"Untukmu Haikal Mahendra, lelaki hebat yang tertawa tanpa harus merasa bahagia." - Rumah Tanpa Jendela.
"Gue nggak boleh nyerah sebelum denger kata sayang dari mama papa." - Haikal Mahendra.
Instagram : @wp.definasyafa
@haikal.mhdr
TikTok : @wp.definasyafa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon definasyafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋆˚𝜗 Bad luck bread 𝜚˚⋆
Motor besar berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah berlantai dua dengan pagar besi yang menjulang tinggi mengelilingi rumah itu. Seorang gadis berbalut jaket kulit hitam yang terlihat kebesaran turun dari jok motor dengan sedikit kesusahan. Wajah pucat serta bintik-bintik kemerahan terlihat begitu jelas di wajah cantiknya, badannya yang lemas membuat gadis itu sedikit kesusahan untuk menopang badan kecilnya.
Sementara lelaki yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya itu memperhatikan gadis yang turun dari jok motor itu lekat, berjaga-jaga jika gadis itu membutuhkan bantuannya. Setelah berhasil turun, gadis itu mendongak menatap lelaki yang duduk di atas motornya itu sebentar sebelum kedua tangannya sibuk hendak melepas jaket milik lelaki itu yang dipinjamkan untuknya.
"Pake aja dulu." Haikal, lelaki yang masih menggunakan seragam sekolahnya itu menatap gadis berbalut jaket kulitnya yang kebesaran itu datar.
Ella, gadis itu mendongak menatap Haikal lekat, "tapi kak - "
Haikal berdecak pelan dan kembali mengunakan helm full face-nya, "udah, cepet sana masuk, ntar pingsan lagi lo." ujarnya sebelum menancap gas motornya meninggal kawasan perumahan elit.
Sedangkan di lain tempat tepatnya di Diningrat Internasional School seorang siswi baru berjalan cepat menuju toilet sekolah berada, kaki itu melangkah memasuki salah satu bilik toilet kemudian beberapa menit kemudian gadis itu kembali keluar toilet merapikan pakaian serta tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah dirasa penampilannya sudah jauh lebih rapi kaki itu pun kembali melangkah keluar hingga saat berada di lorong yang lumayan yang lebih sepi langkahnya terhenti, kepala yang menuduh itu sontak terkejut saat tiba-tiba dia melihat sepatu seorang lelaki yang ada di depannya. Kepala itu mendongak menatap lelaki yang selalu berhasil membuatnya was-was, lelaki yang selalu ingin dia hindari tapi sayangnya mereka tinggal di satu atap yang sama.
"Kak Sarga."
Gadis dengan pita besar di rambut bagian belakangnya itu sedikit memundurkan langkahnya saat Sarga melangkah lebih dekat padanya. Sebisa mungkin gadis itu menghindar namun Sarga lebih dulu menarik pundaknya, mendorong badan mungil itu hingga membentur tembok lorong. Mengurung badan gadis itu menggunakan kedua tangannya, kedua bola matanya menatap gadis di depannya seksual.
"Udah mulai jadi gadis pembangkang, hmm?"
Moana, gadis itu menggeleng keras menolak pertanyaan Sarga padanya. "nggak kak, gue nggak ngebangkang."
Satu alis Sarga terangkat diiringi dengan kekehan pelan, "bukan gadis pembangkang? Terus di kantin tadi itu apa?"
Moana membelalak bingung ingin mengatakan apa, "kak, gue - "
"Berapa kali gue bilang, jagan pernah tunjukin muka lo di hadapan temen-temen gue." Sarga menatap kedua mata Moana tajam.
Moana mengerjap kemudian kepalanya kembali menggeleng pelan, "gue cuma mau nyegah temen gue kak, bukan niat mau nyamperin teman-teman kak Sarga, lagian gue juga nggak kenal sama mereka."
Sudut bibir Sarga terangkat kedua tangannya kembali dia turunkan, menjauhkan badannya dari badan Moana. Kemudian Sarga beralih melipat kedua tangannya di depan dada dengan badan yang dia tumpukan pada tembok lorong, matanya masih setia menatap tajam gadis di depannya. Gadis yang saat ini juga telah menatapnya dengan kedua tangan yang merambat rok span hitamnya, untuk menyalurkan rasa gugup.
