Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Misi Kedua
...----------------...
"Rara! Rendy! Jam segini masih belum siap juga? Nanti kalian terlambat sekolah!" Pagi-pagi suara Salma sudah menggelegar di seluruh penjuru rumah. Padahal penunjuk waktu masih berada di tengah angka 5 dan 6 di jarum pendeknya, tetapi ibu dua anak itu sudah meneriaki anak-anaknya untuk segera bersiap untuk berangkat ke sekolah.
"Masih jam setengah 6, Bu," protes Aji sambil mengusap telinganya. Dia yang sudah duduk di meja makan sambil menyeruput kopi hitam merasa paling pengang dengan suara lantang istrinya tersebut.
"Ya, kan, mereka harus sarapan dulu. Belum lagi sekolah mereka itu agak jauh. Mereka harus jalan kaki, terus naek angkot, terus ...."
"Terus aja terus! Kami udah siap, kok," potong Rara yang sudah siap dengan seragam sekolahnya, begitupun dengan Rendy. Sontak amarah sang ibu pun reda kembali.
"Eh, tungu-tunggu!"
"Apalagi? Katanya suruh sarapan?" Rara yang hendak duduk dicekal oleh Salma. Gadis itu pun mengernyit heran.
"Panggil Nak Ryan, gih! Ajak sarapan bareng! Sekalian bawa kucing kamu ke sana. Takutnya kamu lupa kayak kemaren," titah sang ibu.
Rara berdecak malas, lalu memaksa duduk di kursi makannya. "Rendi ajalah, males aku," sahutnya.
"Heh, kebiasaan kalau disuruh suka nyuruh lagi. Cepet tua nanti."
"Aduh, Ibu. Katanya Rara disuruh buru-buru berangkat sekolah biar nggak telat. Gimana, sih?"
Rara benar-benar malas untuk pergi. Bukannya apa-apa, kejadian di parkiran semalam sepertinya berdampak buruk terhadap Rara. Perasaannya jadi sering gelisah jika mengingat itu. Apalagi perlakuan manis Ryan ketika di restoran, membuat bayangan Ryan selalu menempel dalam ingatan. Rara berpikir jika otaknya sudah rusak sekarang.
"Yeh, justru ibu mau ngasih kamu solusi biar nggak telat sekaligus ngirit uang saku." Salma melebarkan senyumnya. Rara mendelik tajam. Sepertinya dia tahu rencana sang ibu yang terkenal perhitungan. Perempuan yang sudah melahirkannya itu pasti sedang mencari tumpangan.
"Ibu ... kita nggak boleh ngerepotin orang terus, oke? Mungkin penghuni kontrakan kita hari ini nggak akan ke mana-mana, tapi karena nggak enak sama sogokan ibu, dia jadi terpaksa nganterin kami ke sekolah," ucap Rara dengan nada sengaja direndahkan, tetapi penuh penekanan.
"Yeh, sok tahu. Ibu kan udah hapal jadwalnya Nak Ryan. Kalau hari Senin, Rabu, dan Kamis, dia ada jadwal kuliah pagi. Udah, sana pergi! Nggak usah banyak komentar!"
Rara mendessah frustrasi. Seniat itu ibunya ingin mendapatkan tumpangan gratis.
"Iya, iya." Sambil menghentakkan kaki, Rara pun segera pergi.
****
Tok! Tok! Tok!
Ryan yang baru keluar dari kamar mandi mendengar suara ketukan pintu dari luar rumahnya. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Sepertinya dia tahu siapa yang mengetuk pintu tersebut. Itu pasti Rara yang membawa kucingnya untuk dititipkan. Lelaki itu pun bergegas hendak membuka pintu, tetapi dia lupa belum memakai baju.
Benar saja, setelah pintu terbuka, Ryan melihat Rara sambil menggendong kucingnya. Gadis itu terlihat bengong dengan tatapan kosong. Kedua matanya mengerjap beberapa kali lalu segera berbalik badan ketika Ryan bergerak mendekatinya.
"Kamu kenapa?" tanya Ryan khawatir, tetapi tubuh Rara malah semakin menghindar.
"Kenapa nggak pake baju, sih?" protes Rara tak mau menengok ke arah Ryan.
Pandangan Ryan pun beralih pada tubuhnya yang hanya menggunakan handuk yang menutupi bagian bawah pinggangnya saja.
"Oh, iya, maaf. Aku baru selesai mandi pas kamu ngetuk pintu."
"Kamu disuruh sarapan bareng sama ibu," ucap Rara masih membelakangi Ryan. Ryan pun mengulas senyuman. Tingkah Rara yang gugup terlihat menggemaskan di matanya.
"Oke, sebentar lagi aku ke sana."
Tanpa basa-basi lagi, Rara langsung melepas kucingnya agar masuk ke rumah Ryan. Pandangannya selalu menatap ke bawah, tak berani menatap si empunya rumah.
"Sana masuk, Cingu! Aku mau ke sekolah dulu. Nanti siang aku jemput lagi."
Seolah mengerti kucing itu pun langsung berlari masuk ke rumah Ryan. Di dalam sana, Rara sudah menyedihkan keperluan cadangan untuk kucingnya selama tinggal. Jadi, dia tidak perlu bolak balik membawa keperluan kucing dari rumahnya lagi.
"Rara, nanti sore ada rencana pergi, nggak?" tanya Ryan yang membuat langkah Rara sontak terhenti. Gadis itu berpikir sejenak.
"Ada. Aku ada janji sama teman," jawabnya.
"Oh, oke. Lain kali masih mau diajak jalan-jalan, kan?" Walaupun sedikit kecewa, tetapi Ryan masih mencari kesempatan lainnya.
Bibir Rara sedikit berdenyut hendak menjawabnya. Namun, gadis itu merasa ragu dan terlampau takut untuk mengatakan 'iya'.
"Kita lihat aja entar." Jawaban itu pun yang terlontar dari mulut Rara sebelum dirinya meninggalkan Ryan.
****
Sejatinya cinta tak pernah mengatakan kapan dan di mana mereka akan datang. Terkadang, cinta juga sering memberikan petunjuk samar yang membuat pelakunya tidak sadar. Sehingga, beberapa orang bahkan merasa kehilangan ketika hatinya terlambat mengartikan.
Begitulah yang Ryan rasakan dahulu. Kini, ketika Tuhan memberikannya kesempatan kedua, Ryan tidak mau melakukan kesalahan lagi. Hatinya sudah mantap untuk merebut cinta Rara kembali. Namun, ada satu hal yang harus dia lakukan juga untuk melengkapi misi.
"Eh, Lis. Mau pulang bareng nggak?" Ryan mengajak Lilis pulang bersama. Lelaki itu hendak melakukan misinya yang kedua.
"Nggak mau, ah. Nanti suaminya Lilis marah."
"Masa? Bukannya kalian masih bertengkar, ya?" Ryan berkata sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Lilis semakin penasaran dengan lelaki itu yang seperti tahu segalanya tentang dia.
"Kamu teh nyelidikin Lilis, ya?" cetus Lilis penuh selidik.
...----------------...
...To be continued...