Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. 'Orang Dalam'
...----------------...
Malam begitu terang karena cahaya rembulan. Senyuman yang mengembang selalu terpancar dari bibir Ryan. Lelaki itu merasa senang setelah berhasil menyatukan dua insan yang selama ini tidak pernah mau jujur mengungkapkan perasaan.
Kini, sudah saatnya Ryan melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Sudah beberapa bulan lamanya dia kembali ke masa lalu, tetapi hubungannya dengan Rara masih saja begitu. Tak ada kasih sayang apalagi kemesraan. Yang ada selalu salah paham.
Ryan memarkirkan mobilnya di halaman rumah, berbarengan dengan keluarnya Rara dari pintu rumahnya. Gadis itu keluar menggunakan piyama. Lampu mobil Ryan menyoroti tubuh Rara dengan sempurna. Sekali lagi, Ryan begitu terpesona dengan kecantikan gadis itu. Cinta memang selalu membuat seseorang yang biasa pun terlihat seperti ratu.
"Silau, woy!"
Teriakan Rara mengembalikan pikiran Ryan yang sempat melayang ke negeri tetangga. Lelaki itu pun langsung mematikan mesin mobilnya. Lampu mobil pun ikut padam juga. Gegas, Ryan turun dari dalam sana lalu mendekati Rara.
"Kamu mau ke mana?" tanya Ryan.
"Mau ke warung, beli sabun."
"Boleh aku ikut?"
"Mau ngapain?"
Rara berjengit sambil memicing tajam. Dia tahu jika lelaki itu pasti hanya modus saja.
"Ehm ... aku juga mau beli sesuatu di warung, sekalian nganterin kamu," ucap Ryan sambil menunjukkan deretan giginya yang putih.
Rara berdecih tidak percaya. "Sini aja uangnya! Biar aku yang beliin." Rara menadahkan sebelah tangannya untuk meminta uang. Namun, Ryan tidak mau merepotkan.
"Eh, aku nggak mau ngerepotin kamu. Biar aku aja yang beli."
Rara terdiam sejenak lalu menarik salah ujung bibirnya ke atas. Senyuman miring mengiringi trik liciknya kali ini.
"Kalau gitu aku aja yang nitip beliin sabun, ya! Aku tunggu di sini. Males juga jalan ke warung depan," ucap Rara sambil menyodorkan selembar uang 10 ribuan.
Tentu saja Ryan tidak senang. Ia pun menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan.
"Ya udah sini!" Ryan masih mencoba sabar, walaupun lelaki itu kesal ketika menarik uang dengan sedikit kasar. Ryan pun melangkah pergi, tetapi urung karena Rara berkata lagi.
"Aku cuma bercanda. Ayo, pergi bareng!"
Kedua sudut Ryan tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman, kemudian langsung berbalik badan. Dia senang karena sikap Rara mulai lembut kepadanya. Ryan merasa Rara-nya yang dahulu sudah kembali. Rara yang lembut dan baik hati.
"Aku tahu," ucap Ryan tersenyum begitu tampan.
Kedua mata Rara seperti tertusuk ribuan cahaya ketika wajah Ryan yang tersenyum begitu menawannya. Ketampanannya kian terpancar diterangi sinar rembulan. Astaga, tanda apakah gerangan?
"Ehem ...."
Rara seperti tersedak ludahnya sendiri. Tenggorokannya terasa kering ketika pikirannya terjaga kembali. Perempuan itu pun pura-pura tersedak lalu berdehem sekali.
"Kenapa? Mau minum dulu?" tanya Ryan sedikit khawatir.
"Nggak apa-apa. Cuma keselek nyamuk aja," kilah Rara dan Ryan pun tertawa.
"Bisa gitu, ya, nyamuk masuk ke tenggorokan kamu tiba-tiba. Coba liat!"
"Apa, sih! Jadi ke warung nggak?"
Rara langsung menghindar ketika Ryan hendak memeriksa mulutnya. Tentu saja Ryan hanya bercanda. Lelaki itu sangat suka menggoda Rara. Terlebih, ketika ia melihat semburat merah yang merebak di pipi sang gadis. Sinar rembulan membuat biasnya terlihat lebih kontras.
Setelah tersenyum puas, Ryan melebarkan langkah untuk mengejar Rara yang sengaja mendahuluinya. Kini, tubuh mereka sejajar, berjalan berdampingan di sebuah gang padat permukiman.
"Malam ini bulannya cantik, ya? Sama kayak kamu. Cantik banget malam ini." Ryan memulai perbincangan mereka dengan gombalan.