"Sekali lagi gue tau lo caper, tunggu hukuman yang bakal lo dapetin dari gue!" setelah mengatakan itu Sarga melangkah menjauh dari hadapan Moana tanpa memperdulikan gadis yang terlihat sangat resah.
Moana menghembuskan nafas beratnya menatap punggung Sarga yang kian menjauh, "kenapa kak Sarga keliatan benci banget sama gue, apa karena gue numpang di rumahnya, ya?"
***
Tujuh anggota inti Peaceable saat ini tengah berada di parkiran sekolah bersiap untuk pulang sebab waktu pulang sudah tiba, namun sebelum benar-benar meninggalkan area Diningrat Internasional School mereka terlebih dahulu berkumpul di parkiran, duduk di atas jok motor mereka masing-masing sambil membicarakan hal-hal yang tidak terlalu penting. Seperti halnya sekarang mereka tengah menggoda setiap adik kelas perempuannya yang berjalan melewatinya sementara yang lainnya hanya berperan sebagai penonton yang menyoraki gombalan-gombalan abstrak Rey.
"Hallo dedek manis, aduh cantik-cantik banget sih. Mau pada kemana sih, pulang ya?" Rey menggoda segerombolan perempuan adik kelasnya itu, tak lupa kedua tangannya yang mengibas-ngibas rambutnya sok tampan.
Haikal berdecak, menatap Rey julid. "basa-basi yang udah basi."
Rey melirik Haikal sinis kemudian dia kembali menatap kedepan dimana dua gadis adik kelasnya yang berjalan di depannya dengan kepala menunduk, tapi Rey dapat melihat bahwa dua gadis itu diam-diam juga tengah meliriknya dengan senyuman tertahan.
Rey terkekeh pelan, baru ingin melancarkan aksinya tapi tiba-tiba gadis yang tadi sempat beradu mulut dengan Haikal itu datang sambil menenteng tas berwarna coksu. Rey mengedikkan bahunya acuh, dia kembali menatap kedepan diaman targetnya tadi berada. Rey berdecak sebal saat ternyata targetnya itu sudah berjalan keluar gerbang, kurang ajar gagal sudah rencananya. Padahal dua adik kelasnya tadi lumayan buat tambahan koleksi pacarannya yang ke 20.
"Nih tas nya Ella." Vani, gadis yang tadi sempat adu mulut dengan Haikal berdiri tepat di depan motor Haikal sambil menyodorkan tas coksu itu ke hadapan Haikal.
Haikal menyergit menatap tas dan gadis cepol satu itu bergantian, "Ella siapa? kenapa kasih ke gue?"
Vani menghembuskan nafas beratnya, kedua bola matanya melirik Arkan sebentar takut tiba-tiba dia di hajar oleh lelaki itu. meskipun dia juga bisa bela diri tapi jika melawan Arkan yang sebesar itu mana bisa dia tapi untungnya Arkan tengah sibuk menyesap zat nikotin itu dengan tatapan fokus pada benda persegi di genggamannya.
"Ini tas Ella, cewek yang tadi lo anter pulang. Gue baru kenal dia tadi pagi jadi nggak tau dimana rumah dia, karena lo yang tau dimana rumahnya jadi tas ini gue kasih ke lo deh."
Haikal berdecak malas, ternyata masalah roti tertukar itu belum selesai-selesai juga. "yakan bisa lo bawa dulu aja, kasih besok pas dia sekolah."
"Ya terus besok dia pake tas apa, gimana sih lo." Vani berusaha untuk tidak mengumpat, dia takut jika Arkan tiba-tiba akan menghajarnya nanti.
"Kan bisa pake tas lain anjir, emang dia cuma punya tas itu aja apa." Haikal menjawab tanpa mau mengambil tas itu dari tangan Vani.
"Masalahnya di dalem sini ada hp sama dompetnya, kalau Ella butuh gimana?"
Haikal berdecak menatap gadis itu malas, namun entah dapat dorongan dari mana tangan itu terulur menyahut tas itu dari tangan Vani dengan kasar.
"Emang dasar cewek ribet."
"Nah gitu dong, yaudah gue mau pulang bay." setelah mengatakan itu Vani melangkah cepat menghampiri dua temannya yang sedari tadi tengah menunggunya di gerbang sekolah.
Cakra menoleh menatap Haikal penuh tanya, "kenapa lo mau?"
Lagi-lagi Haikal berdecak, "ya gimana lagi cuma gue yang tau rumah tuh cewek, dahlah yuk cabut."
"Roti pembawa sial."