Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD18
Keringat dingin sebesar biji jagung, memenuhi sekujur tubuh Davina. Sejak meneguk segelas air yang disuguhkan oleh salah satu petugas, wanita pemilik bulu mata badai itu merasa semakin kehausan. Perutnya nyeri bak membelit duri. Ia mual dan nyaris memuntahkan isi perutnya. Tubuh bak gitar Spanyol itu menegang, akibat otot-otot yang keram.
Napasnya amat sesak, seolah ribuan beban kehidupan berkumpul dan mengganjal di saluran pernapasan. Detak jantung Davina semakin tak beraturan.
Sekali lagi, Davina meneguk air di atas meja hingga kandas, demi memuaskan dahaga yang menggila.
Sedikit lagi, nyaris sedikit lagi ujung jari lentik berhias nail polish hitam itu menunjuk salah satu potret wajah pelaku yang terjajar di atas meja. Namun, niatnya gagal ketika tenggorokannya terasa semakin tercekik.
"Anda baik-baik saja?!" tanya Bella. Wanita yang sudah berjanji akan menjamin keselamatan Davina terlihat panik.
"Ugghhh! Hugggh!" hanya erangan yang keluar dari bibir Davina.
Dalam hitungan detik, tubuhnya ambruk dan mengejang di atas lantai. Mulut penuh buih itu menganga lebar tanpa mengucap sepatah kata.
Semua yang ada di ruangan itu berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Davina. Namun, takdir berkata lain, nyawa wanita itu tak dapat tertolong.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Racun arsenik."
Bella dan Abirama menoleh secepat kilat ketika mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Dokter Forensik.
"Racun arsenik?!" Bella terhenyak.
Wanita dengan sebuah kacamata yang membingkai wajah oval nya, mengangguk penuh keyakinan. "Ya, racun buatan yang dapat menimbulkan dampak yang berbeda-beda pula. Tergantung dosis dan jangka waktu paparannya. Racun satu ini sangat sulit terdeteksi karena tidak berbau, berwarna, dan juga tidak memiliki rasa. Jadi, wajar saja kalian bisa kecolongan."
Bella terdiam sejenak, kedua alis tipis miliknya saling bertaut.
"Tapi, jika korban meninggal karena meminum air yang beracun, kenapa anggota ku sampai saat ini baik-baik saja? Mereka mengkonsumsi air yang sama." Wajah heran Bella meminta jawaban.
"Bukan air nya," jawab Dokter. "Melainkan gelasnya."
Jawaban sang dokter membuat kedua petugas itu saling melempar pandang. Mereka sama-sama terdiam, dengan batin yang berisik.
Siapa? Kapan? Bagaimana bisa? Beragam pertanyaan bergema dalam relung keduanya. Bella dan Abirama masih tak percaya, bagaimana bisa korban meregang nyawa di bawah pengawasan mereka. Namun, apa bisa di kata? Kenyataan yang terjadi hari ini, menampar telak wajah keduanya.
Jika Bella dan Abirama dilanda kebingungan dan juga sebuah rasa bersalah, berbeda pula dengan seorang pria yang tengah melompat-lompat di atas kasur di dalam sebuah rumah tua.
Tawanya pecah membahana dengan kedua mata menatap layar kaca raksasa. Layar kaca yang menampilkan cctv di ruangan divisi kriminal. Layar kaca yang menunjukkan kematian Davina.
"Ah, menyenangkan sekali, hahaha ... melihat orang-orang dungu ini, benar-benar sangaaaat menyenangkan, hahaha ...!" Mata amber miliknya berpendar di dalam ruangan redup, membiaskan aura kejam. Pria itu menyeringai menyerupai iblis.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Dasar orang-orang bodoh!" Teriak Ketua sembari melempar table sign yang terbuat dari logam ke arah kepala Bella.
BUGH!
Benda berbentuk kotak itu melayang dan menghantam punggung Abirama, yang sigap berdiri tegap menghalang tepat di hadapan Bella.
Kapten cantik itu sontak terkejut. Tidak, Bella bukan terkejut dengan tindakan bar-bar yang ia terima dari atasannya. Melainkan Bella terkejut melihat Abirama rela mengorbankan punggung dan meringis kesakitan dihadapannya. Sejenak wanita itu membeku dengan kedua pipi bersemu.
"Bisa-bisanya saksi yang dilindungi oleh kalian, malah meregang nyawa di kantor kita?! Mau disembunyikan di mana wajah ku ini, hah?!" Bentakan Handoko sang ketua, menyadarkan Bella. Wanita itu menggeser tubuh Abirama, lalu menatap tajam pada sang ketua.
