Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cara Baru Di Langit
Bab 21: Cahaya Baru di Langit
Beberapa bulan setelah program Melodi Harapan berjalan sukses, Arya dan Reina merasa bahwa Rumah Cahaya telah menjadi lebih dari sekadar tempat belajar. Tempat itu kini menjadi pusat komunitas yang menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbagi ide, kreativitas, dan harapan. Namun, seperti perjalanan sebelumnya, semakin tinggi mereka melangkah, semakin besar pula tantangan yang mereka hadapi.
---
Suatu pagi, Arya menerima surat elektronik dari sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat. Lembaga itu, Global Community Alliance, mengundang mereka untuk menghadiri konferensi di Singapura dan mempresentasikan kisah Rumah Cahaya sebagai contoh inspiratif pembangunan komunitas berbasis lokal.
“Ini kesempatan besar, Arya!” seru Reina dengan antusias.
“Tapi kita harus memastikan segalanya di sini tetap berjalan lancar,” jawab Arya. “Siapa yang akan memimpin kegiatan selama kita pergi?”
Reina berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita serahkan kepada Bu Sari dan tim sukarelawan? Mereka sudah cukup memahami sistem yang kita bangun.”
Setelah berdiskusi panjang, Arya dan Reina akhirnya memutuskan untuk menerima undangan itu.
---
Di konferensi itu, Arya dan Reina berbagi cerita tentang awal mula Rumah Cahaya—tantangan yang mereka hadapi, perjuangan bersama komunitas, dan hasil luar biasa yang telah mereka capai.
Presentasi mereka mendapat sambutan luar biasa. Banyak peserta yang terinspirasi oleh pendekatan mereka yang menggabungkan cinta, kreativitas, dan keberlanjutan. Beberapa bahkan menawarkan kerjasama untuk membawa program Rumah Cahaya ke negara lain.
“Ini lebih dari yang pernah kubayangkan,” bisik Reina kepada Arya di sela-sela acara. “Kita memulai ini dengan satu malam penuh harapan, dan sekarang, lihatlah di mana kita berada.”
Arya menggenggam tangan Reina. “Dan ini semua karena kita percaya pada mimpi kita.”
---
Kembali dengan Rencana Baru
Sekembalinya ke Rumah Cahaya, Arya dan Reina membawa banyak ide baru. Salah satunya adalah memperluas jangkauan mereka dengan membangun cabang Rumah Cahaya di kota-kota lain. Namun, mereka tahu bahwa ini adalah langkah besar yang membutuhkan persiapan matang.
“Reina, aku ingin kita melakukannya tanpa kehilangan esensi apa yang sudah kita bangun di sini,” ujar Arya.
“Kita bisa melibatkan komunitas lokal di setiap cabang yang akan kita bangun. Dengan begitu, mereka juga merasa memiliki,” jawab Reina.
Mereka pun mulai menyusun rencana strategis, menghubungi pihak-pihak yang tertarik untuk mendukung proyek ini, dan melibatkan lebih banyak sukarelawan.
---
Salah satu momen paling mengharukan terjadi saat Arya dan Reina mengumumkan rencana ekspansi mereka kepada anak-anak di Rumah Cahaya.
“Apakah kalian akan meninggalkan kami?” tanya seorang anak kecil dengan wajah cemas.
Reina berlutut dan memeluk anak itu. “Tidak, sayang. Kami akan tetap di sini. Kami hanya ingin membawa kebahagiaan dan harapan ini ke tempat lain, agar lebih banyak anak seperti kamu bisa merasakannya.”
Arya menambahkan, “Dan kalian semua adalah bagian dari keluarga besar Rumah Cahaya. Apa pun yang terjadi, tempat ini akan selalu menjadi milik kalian.”
Anak-anak itu tersenyum lega.
---
Beberapa bulan kemudian, cabang pertama Rumah Cahaya resmi dibuka di kota terdekat. Peresmian itu dihadiri oleh banyak pihak, termasuk orang-orang yang terinspirasi oleh perjalanan Arya dan Reina.
Saat berdiri di depan bangunan baru itu, Reina menatap Arya dengan mata berbinar. “Kau tahu, Arya? Aku tidak pernah merasa sebahagia ini.”
Arya tersenyum sambil menggenggam tangan Reina. “Ini adalah mimpi kita, Reina. Dan aku tahu, ini baru permulaan.”
Mereka berdua melangkah masuk ke dalam, membawa semangat yang sama seperti ketika mereka memulai perjalanan ini. Cahaya baru telah lahir, dan mereka siap untuk terus menyebarkannya ke tempat-tempat lain.
---
Setelah peresmian cabang pertama Rumah Cahaya, Arya dan Reina mulai merasakan perubahan besar dalam hidup mereka. Kehadiran banyak pihak yang ingin mendukung mimpi mereka memberikan semangat baru, tetapi juga membawa tantangan yang lebih kompleks. Mereka harus menjaga keseimbangan antara perkembangan organisasi dan nilai-nilai awal yang menjadi fondasi dari segalanya.
