya menyetujui itu??"
Prabu mengunci tatapan mata didepanya, "Anissa sudah tahu semuanya mbok!"
Mbok Marni sedikit terkejut. Apa kepergian nyonya mudanya ada sangkut pautnya dengan masalah Ailin.
"Tidak mbok!! Aku rasa Anissa hanya salam paham atas perlakuanku pada Ailin tadi siang," lirih Prabu semakin terasa sesak.
"Memagnya, apa yang anda lakukan pada Nona?"
Prabu sedikit mendongak. "Aku hanya membaringkan Ailin ditempat tidur. Seingatku hanya itu yang aku lakukan."
Wajah Prabu yang semula tenang. Kini bak tersengat aliran listrik, hingga membuatnya seketika menegang.
Degh!
"Oh ya, Mbok! Aku baru ingat, jika aku mengusap kepala Ailin dalam posisi menunduk. Akankah Anissa mengira, bahwa aku telah ...."
"Apa mungkin, Nyonya mengira jika anda telah memberikan ciuman pada non Ailin?" tanya mbok Marni memastikan.
Prabu terhenyak. Dia perlahan membenarkan posisi duduknya setegap mungkin. Apa benar Anissa pergi karena cemburu buta. Prabu rasa, ucapan pelayan tua itu ada benarnya.
Malam semakin larut. Prabu putuskan untuk naik ke lantai dua menuju kamarnya.
Biasaya, sebelum Prabu masuk kedalam kamar tidurnya. Dia singgah terlebih dulu kekamar Ailin untuk melihat keadaan wanita depresi itu. Tapi kini, Prabu malah berjalan gontai menuju kamar paling ujung.
Klek!
Prabu mengedarkan pandangan keseluruh ruangan setelah dia berhasil masuk.
Bagaimana bisa? Kamar yang semula sunyi senyap, kini seolah hidup berada di alam terbuka. Kamar itu tertata rapi, dan bersih. Biasanya, kamar yang terlalu lama tidak dihuni maka akan menimbulkan bau usang termakan masa. Tapi kamar ini terasa segar, bahkan wangi semerbak. Tanaman hias maupun hidup ada di setiap pojok ruang.
Prabu masih terdiam cukup lama dalam posisinya berdiri. Dia masih berpikir, bagaimana bisa sang istri merawat kamar tersebut, hingga terasa lebih hidup seperti saat ini.
Ujung bibir itu terangkat keatas. Prabu berasa menajdi orang paling bodoh, yang membiarkan sang istri apa-apa berbuat sendiri.
Dia kembali berjalan pelan menuju meja kecil disamping lemari besar. Prabu menjatuhkan tubuhnya diatas karpet bulu disana. Tanganya terulur kedepan, berhenti diatas meja kecil tersebut.
Prabu masih terdiam beberapa menit. Dia mengusap meja portable itu dengan rasa sesak yang kembali menyeruat.
'Mungkinkah meja ini yang biasa menemani hari-harimu, Nissa? Maafkan aku ....'
Dada Prabu bagai terhimpit batu besar, hingga kedua matanya memanas dalam sekejab.
Drrt
Drrt
Mendengar ponselnya bergetar, Prabu cepat-cepat mengusap kedua matanya yang sejak tadi berembun.
Dia lalu segera bangkit.
"Ada apa, Fahmi?
"Tuan ... Menurut informasi dari anak buah saya yang berhasil meretas cctv disepanjang kota. Nyonya menaiki taxi online menuju kota Salatiga. Mungkin saja, Nyonya singgah di rumah orang tuanya," seru Fahmi di sebrang telfon.
Prabu mengangguk angguk pelan. "Tetap pantau terus! Besok datang kesini, kita langsung berangkat ke sana."
"Baik tuan! Kalau begitu saya tutup dulu."
Panggilan terputus.
Prabu mengukir senyum hangat. Semoga saja pencariannya esok, akan segera membuahkan hasil.
Tepat pukul 01.00 malam.
Prabu yang sejak tadi berdiam diri diruang tengah, sambil menyelesaikan pekerjaanya. Terpaksa harus dia hentikan aktivitas malamnya itu.
Tok! Tok!
Tok! Tok!
'Apa Anissa baru pulang... Tapi, apa mungkin? ' tebak Prabu dengan bimbang.
Dia segera bangkit, dan langsung meletakan selimut tebal yang sejak tadi memeluk tubuh dinginya.
Ceklek!
"Elang?"
"Kebetulan, tadi aku sedang menunggu budhe dirumah sakit. Aku tidak sengaja mendengar obrolanmu dengan mbok Siti. Apa benar....? "
Prabu mengangguk lemah. Lalu mempersilahkan sepupunya untuk masuk kedalam.
