Attention!! Lapak khusus dewasa!!
***
Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
Tolong bijak dalam memilih bacaan. Buat bocil gak usah ikut-ikutan baca ini, ntar lu jadi musang birahi!
Gak usah julid sama isi ceritanya, namanya juga imajinasi. Halu. Wajar saja kan? Mau kambing bertelor emas juga gapapa. :"D
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Palazzo d'Oro
Sabtu pagi, ini adalah hari pertama Valeska bekerja sebagai koki pribadi weekend untuk Vincent. Semalam, lelaki itu mengirimkan alamat apartemennya lewat chat, dan sekarang di depan matanya berdiri sebuah bangunan apartemen yang super megah bernama Palazzo d'Oro.
Valeska mendongak, mengamati detail gedung itu. Kaca-kaca besar, penjagaan ketat, aura mewah. Semua yang ada di sini seolah berteriak di samping telinga Valeska, “Ini cuma buat orang kaya!”
“Hhh … gue mimpi apa, sih?” gumamnya sambil menghela napas. “Akhir-akhir ini gue kayak hidup di sinetron. Uang ratusan juta, ketemu CEO kaya, makan di restoran mewah, dan sekarang ... apartemen yang harga satu kamarnya pasti bikin serangan jantung.”
Dengan langkah ragu, dia mendorong pintu kaca besar yang otomatis terbuka. Begitu masuk, seorang security tinggi besar langsung menyambutnya. Wajahnya datar, lebih galak daripada guru matematika zaman sekolah.
“Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” Suaranya berat dan formal banget.
Valeska mendadak grogi. Aduh, jangan-jangan gue diusir, nih. Mukanya galak amat!
“P-pagi,” balasnya canggung. “Saya ke kamar nomor 1289.” Dia buru-buru mengangkat HP-nya, menunjukkan alamat yang dikirim Vincent semalam.
Security itu memandang layar HP, lalu melirik Valeska. Setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, dia mengangguk. “Nona Valeska, ya?”
Valeska langsung bersyukur dalam hati. “Iya, benar!” jawabnya penuh kelegaan.
“Pak Vincent sudah memberi tahu. Beliau bilang Anda diminta ke restoran dulu untuk sarapan sebelum naik ke unit,” jelas security itu dengan nada tegas tapi sopan.
Sarapan? Di restoran? Hah, serius? Gue baru mau kerja udah disuruh makan dulu? Ini pekerjaan atau acara amal, sih?
“Oh, oke,” jawab Valeska, meski di dalam hati masih bingung. Dia mengikuti langkah security itu menuju restoran di dalam gedung apartemen.
Restoran itu, tentu saja, mewah. Dekorasi serba putih dan emas, dengan lampu kristal yang menggantung di langit-langit. Meja-meja tertata rapi, dihiasi bunga segar di tengahnya. Pelayan-pelayannya sangat rapi, pakai uniform hitam-putih seperti di film-film Hollywood.
“Silakan, Nona,” ujar security itu, menyuruhnya masuk.
Valeska menelan ludah. Ini bahkan bukan sarapan, ini brunch versi sultan! Tapi dia berusaha tetap tenang, meski sebenarnya pengen foto-foto semua sudut restoran buat diposting di story.
Seorang pelayan mendekatinya. “Selamat pagi, Nona Valeska. Kami sudah menyiapkan meja untuk Anda.”
“Eh, meja buat saya?” Valeska mengerjap bingung.
“Betul, Pak Vincent memesan meja khusus untuk Anda,” jawab pelayan itu ramah.
Oke, ini makin absurd. Valeska cuma koki weekend, tapi diperlakukan layaknya tamu VIP. Dia pun mengikuti pelayan itu ke meja di sudut restoran, dekat jendela besar yang menghadap ke taman hijau.
Di atas meja, sudah ada nasi hangat, grilled salmon, tamagoyaki atau biasa disebut telur gulung, sup miso, dan acar. Valeska menatap itu semua sambil mikir, Ini sih namanya Japanesse breakfast. Apa gue salah kostum? Harusnya gue tadi dandan ala sosialita, bukan cuma pakai jeans sama kemeja biasa.
“Silakan dinikmati, Nona. Kalau ada kebutuhan lain, panggil saya, ya,” ujar pelayan itu sebelum pergi.
Valeska menarik napas panjang. Oke, sekarang waktunya menikmati makanan ini, walaupun otaknya masih dipenuhi pertanyaan, Vincent niat banget, ya? Kenapa, sih?
Baru dia mengambil tamagoyaki dengan sumpit, HP-nya berbunyi. Pesan dari Vincent.
“Enjoy your breakfast. Jangan buru-buru, ya.”
Valeska membaca pesan itu sambil senyum tipis. Entah kenapa, perhatian kecil seperti ini bikin dadanya terasa hangat.
“Thanks, Boss,” gumamnya pelan, sebelum menggigit rotinya.
......................
Sudah kenyang dan saatnya bagi Valeska untuk melanjutkan langkah kakinya menuju kamar apartemen Vincent. Satu kejutan lagi, ternyata lelaki itu tinggal di penthouse.
"Oh, God," gumam Valeska, matanya membelalak saat melihat pintu kamar yang begitu besar dan mewah di depannya.