--
Saat program ekspansi mulai berjalan, beberapa anggota komunitas lama merasa terabaikan. Mereka khawatir Rumah Cahaya akan kehilangan sentuhannya yang personal dan berubah menjadi organisasi besar yang jauh dari akarnya.
“Saya mengerti bahwa kita ingin tumbuh,” ujar Pak Wira, salah satu sukarelawan pertama mereka, dalam sebuah pertemuan. “Tapi jangan sampai kita melupakan apa yang membuat tempat ini istimewa: kedekatan kita dengan komunitas.”
Kata-kata itu membuat Arya dan Reina berpikir keras. Mereka memutuskan untuk melakukan pendekatan yang lebih inklusif, melibatkan sukarelawan lama dalam setiap pengambilan keputusan terkait ekspansi, serta memastikan bahwa setiap cabang baru akan dijalankan dengan semangat yang sama seperti cabang pertama.
“Kita tidak bisa melangkah maju dengan meninggalkan mereka yang telah mendukung kita sejak awal,” ujar Reina kepada Arya setelah pertemuan itu.
Arya mengangguk setuju. “Dan kita tidak akan melakukannya. Mereka adalah keluarga kita.”
---
Di tengah kesibukan mereka, Reina menerima kabar bahwa ibunya yang tinggal di kampung halamannya jatuh sakit. Meski selama ini hubungan mereka renggang, Reina merasa bahwa inilah waktunya untuk memperbaiki hubungan yang telah lama retak.
“Arya, aku harus pulang. Aku tidak bisa meninggalkan Ibu sendirian dalam kondisi seperti ini,” kata Reina dengan suara bergetar.
Arya memeluknya erat. “Kau harus pergi, Reina. Aku akan menjaga semuanya di sini. Ibumu membutuhkanmu.”
Reina pun berangkat ke kampung halamannya, meninggalkan Arya untuk sementara waktu. Di sana, ia merawat ibunya dengan penuh kasih. Meskipun awalnya ada jarak di antara mereka, lambat laun hubungan mereka kembali hangat.
“Reina, aku bangga dengan apa yang telah kau capai,” kata ibunya suatu malam. “Aku menyesal karena dulu aku tidak cukup mendukungmu.”
Reina menggenggam tangan ibunya dengan mata berkaca-kaca. “Ibu, aku tidak akan berada di titik ini tanpa doa dan kasih sayangmu, meskipun kau tidak selalu menunjukkannya.”
---
Sementara itu, Arya menghadapi tantangan baru di Rumah Cahaya. Salah satu donatur utama mereka memutuskan untuk menarik dukungannya karena ingin mengalihkan fokus ke proyek lain. Hal ini membuat Arya harus mencari cara lain untuk menjaga keberlangsungan program-program mereka.
“Kita tidak boleh bergantung hanya pada satu sumber,” pikir Arya. Ia mulai menggali potensi pendanaan dari komunitas lokal, menjadikan Rumah Cahaya lebih mandiri secara finansial.
Ia mengadakan bazar amal, menjual kerajinan tangan yang dibuat oleh anak-anak dan masyarakat, serta memperkenalkan program pelatihan keterampilan yang berbayar untuk kalangan tertentu. Hasilnya, Rumah Cahaya berhasil melewati krisis tersebut tanpa mengorbankan layanan mereka untuk masyarakat yang membutuhkan.
--
Setelah beberapa minggu di kampung halamannya, Reina kembali ke Rumah Cahaya dengan semangat baru. Ia membawa ide untuk memperkenalkan program Hati dan Harmoni—sebuah kegiatan yang mengajarkan pentingnya kesehatan mental melalui seni dan diskusi kelompok.
“Ibu mengingatkanku bahwa kesehatan bukan hanya soal tubuh, tapi juga hati dan pikiran,” kata Reina kepada Arya.
Arya menyambut ide itu dengan antusias. “Aku yakin ini akan sangat membantu banyak orang, Reina. Kau selalu tahu cara menyentuh hati orang lain.”
---
Program baru itu mendapatkan respons positif dari masyarakat. Banyak orang yang merasa terbantu, terutama mereka yang selama ini tidak memiliki tempat untuk berbagi cerita.
Di malam perayaan keberhasilan program Hati dan Harmoni, Arya dan Reina duduk di tepi taman Rumah Cahaya, memandang langit yang cerah.
“Arya, aku merasa kita telah menemukan tujuan kita. Tapi aku juga tahu bahwa perjalanan ini tidak akan pernah selesai,” ujar Reina sambil memandangi bintang-bintang.
Arya tersenyum dan merangkulnya. “Dan itulah yang membuatnya indah, Reina. Selama kita terus bermimpi, akan selalu ada cahaya baru yang bisa kita kejar.”
Malam itu, mereka kembali merasakan cinta dan harapan yang selalu menjadi inti dari perjalanan mereka.