Rara sedikit tersanjung, tetapi gadis itu terlalu malu untuk mengakuinya. "Enak aja disamain sama bulan ...." Rara berhenti, lalu berdiri di hadapan Ryan, "apa kamu nggak tahu bentuk bulan yang sebenarnya kayak gimana? Bulan itu terbentuk dari beberapa unsur senyawa; oksigen, silikon, magnesium, besi, kalsium, aluminium, kromium, titanium, dan mangan. Senyawa yang terbanyak adalah logam. Bentuk permukaannya juga nggak rata karena sebagai besar adalah dataran tinggi yang dipenuhi kawah.
"Jadi, bisa-bisanya kamu nyamain muka aku kayak gitu. Memangnya mukaku terlihat seperti itu di mata kamu?"
"Wah, bener-bener anak IPA. Kamu tahu banget tentang bulan. Aku malah baru tahu. Pinter banget, sih, kamu." Ryan melongo takjub mendengar penjelasan Rara tentang benda bulat yang sedang mereka perbincangkan. Padahal, bukan reaksi tersebut yang diinginkan Rara.
"Aku juga cuma tahu itu aja. Nggak usah natap aku kayak gitu!"
Seperti kehilangan muka, Rara kembali dibuat salah tingkah karena ditatap sedemikian rupa. Ryan menatapnya begitu dalam dengan tatapan penuh damba.
"Ah, udahlah. Kamu mau lanjut ke warung nggak?" Rara yang tadinya ingin memojokkan Ryan malah terpojok sendiri hanya dengan tatapan mata lelaki itu. Hal itu sungguh membuatnya malu.
Setibanya di warung Rara langsung membeli sabun, sedangkan Ryan hanya membeli beberapa cemilan karena kendatinya itu hanya sebuah alasan agar bisa jalan berdua bersama Rara.
"Kamu sering ngemil malam-malam? Nggak takut badannya melar? Kamu kan artis," tanya Rara pada Ryan sambil berjalan menuju pulang ke rumahnya lagi.
"Cuma sekadar figuran sih nggak apa-apa melar juga. Lagian kayaknya aku mau nyerah aja. Main film bukan bidang aku."
"Loh, kenapa?" Rara berhenti melangkah dan Ryan yang berjalan di sebelahnya pun sontak berhenti juga. "Bukannya itu mimpi kamu? Kamu mau jadi artis terkenal, kan?" imbuh Rara lagi. Ryan menggeleng sebagai tanggapan.
"Dulu iya, tapi sekarang nggak. Dunia itu terlalu berbahaya untuk masa depan aku. Awalnya aku melakukannya karena coba-coba, lalu tertantang ingin menguasainya. Tapi ternyata aku memang nggak berbakat di sana. Jadi, ya, gini. Udah lama main film masih tetep jadi figuran biasa."
Rara menatap Ryan dengan tatapan iba. Sungguh sayang, jika wajah setampan itu harus disia-siakan kalau hanya dijadikan figuran.
"Gimana kalau lewat orang dalem? Kalau kamu mau, kamu bisa ngelobi sutradara."
"Maksudnya?" Kening Ryan mengernyit dalam. Emosinya langsung sensitif ketika mendengar kata 'sutradara'.
"Temanku punya sepupu temannya sutradara terkenal, namanya Danang. Dia bisa ...."
"Kenapa kamu selalu ingin berurusan dengan sutradara itu, sih? Segitunya kamu mau jadi artis?" Ryan memotong perkataan Rara sambil mencengkeram lengan atas perempuan itu. Tentu saja membuat Rara sontak membeku.
Rara mengerjap kaku. Dia terkejut dengan perubahan sikap lelaki itu. Sikap Ryan berubah drastis dari yang manis menjadi bengis. Hampir saja membuat Rara ingin menangis.
"Aku ... sakit," Rara berdesis lirih sambil menatap tangan Ryan yang masih mencengkram lengannya. Arah pandangan Ryan pun beralih juga.
"Maaf," sesal Ryan sontak melepaskan tangan gadis itu.
"Memangnya sutradara itu kenapa?" tanya Rara setelah tangannya terlepas. Namun, Ryan tak lantas menjawab karena sibuk mengatur napas.
...----------------...
...To be continued...
ikut dong 😅😅
euleuhhh pdhl mah buat koleksi we
pen dijewer euhhhh 🤣🤣🤏🏻🤏🏻
mau jalan jalan kemana 😁😅