Novel ini menceritakan kisah seorang Naila Shababa, santri di pondok pesantren Darunnajah yang di cap sebagai santri bar-bar karena selalu membuat ulah.
Namun, siapa sangka nyatanya Gus An, putra dari pemilik pesantren justru diam-diam menyukai tingkah Naila yang aneh-aneh.
Simak selalu di novel yang berjudul “GUS NACKAL VS SANTRI BARBAR.” Happy reading🥰🥰...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03
“Sebel... sebel... sebel deh... hiks hiks... ” Naila keluar dari Ndalem dengan lari dan menangis tersedu-sedu. Umi' mengamati Naila sejak tadi. Meskipun beliau tau jika anak itu sempat berkata tidak sopan pada Gus An, putranya, setidaknya Umi' berharap semoga Dia cepat berubah.
“Semoga dengan hukuman ini kamu bisa lebih baik lagi nak... Umi' tidak ada maksud apapun memperlakukan kamu seperti ini kecuali demi kebaikanmu sendiri.”
“Hiks... hiks... Mbak Santi, Aku mau menelepon Ayah... ” Naila menghampiri ruang kepengurusan.
”Tidak boleh, ini sudah tidak waktunya menelepon. Lagian sebentar lagi juga mau sholat jama'ah. Sana ambil wudhu. Jangan sampai terlambat.” bentak Mbak Santi kepada Naila yang membuat tangisnya semakin pecah.
“Aku nggak mau jama'ah, Aku maunya menelepon Ayah Mbak...”
“Naila...!!! kamu itu sudah besar, bahkan sudah termasuk santri senior loh. Tapi kelakuanmu itu tidak mencerminkan sikap sebagai seorang santri sama sekali. Bahkan lebih buruk dari pada santri baru.”
Jleb... ucapan Mbak Santi membuat Naila tersinggung. Meskipun pada kenyataannya Dia memang seperti itu.
“Biarin... suka-suka Aku, lagian Mbak Santi pikir udah paling baik gitu sampai mengatai seperti itu...? ” Naila memang Naila, tidak seperti santri pada umumnya. Dia tidak takut dengan siapapun kecuali pada Abi dan Umi'.
“Oh jadi semakin berani ya sama senior...? biarin, nanti bakal saya adukan ke Umi' biar hukumanmu ditambah...”
“Oh, jadi selama ini orang yang suka ngaduin Aku ke Umi' itu Mbak Santi...? faham-faham...” Naila tersenyum getir, meninggalkan Mbak Santi yang masih terus mengatakan berbagai macam keburukan Naila.
“Hiks... hiks... Ayah... Ibu... ” Naila kembali menangis di sudut kamarnya.
“Nai, kamu ngapain sih dari tadi nangis mulu... nggak malu tuh dilihatin sama Anak-anak baru...?” tanya Fatma, salah satu teman sekelas, juga sekamar dengan Naila.
“Aku capek hidup di pesantren... Aku udah nggak betah lagi, pengen sekolah dirumah aja biar bisa bebas... hiks... hiks... ”
“Astaghfirullah Nai, kamu itu udah kelas sebelas loh... tahan sebentar lagi. Tinggal setahun lebih dikit aja udah lulus kok.” bujuk Fatma kepada Naila yang justru tangisnya semakin keras sampai sesenggukan.
”Setahun itu lama Fatma... kamu sih nggak tau rasanya jadi Aku, dapat hukuman dari Umi', dari ustadz. Aku tuh capek tau... belum lagi di suruh ngikutin pengajian, jamaah, tidurnya juga kurang, masih disuruh hafalan lagi. Capek Fatma... capek...” Fatma yang mendengarkan celoteh Naila terdiam menelan salivanya. “Sepertinya Naila sangat tertekan hidup disini.”
“Tolong bantu Aku Fatma... tolong bantu hubungin Ayah biar dijemput, Aku udah nggak betah diaini... Apalagi sama Mbak Santi, muak banget ngelihatnya.”
“Mbak Santi...? kamu ada masalah sama Mbak Santi...? jangan coba-coba cari masalah sama Dia loh Nai, bisa-bisa kamu dikasih hukuman sampai lulus...”
“Hiks... hiks... Dia duluan kok yang mulai... hiks... Dia yang ngatain Aku tidak memiliki etika. Dia juga yang ngaduin Aku ke Umi' sampai Aku sekarang dikasih hukuman membersihkan Ndalem selama setahun. Gara-gara itu, Aku jadi ketemu sama Gus An yang menyebalkan itu...”
“Tunggu, tunggu... Gus An...? putranya Abi...? ”
”Iyalah, Gus An siapa lagi.”
”Bukannya lagi kuliah di Mesir...? ”
”Nggak tau tuh, tadi barusan datang. Hiks... dan kalau kamu tau, Dia tidak setampan wajahnya. Menyebalkan sekali ternyata. Mentang-mentang anaknya Kiyai, jadi nyuruh orang semaunya saja. hiks... hiks... ”
“Udah kamu tenang dulu ya, nggak enak loh dilihatin anak baru kalau kamu nangis kayak gini terus. Mendingan kita ambil wudhu terus berangkat jamaah bareng... ” Naila setuju dengan Fatma. Dia ikut mengantri dikamar mandi dengan wajah sembab dan sesenggukan.