Kejadian pilu pun tak terduga menimpa Bjorn, para polisi menuduh dia sebagai kaki tangan seorang kriminal dan akhirnya ditembak mati secara tragis.
Bjorn yang tidak tahu alasannya mengapa dirinya harus mati pun terbangun dari kematiannya, tetapi ini bukanlah Akhirat.. Melainkan dunia Kayangan tempat berkumpulnya legenda-legenda mitologi dunia.
Walau sulit menerima kenyataan kalau dirinya telah mati dan berada di dunia yang berbeda, Bjorn mulai membiasakan hidup baru nya dirumah sederhana bersama orang-orang yang menerima nya dengan hangat. Mencoba melupakan masa lalunya sebagai seorang petarung.
Sampai saat desa yang ia tinggali, dibantai habis oleh tentara bezirah hitam misterius. Bjorn yang mengutuk tindakan tersebut menjadi menggila, dan memutuskan untuk berkelana memecahkan teka-teki dunia ini.
Perjalanan panjangnya pun dimulai ketika dia bertemu dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
(REVISI BERLANJUT)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudha Lavera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Kakak dan adik
Theo sedikit tegang dengan keadaan, dia mulai terbawa perasaan, menghela napas nya dengan parau "Sungguh aneh bukan? Sejak kecil aku tak pernah lagi bertemu denganmu, tapi. Kita malah bertemu ditempat seperti ini" Ucap Theo mengangkat kedua bahu dengan kedua telapak tangan menadah.
Bjorn menyela perkataan adiknya "Tujuanku datang kesini ingin menjemput Neil"
Seketika cincin permata yang berkilau di jari Theo, berhamburan cahaya putih yang meledak-ledak. Mengeluarkan angin kencang dan menyapu debu "Apa itu? Apakah mulut kasar ayahmu sudah diwariskan pada mu?!"
...****************...
Ketika Bjorn dan Theo masih anak-anak, mereka berdua adalah sepasang kakak beradik yang akur dan saling menyayangi, mereka berdua adalah anak dari Hugo Preston dan Josie Louin.
Ayah mereka yang bernama Hugo Preston adalah pria perkasa atlet tinju bebas. Sedangkan ibu mereka yang bernama Josie Louin adalah master Rapier, atau yang biasa disebut atlet yang tangkas menggunakan pedang lancip seperti jarum.
Pernikahan Hugo dan Josie dikaruniai dua orang anak, sang kakak bernama Bjorn Erezmola dan adiknya bernama Theo Dubois. Mereka berdua memiliki warna rambut yang sama seperti ayahnya berwarna kuning ke-emasan, dan Theo memiliki mata yang mirip seperti ibu nya berwarna abu-abu.
Sejak kecil Bjorn yang berumur delapan tahun dan Theo yang berumur enam tahun, sudah dilatih keras oleh ayahnya, mempelajari banyak ilmu bela diri, dan melakukan rutinitas latihan fisik secara disiplin. Dari sekian latihan yang Hugo berikan, hanya Bjorn yang memiliki potensi bagus dalam pelatihannya, sedangkan Theo sangat buruk dalam penguasaan gerakan.
Sampai disaat Hugo yang kondisi hati-nya sedang buruk, terasa kesal dengan lemahnya Theo dan mengatakan hal keji "Theo, pergi dari ruang latihan-ku, aku tak menginginkan anak sepertimu" Kata-kata menyakitkan itu menusuk hati Theo, anak sekecilnya tak bisa membalas perkataan ayahnya, ia hanya duduk bersilang lalu memberikan sujud penghormatan pada ayahnya, banjirnya air mata membasahi pipi manis Theo.
Meski begitu ia tetap bangga pada kakaknya yang lebih kuat darinya.
Theo pergi dari ruangan neraka itu, berlari menuju dapur dan memeluk kaki ibunya yang sedang memasak, Josie mencoba menghibur anaknya yang polos itu "Sudah.. Kalau kau menangis kau tak akan bisa sekuat kakak-mu" Ucap Josie sambil membelai lembut kepala anaknya.
"Ibu akan buatkan camilan, jadi setelah ini kita akan menonton kartun bersama" Sambung ibunya menggendong Theo dan meletakkannya di kursi meja makan.
"B-baik bu" Balas Theo terisak sambil mengelap air matanya dengan tangan.
Hari-hari pun berlalu, Bjorn selalu menghabiskan waktunya bersama ayahnya melatih bela diri, sedangkan Theo selalu menemani rutinitas ibu-nya melakukan pekerjaan rumah. Ketika Josie duduk di kursi taman pekarangan belakang rumah-nya, dengan manja Theo ikut duduk dipangkuan ibu-nya.