"Coba sembunyikan di dalam be-ha ayam kampus favorit anda, Pak. Barangkali muat." Bella melenyapkan sopan santunnya dan menatap sengit. Ia masih tak terima dengan aksi ketua yang melemparkan papan nama ke arah wajahnya.
"Apa kata mu?! Hey, kemari kau!" Handoko maju dua langkah, ingin memberi pelajaran pada bawahannya yang dia anggap lancang.
Rinol dan Taufik langsung menghadang langkah Handoko, sekaligus mencekalnya.
"Sabar, Pak. Sabar, Pak." Keduanya berusaha menengahi. Namun, Handoko memberontak murka.
Telunjuknya melayang-layang di udara, mengacung tegas ke arah Bella. "Mulai sekarang, Tim 1 dikeluarkan dari kasus ini. Penyelidikan akan dilanjutkan oleh Tim 2!"
Titah dari Handoko sontak membuat Bella tergelak. Handoko semakin murka.
"Bawa keluar Kapten kalian yang gila ini dari ruangku!" titah Handoko lagi. Dan, lagi-lagi Bella kembali tergelak.
Bella menatap dan meneliti dengan cermat pria tua yang suaranya terdengar seperti orang sedang naik darah. Anggota nya pasti mengira, sang ketua benar-benar marah. Namun, pengamatan Bella berbeda, menurutnya Handoko hanya sedang berlakon saja. Pria tua itu tengah bersandiwara demi memuluskan perannya.
"Kalian, keluar lah. Tinggalkan kami berdua," perintah Bella pada anggotanya.
Abirama, Taufik dan juga Rinol saling bertukar pandang. Sementara Handoko sudah menatap sengit.
"Kau pikir, siapa kau berani memberi perintah seenaknya pada mereka?!" bentak Handoko.
"Saya?" Bella mengacungkan ujung telunjuknya ke wajahnya sendiri. "KETUA TIM 1."
Sengaja Bella menekan intonasinya. Dan ajaibnya, ketiga anggota dari Tim 1 bak terhipnotis dan segera memilih keluar dari ruangan.
Begitu mereka keluar, Bella duduk di depan meja sang ketua dengan santai. Wajahnya biasa saja, tak ada rasa takut yang terpancar.
"Apa mau mu?!" tanya Handoko ketus, pria tua itu ikut meluruhkan bokongnya di kursi empuk yang selama ini sudah banyak memberinya gaji buta.
"Tidak muluk-muluk." Bella mengeluarkan amplop yang sejak tadi bersembunyi di balik pinggangnya. Kemudian ia menyerahkan amplop tersebut pada Handoko dengan senyuman angkuh.
Handoko menyambar amplop tersebut dengan raut malas. Begitu membuka amplop coklat itu, bola mata Handoko membeliak. Amplop ditangannya bergetar.
Bella beranjak dari duduknya dengan wajah puas. "Tim 1 akan tetap menyelidiki kasus ini ...."
"Oh, ya, selamat. Saya dengar-dengar, putra bungsu anda baru saja tamat sekolah dan sedang mendaftarkan pendidikannya di Eropa. Saya bisa membayangkan berapa banyak uang yang akan anda keluarkan untuk menghidupi anak se-manja itu di Benua Biru sana. Bukannya akan sayang sekali, jika anda harus pensiun mendadak --- Ah, sorry, maksud saya ... sayang sekali jika anda harus dipecat secara tidak hormat hanya perkara tak akur dengan bawahan seperti ... saya? Pfft!" Bella nyaris tertawa. Buru-buru ia segera berlalu, meninggalkan Handoko yang sudah senam jantung.
"Sialan!" umpat Handoko. "Bagaimana bisa wanita sialan itu tau tentang hal ini?!"
Handoko membanting amplop pemberian Bella di atas meja. Amplop yang berisi potret dirinya tengah mengangkut kardus-kardus pemberian mafia tanah. Kardus dengan tulisan JUS BUAH SEGAR, yang berisikan uang ratusan juta rupiah. Uang sebagai imbalan atas jasanya yang tak mengindahkan laporan para warga yang sudah kehilangan tanah serta rumah mereka.
BRAKK! BRAKKK!
Handoko menggebrak mejanya dengan kedua tangan gemetar. Ia kalah telak!
*
*
*
kirain dia yang mau pakai topeng bela ...
cara mainmu emang hebat si gila, tapi feeling Edwin lebih kuat.... bhahahaha....
seketika keinget sama gunawan gavriil tor 😂