Bintang panggung dan penulis misterius bertemu dalam pertemuan tak terduga.
Rory Ace Jordan, penyanyi terkenal sekaligus sosok Leader dalam sebuah grup musik, terpikat pada pesona Nayrela Louise, penulis berbakat yang identitasnya tersembunyi.
Namun, cinta mereka yang tumbuh subur terancam ketika kebenaran tentang Nayrela terungkap.
Ikuti kisah mereka....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. KCTT 18.
Rory meraih ponsel yang sebelumnya ia letakkan di atas kursi panjang di ruang Gym pribadi mereka, duduk di sana untuk menghilangkan rasa lelah setelah menyelesaikan latihan fisik yang rutin mereka lakukan meski itu malam hari.
Selama beberapa saat, ia menatap layar ponselnya, lalu menengadah sejenak untuk berpikir, dan menunduk lagi menatap layar ponsel diakhiri menggelengkan kuat kepalanya.
[[ "Selamat malam, Nay. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" ]]
Rory mengirimkan pesan pada Nayla setelah merasa terlalu lama berpikir, berharap pesannya mendapatkan respon baik meski hati diliputi perasaan was-was.
"Apa dia sedang sibuk? Atau sudah tidur?" Rory bergumam pelan, lalu memeriksa ponselnya lagi dan mendesah panjang.
"Masih belum dibalas." Rory bergumam lagi sembari mengacak kasar rambutnya.
Pria itu segera menyembunyikan ponsel ketika mendengar suara teman-temannya mendekat, duduk bersandar sembari menyeka keringat yang membasahi wajah dan leher, berharap teman-temanya tidak menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
"Istirahatlah, Rory! Latihanmu sudah cukup, besok kalian memiliki jadwal padat," ucap Martin begitu berada di dalam ruang Gym dan melihat Rory baru saja menyelesaikan latihannya.
Pria itu mengangguk seraya berdiri, melangkah keluar tanpa mengatakan apapun sementara satu tangannya menyelipkan ponsel ke balik pakaiannya.
"Hal ini juga berlaku untuk kalian!" Martin kembali berbicara pada mereka yang tersisa, lalu berbalik pergi meninggalkan ruang Gym.
.
.
.
Ruang kerja berukuran luas itu memiliki sebuah meja lengkap dengan satu set komputer, Bean bag dan sofa kecil dengan sebuah meja kecil di depannya, serta lantai yang beralas karpet bulu di sekitar sofa. Dinding di ruangan itu hampir sepenuhnya tertutup rak buku menjulang tinggi menyentuh langit-langit yang dipenuhi oleh buku, hingga diperlukan sebuah tangga untuk mengambil buku dibagian atas.
Satu-satunya yang tampak mencolok dari ruang kerja yang dimiliki Nayla di Apartemennya adalah sebuah gitar coklat yang tampak sangat terawat berada di sisi sofa yang berdekatan dengan meja komputer.
"Eengghh,,,,,"
Nayla mengerang pelan, menarik kedua tangannya ke atas, lalu memijit bahunya sendiri sembari menggelengkan kepala untuk menghilangkan rasa lelah yang ia rasakan.
Menghentikan sejenak kegiatannya dalam menulis naskah untuk buku barunya, lalu meraih ponsel yang sempat berbunyi beberapa waktu lalu.
Alisnya seketika berkerut ketika melihat nama pengirim pesan yang ternyata bukan dari sang asisten seperti yang ia pikirkan.
"Roy?" ia bergumam pelan, lalu membuka pesan yang ia terima sekaligus memberikan balasan.
[[ Nayla@ "Malam, Roy. Maaf membuatmu menunggu lama, aku tidak menyadari kamu mengirimiku pesan."
Rory@ "Tak masalah, apa yang sedang kamu lakukan?"
Gerakan tangan Nayla yang akan meletakkan ponsel terhenti ketika ponsel di tangannya kembali bergetar dengan suara notif pesan.
"Cepat sekali dia membalas," Nayla bergumam pelan.
[[ Nayla@ "Hanya melakukan sedikit pekerjaan yang tidak bisa aku selesaikan hari ini,"
Rory@ "Maafkan aku, aku sungguh tidak tahu jika kamu sibuk,"
Nayla@ "Tidak apa-apa, aku baru saja menyelesaikannya,"
"Lalu, bagimana denganmu? Apa yang sedang kamu lakukan?"
Rory@ "Tidak ada yang menarik, hanya bersantai sambil memainkan gitar,"
Nayla@ "Gitar? Sungguh? Kamu bisa memainkannya?" (antusias)
Rory@ "Hanya bagian dasar. Kelihatannya kamu tertarik,"
Nayla@ "Sangat! Dan aku yakin kamu menguasainya dengan baik, bukan amatir seperti yang baru saja kamu katakan,"
Rory@ "Bagaimana kamu bisa yakin bahkan tanpa sekalipun mendengar?" (bertanya penasaran)
Nayla@ "Firasatku mengatakan begitu, dan firasatku selalu benar,"
Rory@ " (tertawa) Akan ku ambil itu sebagai pujian,"
"Uhm,,, Nay,,,"
Nayla@ "Ada yang ingin kamu katakan?"
Rory@ "Ya,"
Nayla@ "Kalau begitu katakan!"