Pintu kayu hitam itu seolah menyambutnya dengan aura megah. Pintu setinggi dua kali tubuhnya, dengan gagang pintu emas berkilau, seakan hanya orang-orang tertentu yang layak menyentuhnya. Valeska merasa tubuhnya seperti menjadi sangat kecil dibandingkan dengan pintu itu.
Dia menekan tombol bel, dan sejurus kemudian pintu terbuka dengan sendirinya, menampilkan sebuah ruangan luas yang tampak jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.
Eh, terbuka sendiri?
Valeska sedikit bingung, kemudian mulai melangkah masuk ke dalam dengan hati-hati. “Permisi ... Pak Vincent,” panggilnya, suaranya bergema di ruangan besar yang terasa kosong dan sunyi.
Ruangan itu berhasil membuat Valeska terpana, matanya terbuka lebar melihat sekeliling. Kamar apartemen Vincent itu luar biasa. Lantai marmer putih bersih yang mengkilap, dinding dengan wallpaper nuansa gelap yang elegan, dihiasi dengan lukisan-lukisan abstrak yang tampak mahal.
Lampu-lampu gantung mewah menggantung dari langit-langit, memantulkan cahaya yang lembut. Di ujung ruangan ada ruang tamu dengan sofa besar berwarna hitam dan meja kopi kaca, sementara di sisi lainnya, ada bar kecil dengan kursi-kursi tinggi. Semua terasa sangat luas, sangat nyaman, dan pastinya sangat mahal.
“Valeska,” panggil Vincent dari sebuah ruangan di sebelah. Penampilannya santai dengan pakaian tidur berbahan lembut, celana pendek dan kaos kasual yang nyaman. Rambutnya sedikit acak-acakan, menunjukkan bahwa dia baru bangun tidur. Tapi meski begitu, pesona pria itu tetap saja tidak bisa disembunyikan.
“Pak Vincent ... terima kasih untuk sarapannya,” ucap Valeska dengan tulus.
“Sama-sama,” jawab Vincent dengan senyum lebar, memamerkan lesung pipinya yang membuat Valeska merasa sedikit gugup.
“Anda sendiri sudah sarapan?” tanya Valeska penasaran, memandangi Vincent yang terlihat lebih santai.
Vincent menggelengkan kepala, sambil tetap tersenyum.
Valeska tertawa konyol. Tentu saja hari ini dia harus memasak tiga menu: sarapan, makan siang, dan makan malam untuk Vincent.
“Baiklah kalau begitu. Saya akan masak. Ngomong-ngomong, dapurnya ada di mana?” tanya Valeska dengan sopan.
Vincent mengangguk dan melambaikan tangan. “Ikut gue,” katanya, mengajak Valeska menuju dapur.
Valeska mengekori Vincent menuju dapur, dan saat melihat ruang dapur yang begitu luas, ia langsung melongo. Ini lebih dari sekadar dapur. Ini adalah dapur impian. Semua peralatan terlihat baru dan canggih. Kompor induksi, kulkas besar, oven built-in, dan meja marmer yang bersih. Bahkan countertop-nya pun masih terlihat seperti baru.
"Wow … dapurnya keren banget," puji Valeska sambil melangkah ke arah kulkas. Namun ekspresinya langsung berubah begitu membuka pintu kulkas. "Kok—?" Dia menoleh ke Vincent yang hanya menyengir.
“Sorry, gue nggak pernah belanja di supermarket,” jawab Vincent sedikit malu.
Valeska menarik napas panjang, menahan tawa. Jadi, kulkas gede-gede gini isinya cuma minuman bersoda ya? batinnya, tapi dia tetap bertahan untuk tidak mengungkapkan kekesalannya.
“Setelah sarapan, lo mau nggak temani gue ke supermarket?” tanya Vincent, seolah tak merasa malu lagi.
Tentu saja, Valeska langsung menyetujui. Belanja di supermarket adalah hal yang selalu membuatnya bersemangat.
“Hm … kalau gitu, gue sarapan dulu,” kata Vincent, memerhatikan meja yang hanya berisi buah-buahan. “Satu apel di pagi hari bagus untuk kesehatan,” ujarnya sambil terkekeh.
Valeska hanya tertawa. “Sebentar. Tunggu di sini, ya,” katanya sebelum melangkah keluar dari dapur.
Vincent mengernyit bingung melihat Valeska keluar begitu saja, tetapi dia tetap melanjutkan makan apel sambil menunggu duduk di kursi meja makan.
Tak lama, sekitar sepuluh menit kemudian, Valeska muncul kembali dengan beberapa bahan makanan: roti, sayuran segar, daging ham, dan sekotak susu murni.
“Val, lo dapat ini dari mana?” tanya Vincent dengan heran, terkejut melihat bahan-bahan yang cukup lengkap itu.
Valeska hanya menyengir lebar. “Dapur restoran di bawah.”
“Kok bisa?”
Valeska menggigit bibir, sedikit takut. “Maaf, Pak. Saya jual nama anda,” jawabnya malu-malu, takut kalau-kalau dia dimarahi.
Namun, bukannya marah, Vincent justru tertawa terbahak-bahak dan langsung mengacak gemas rambut Valeska. "Hahaha. Gue suka lo!” katanya merasa kagum dengan solusi cepat dari Valeska.
Di saat tawa mereka menggema, tiba-tiba bel pintu berbunyi.
Vincent mengernyit. Apartemennya paling jarang mendapatkan tamu. Jadi, siapa yang datang sepagi ini?
...****************...
bpak mau daftar??🙂