Sambil merangkul lembut anaknya, Josie membuka lembaran demi lembaran album foto saat dia masih aktif mengikuti turnamen Rapier. Theo terpesona dengan foto-foto cantik ibu-nya semasa gadis.
"Apakah ibu masih bisa melakukan ini" Sambil menunjuk sebuah foto yang menampilkan Josie sedang menghunus pedang Rapier-nya.
"Tentu, nak. Senjata ini hanya salah satunya, ibu bisa menggunakan banyak senjata lainnya" Jawab Josie.
"Kalau begitu aku ingin seperti ibu!" Ucap Theo menatap ibunya.
.....
Minggu-minggu berganti, Theo mempelajari banyak teknik berpedang pada ibu-nya, sesekali ibu-nya melakukan latih tanding dengan anak-nya menggunakan pedang sungguhan di pekarangan belakang rumah mereka. Tentu Josie menahan diri melawan anak berusia enam tahun, namun gerakan Theo sudah begitu lihai, hampir seluruh serangan ibunya ia tangkis dengan pedang ringan-nya.
"Mungkin kelak kamu bisa lebih hebat dari ibu" Ucap Josie mengelap keringat di dahi nya.
Bjorn menyantap sepotong roti sambil mengamati adik-nya dari jendela ruang latihannya, dia tak begitu memperhatikan penjelasan ayahnya yang sedang menerangkan beberapa kalimat "setelah makan roti, makan juga daging yang mengandung protein, itu penting untuk menumbuhkan masa otot, karena roti hanya terbuat dari gandu..." Bjorn tak mengalihkan mata-nya dari adiknya di luar jendela.
Terkadang Bjorn merasa iri pada adiknya yang bisa menghabiskan banyak waktu bersama ibu-nya, karena setiap hari Bjorn hanya menghabiskan waktu berlatih dengan ayah-nya dan tak memiliki banyak waktu untuk bersama ibu-nya.
.....
Hugo Preston mendapat tawaran untuk ikut serta dalam turnamen beladiri campuran, seorang promotor berpakaian jas lengkap dan berdasi, menjemput Hugo dengan mobil jip hitam di halaman rumah-nya.
Hugo memasukkan koper kedalam bagasi mobil itu dan melompat naik kedalam mobil, sambil melambai sebelah tangan pada kedua anaknya dan Josie yang menunggu kepergiannya dari depan pintu.
Setelah mobil nya berangkat pergi, Josie menurunkan lututnya, merangkul kedua kakak beradik itu, Josie selalu memanggil Bjorn dengan nama belakang-nya "Mola, kau tak perlu latihan dulu untuk sementara waktu, nikmati lah hari-hari menyenangkan bersama adikmu" Ucap Josie.
Bjorn, bersama Theo, menemani dan membantu rutinitas ibunya belakangan ini, seperti mencuci pakaian, membersihkan pekarangan rumah, sampai membuat kue bersama.
Bjorn perlahan melupakan latihan kerasnya, menghabiskan hari-hari tanpa ayahnya dengan bermain bersama adik nya. Mereka berdua bermain bola, Bjorn menendang bola nya terlalu kuat sampai terkena wajah Theo.
Bocah berumur delapan tahun itu panik dan khawatir pada adiknya, lalu berlari menghampiri Theo dengan wajah cemas. Meski begitu, adiknya tidak menangis dan membalasnya dengan tawa "Tadi itu tendangan yang kuat kak"
Sesekali Josie memarahi mereka ketika mereka bermandian hujan dan berujung demam, sambil meletakkan kain basah di dahi anak-anaknya yang sedang berbaring demam terbungkus selimut. Josie mengomeli mereka berdua karena tak mau menurut.
Walaupun begitu, Josie tetap tak tega pada anaknya, dan ikut tidur di kasur yang sama, menarik sedikit selimut kedalam sambil merangkul anak-anaknya dengan lembut.
Melewati hari-hari yang menyenangkan, akhirnya tiba disaat pertunjukan turnamen ayahnya yang akan dimulai, duel tersebut di siarkan secara langsung di TV, Josie dengan baju kaus dan celana jeans pendeknya duduk diatas tikar berbulu dan bersandar pada kaki sofa, Theo berbaring dan meletakan kepalanya di tungkai Josie yang terbuka, sedangkan Bjorn bersandar pada tubuh ibu nya, sebelah tangan Josie melingkari perut Bjorn sambil memegangi setoples camilan. Mereka bertiga menyaksikan pertandingan ayahnya dengan serius sambil memakan camilan ringan.
Pertandingan itu cukup sengit, karena ayahnya melawan pendatang baru yang tak dikenali banyak orang, tetapi memiliki intuisi bertarung sangat tajam.