Rory@ "Apakah, kamu memiliki waktu besok malam?"
Nayla@ "Besok? Mengapa?"
Rory@ "Aku ingin mengajakmu makan malam, tentu saja jika kamu tidak keberatan dengan itu,"
Nayla terdiam sejenak untuk berpikir, menimbang-nimbang ajakan makan malam dari pria yang baru saja ia kenal tidak pernah dilakukan sebelumnya, terutama tanpa di temani Rose yang menjadi asistennya.
Pandangannya kini tertuju pada naskah yang ada di depannya, memikirkan berapa banyak waktu yang ia perlukan untuk menyelesaikan naskah itu sebelum ia menyerahkan pada sang asisten untuk menghindari deadline.
"Kurasa, aku masih memiliki waktu untuk menyelesaikan naskah ini, lagipula hanya untuk makan malam saja bukan? Itu tidak mungkin memakan waktu lama," Nayla bergumam pelan sampai ponsel di tangannya kembali bergetar.
[[ Rory@ "Tidak ada paksaan, kamu bisa menolak, aku akan mengerti,"
Nayla@ "Baiklah, aku menerimanya,"
Rory@ "Sungguh?"
Nayla@ "Ya, katakan saja waktu dan tempatnya, aku akan datang,"
Rory@ "Senang mendengarnya. Kalau begitu akan ku kirimkan alamatnya besok,"
"Ini sudah cukup larut, maaf sudah menahanmu terlalu lama, selamat beristirahat, Nay. Sampai jumpa besok,"
Nayla@ "Sampai jumpa besok, Roy," ]]
Nayla meletakkan ponsel di meja ketika selesai dengan pesan terakhir yang ia kirim, menyandarkan punggung dengan kepala tengadah, lalu tersenyum.
Sesaat kemudian, ia beranjak dari duduknya, mengambil gitar dari tempatnya dan kembali duduk dengan gitar di pangkuan, kembali terseyum. Jemarinya bergerak memetik senar gitar, memejamkan mata, lalu menyenandungkan lagu. Lagu yang akan ia tuliskan dalam sebuah buku khusus miliknya dimana buku itu hanya berisi lagu yang murni ia ciptakan sendiri.
...%%%%%%%%%%%%...
"Yess...."
Rory berseru senang sembari mengangkat kepalan tangan di udara dengan satu tangan masih menggenggam ponsel yang memperlihatkan balasan pesan dari Nayla.
"Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya besok,"
.
.
.
## Keesokan harinya...
Rory dan tim menjalani aktivitas seperti biasa. Namun, hari itu mereka merasakan sebuah keanehan ketika melihat sikap Rory yang tersenyum sepanjang hari tanpa sebab. Seluruh latihan fisik dilakukan tanpa keluhan. Latihan koreo pun bisa dilakukan dengan cepat di luar biasanya di mana Rory selalu menjadi satu-satunya penerima teguran terbanyak disetiap gerakan oleh sang koreografer.
Bahkan Rory tidak protes ketika diminta untuk rekaman ulang yang dilakukan dengan lancar tanpa kesalahan. Termasuk ketika mereka diberi waktu untuk beristirahat, Rory justru memainkan gitarnya dengan senyum tak lepas dari bibir pria itu.
"Dia gila, kerasukan atau salah minum obat?" Ethan menggerutu dengan napas terengah.
"Apa dia tidak lelah? Dia selalu protes setiap saat, kenapa sekarang penurut sekali? Aku bahkan hampir kehabisan napas," Nathan menimpali.
Mereka melakukan gerakan serempak, menyeka keringat yang membasahi wajah dan leher sembari melempar pandangan pada Rory.
"Entah dari mana tambahan energinya berasal," Ethan kembali berbicara, wajahnya menunjukkan tidak rela lantaran dirinya kini sudah mendapatkan banyak teguran dari koreografer akibat gerakan yang salah.
Thomas hanya menaikkan bahu dengan pandangan tertuju pada Rory, tersenyum tipis sembari menggelengkan kepala pelan ketika melihat Rory memainkan gitar disudut ruangan seolah ingin menjauh dari mereka dengan satu kemungkinan yang terlintas salam benaknya.
'Dia sedang jatuh cinta,'
Thomas kembali tersenyum tipis tanpa siapapun menyadari apa yang ia lakukan. Detik berikutnya beralih pandang pada satu orang yang melangkah keluar meninggalkan ruang latihan dengan wajah masam.
Hingga tanpa terasa, waktu yang telah Rory tentukan untuk bertemu Nayla telah tiba.
Rory memarkirkan mobil yang ia pinjam dari sopir pribadi dari Tim di area parkir terbuka untuk menghindari Nayla bertanya banyak hal, mengenakan pakaian sederhana hanya untuk membuat penampilannya tidak mencolok, lalu mengenakan topi sekaligus masker untuk menutupi sebagian wajahnya sebelum dirinya memasuki sebuah restoran yang telah ia pesan.
Beberapa lama menunggu dengan berdiri membelakangi meja yang telah ia pesan, pria itu segera berbalik kala mendengar suara langkah kaki seseorang mendekat.
...%%%%%%%%%%...
. . . . .
. . . . .
To be continued...
kalimatnya ini astagaa😖😖