"Tapi ... Kamu kelihatan pucat sekali? Apa kamu sakit?" Elang memicing, karena wajah sepupunya itu teramat pucat tak berdarah.
Prabu menghela nafas dalam. Dia sandarkan tubuh lesunya pada sofa berukir. Matanya terpejam beberapa detik, karena kepalanya mendadak nyeri mengingat kehujanan tadi.
"Tidak apa. Hanya kehujanan saat di kota tadi."
Tak!
Elang melempar sebungkus rokok diatas meja, setelah dia mengambil satu batang.
"Kenapa kamu tidak mengembalikan Ailin pada orang tuanya?" tanya Elang sambil menyembulkan asap pekat nikotin.
Prabu yang merasa tubuhnya begitu dingin, tanpa sadar tanganya terulur mengambil bungkus rokok tersebur. Fikirnya dengan menyesap satu batang rokok, dapat memulihkan rasa pening yang dirasakannya saat ini.
Ssshhht!
Desah Prabu saat menyesap batang rokok tersebut.
Sudah lama dia tidak menyentuh barang ini. Dan mungkin ini pertama kalinya, setelah larangan demi larangan dia jauhi, agar hidupnya lebih membaik. Namun semakin kesini, teka teki itu kosong adanya. Hidupnya bahkan lebih hancur, bukan dari sesapan benda kecil itu. Melainkan saat orang yang sudah menetap dalam hatinya kini menghilang tanpa kata apapun.
"Aku dan Anissa sudah merencanakan itu jauh-jauh hari. Rencananya hari ini ... Tapi karena kesalah pahaman tadi siang, mungkin itu yang membuat dia pergi," jelas Prabu dengan sesekali menghembuskan asap pekat.
Elang sedikit terkejut, hingga menolehkan wajahnya. Namun dia mencoba tenang, sambil menyentil abu rokok.
"Aku tidak membenarkan perbuatanmu, tapi aku juga tidak tahan jika di posisi Anissa. Wanita itu sangat sulit di tebak, Prabu! Perasaanya sangat lembut. Jadi begini saja kamu pikir ... Lepaskan Anissa jika kamu masih ingin terus merawat wanita depresi itu. Ya ... Apa yang kamu perbuat, wajib menerima konsekuensinya!" kata Elang penuh makna.
Prabu terdiam. Disela nyeri kepalanya yang semakin meradang, dia mencoba mencerna setiap kalimat yang terlontar dari mulut sepupunya.
✨🦋1 Atap Terbagi 2 Surga ✨🦋
udah update lagi ya dibab 62. nanti sudah bisa dibaca 🤗😍
alasan ibu mertua minta cucu, bkn alasan krn kau saja yg ingin di tiduri suamimu.
tp ya gimana secara suaminya kaya raya sayang banget kan kl di tinggalkan, pdhl mumpung blm jebol perawan lbih baik cerai sekarang. Anisa yg bucin duluan 🤣🤣. lemah
mending ganti kartu atau HP di jual ganti baru trus menghilang. balik nnti kl sdh sukses. itu baru wanita keren. tp kl cm wanita pasrah mau tersiksa dng pernikahan gk sehat bukan wanita keren, tp wanita lemah dan bodoh.
jaman sdh berubah wanita tak bisa di tindas.
yg utang kn bpk nya ngapain mau di nikahkan untuk lunas hutang. mnding #kabur saja dulu# di luar negri hidup lbih enak cari kerja gampang.
karena ini Annisa terkejut, bisa diganti ke rasa sakit seolah sembilu pisau ada di dadanya. maknanya, Annisa merasa tersakiti banget
setahuku, penulisan dialog yang benar itu seperti ini.
"Mas? Aku tak suka dengan panggilanmu itu Terlalu menjijikan untuk didengar, Annisa," ucap Parbu dingin dengan ekspresi seolah diri Annisa ini sebegitu menjijikan di mata Prabu.
Tahu maksudnya?
"BLA BLA BLA,/!/?/." kata/ucap/bantah/seru.
Boleh kasih jawaban kenapa setiap pertanyaan di dialog ada dobel tanda baca. semisal, ?? dan ?!. Bisa jelaskan maksud dan mungkin kamu tahu rumus struktur dialog ini dapet dr mana? referensi nya mungkin.
bisa diganti ke
Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu kamar mereka (kamar Prabu yang kini menjadi kamar mereka)
Annisa mulai menyadari sikap dingin Prabu yang mulai terlihat (ia tunjukkan).
BLA BLA BLA, Annisa langsung diboyong ke kediaman Prabu yang berada di kota Malang.
dan kata di kota bukan dikota.
kamu harus tahu penggunaan kata 'di' sebagai penunjuk tempat dan kalimat