Pertarungan sengit itu membawa mereka sampai ronde ke-lima, tenaga ayahnya sudah sangat terkuras, melawan orang ini membutuhkan tenaga ekstra. Lawannya pun melompat menangkap tubuh Hugo sampai terjatuh ke lantai, pria itu melancarkan gulat dan mencoba mengunci pergerakan Hugo dengan mencekik lehernya dari belakang menggunakan sebelah lengan seperti lilitan ular.
Dengan susah payah Hugo mencari celah. Ia memukul asal-asalan kebelakang sampai lawannya babak belur dan melepaskan gulatnya.
Keadaan pun berbalik, Hugo memutar tubuh-nya dan menyudutkan orang itu, memukul lawannya yang sudah terpojok tanpa ampun. Sikut kerasnya di hantam-kan ke wajah pria itu, tetapi lawannya yang mencoba menghindari pukulan tersebut malah mengenai mata-nya.
Wasit pun langsung melambai tangan melerai pertandingan itu, karena serangan barusan dianggap pukulan ilegal, lawannya merintih kesakitan sambil memegangi matanya yang mengeluarkan darah, Hugo di diskualifikasi dari pertandingan dan dinyatakan kalah oleh juri.
Dari layar kaca TV, Josie mengamati wajah suami nya, wajah itu dipenuhi amarah dan perasaan tak terima dengan keputusan wasit.
.....
Beberapa hari kemudian, Hugo pulang ke rumah-nya dengan suasana hati yang buruk, memanggil Bjorn dengan lantang kedalam ruang latihan-nya. Hari-hari yang dipenuhi latihan keras pun kembali menyibukkan Bjorn.
Belakangan ini latihan yang diberikan semakin sulit, Bjorn kewalahan dengan keegoisan ayah-nya, seluruh tubuh Bjorn dibanjiri keringat, dengan polosnya Theo membuka pintu ruang latihan itu.
Sambil memegangi bola yang biasa ia pakai bermain bersama kakaknya, Theo memanggil "Kak, setelah latihanmu selesai, ayo kita main bola bersama lagi" Ajaknya dengan senyum girang.
Hugo menghampiri Theo yang berdiri di pintu sambil merangkul bola-nya, wajah Hugo tertekuk kesal, dan suara tamparan keras muncul sampai Theo tersungkur jatuh.
Josie yang mendengar itu langsung panik menghampiri sumber suara tersebut, melihat anak-nya sudah tersungkur di lantai sambil memegangi pipinya yang merah dengan tangis yang nyaring.
"Ada apa denganmu?! Kau menampar keras wajah anak-mu yang berusia enam tahun?!" Seru Josie mengangkat tubuh Theo lalu menggendongnya sambil menepuk-nepuk punggung anak itu mencoba menenangkan.
"Dia bukan anak-ku, aku tidak ingat pernah punya anak yang sangat lemah dan tak berguna sama sekali" Ucap Hugo.
Josie mengatakan kata-kata umpatan pada suami-nya, menggendong Theo yang masih menangisi rasa sakit di pipi-nya "Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi dengan dirimu! Aku akan pergi dari rumah ini"
Pertengkaran itu disaksikan Bjorn, hal itu membuat mental-nya hancur. Josie dengan lantang memanggilnya saat berdebat dengan ayah-nya "Mola! Keluar dari ruangan ini, ikut dengan ibu" Ajakan paksa ibu-nya.
Bjorn sangat ingin keluar dari ruangan ini, tapi kaki nya tak mampu melangkah sedikitpun, dia terlalu takut, terlalu takut untuk membangkang pada ayah-nya.
"MOLA! KAU DENGAR IBU?!" Josie berteriak.
Tak ada yang bisa ia lakukan, bahkan membalas perkataan ibu-nya pun ia tak mampu. Josie berjalan dengan sengal ke kamar-nya, mengemasi barang-barang kedalam koper besar sambil meneteskan air mata "Dasar pecundang" hati Josie begitu sakit, orang yang selama ini ia nikahi, hanya memikirkan dirinya sendiri.
Josie pergi membanting pintu, menggendong anak-nya yang menangis, dia berjalan dengan perasaan kesal dan sedih sambil menggeret koper besarnya meninggalkan rumah itu.
Dari luar jendela Bjorn memandangi Ibu dan adik-nya pergi, Theo dalam rangkulan ibu-nya menggapai-kan tangan pada kakak-nya dengan wajah bersedih, seolah tak ingin pergi tanpa kakak-nya. Bjorn membalas wajah adiknya dengan senyum tulus, meski mustahil ia bisa menahan derasnya air mata yang membasahi pipinya.
Perpisahan ini adalah tangis pertama Bjorn.