Rivandra,, menjadi seorang penerus perusahaan besar membuatnya harus menjadi dingin pada setiap orang. tiba-tiba seorang Arsyilla mampu mengetuk hatinya. apakah Rivandra akan mampu mempertahankan sikap dinginnya atau Arsyilla bisa merubahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Widyastutik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
Seharian Rivandra di sibukkan dengan sepuluh orang anak-anak berusia tujuh sampai lima belas tahun. Mereka mengajak Rivandra bermain dengan permainan tradisional. Tentu saja anak-anak senang karena mereka selalu menjadi pemenang di permainan apapun yang mereka ajarkan pada Rivandra.
"Pasti Mas Rivan juga tidak tahu bagaimana caranya mengeluarkan suara siulan dari daun ini." celetuk Arsyilla saat mereka semua sedang merebahkan tubuh mereka di rerumputan di dalam panti asuhan yang makin asri.
"Suara siulan? Bagaimana bisa? Kalau siulan aku juga bisa." seru Rivandra tidak terima dan mulai bersiul untuk menunjukkan kemampuannya.
Rivandra heran karena anak-anak, Arsyilla bahkan Bu Kinasih malah tertawa.
"Ibu, kami boleh memetik daunnya?" tanya Arsyilla pada Bu Kinasih.
"Hanya hari ini saja ya." jawab Bu Kinasih tidak hanya pada Arsyilla tapi juga pada anak-anak panti.
Bu Kinasih tidak mau tanaman-tanamannya mati. Karena selama ini Bu Kinasih selalu mendisiplinkan anak-anak untuk ikut menjaga kebersihan dan kelestarian alam di lingkungan panti asuhan.
Anak-anak berlomba memetik satu daun lalu mulai menunjukkan kemampuan mereka mengeluarkan bunyi serupa siulan dari daun itu. Rivandra menatap takjub bahkan dengan sigap langsung mengabadikan momen itu di dalam video ponselnya. Anak-anak semakin bersemangat saat tahu Rivandra mengambil video mereka.
Arsyilla menyudahi aksinya saat tahu kamera ponsel Rivandra berhenti ke arahnya. Dia hanya tersenyum sembari mendekat ke arah Bu Kinasih.
Rivandra tertawa saat Arsyilla memukul lengannya ketika Rivandra sengaja mengarahkan kamera ponselnya ke arah Arsyilla yang lewat di sampingnya.
"Bagaimana kabarmu, Nduk?" tanya Bu Kinasih saat Arsyilla menyandarkan kepalanya di pundak Bu Kinasih dengan manja.
"Harusnya Syilla yang bertanya seperti itu pada Ibu." Arsyilla bangun dan menggenggam tangan Bu Kinasih.
"Jaga kesehatan Ibu. Aku masih membutuhkan doa dari Ibu. Aku mohon, Bu." pinta Arsyilla sedih.
"Kalau ibu gak bilang sedang sakit. Kamu pasti gak mau pulang menjenguk ibu disini, Nduk. Jakarta sudah membuatmu lupa pada Yogya, pada panti asuhan ini, pada adik-adikmu, apalagi pada ibu."
Arsyilla mendekap Bu Kinasih sambil tertawa.
"Bagaimana aku bisa lupa dengan kota dimana aku di lahirkan, Bu? Apalagi tempat di mana aku di buang. Tempat yang sudah menjadi rumah untukku. Karena selalu ada ibu yang menjadi pelindungku."
Keduanya terdiam sambil melihat Rivandra dan anak-anak menangkap ikan disungai.
"Apa,,, dia masih sering ke sini, Bu?" tanya Arsyilla tanpa menoleh pada Bu Kinasih.
"Maksud kamu, Bagong? Tentu saja. Dia selalu bertanya pada anak-anak dimana tempat tinggal kamu di Jakarta."
Arsyilla menoleh kaget, "tapi, adik-adik gak memberitahukan dimana tempat tinggalku kan Bu?!" tanya Arsyilla memastikan.
"Kamu lupa? Kapan kamu pernah memberikan alamat kos mu di Jakarta? Kamu hanya memberi tahu ibu nomor teleponmu tidak alamat kamu." jawab Bu Kinasih kesal.
"Aku hanya takut dia akan bisa menemukanku di Jakarta, Bu."
"Kamu tidak sedang berfikir untuk melarikan diri lagi kan."
"Bukan melarikan diri, Bu." elak Arsyilla.
"Ibu senang, akhirnya kamu bisa membuka hatimu untuk orang lain. Mas Rivan itu, sepertinya laki-laki yang baik, Syilla."
Arsyilla tersenyum mendengar pujian Bu Kinasih pada Rivandra. 'Ibu tidak tahu saja kalau dia menjadi laki-laki yang berbeda kalau di kantor.' batin Arsyilla lucu.
"Kamu menyukainya?" tanya Bu Kinasih sambil mencubit pipi Arsyilla.
"Apa aku pantas bersama dengan laki-laki seperti Mas Rivan, Bu?" tanya Arsyilla sambil menatap Bu Kinasih.
"Tanyakan pada hatimu, Syilla. Gimana kamu bisa bilang pantas dengan orang seperti Mas Rivan kalau kamu saja belum bisa membuka hatimu untuknya."
"Rasa-rasanya, aku ini gak pantas untuk Mas Rivan, Bu. Udah ganteng, orangnya baik, bisa melindungi, baik sama adik-adik panti terlebih baik sama ibu." jawab Arsyilla panjang lebar.
"Kamu menyukainya, Nduk. Ibu bisa melihat dari cara kamu memandangnya." ujar Bu Kinasih senang.
"Ibu salah. Mas Rivan itu orangnya suka resek kalau di kantor, Bu. Suka gangguin aku, aku gak pantas untuk Mas Rivan, Bu. Lagian mana mungkin Mas Rivan menyukai wanita dekil sepertiku."
"Yang ibu tanya hatimu, Nduk. Bukan pantas atau gaknya kalian bersama. Bukan juga tentang perasaan Mas Rivan. Ibu gak perduli dengan perasaan Mas Rivan. Yang terpenting, kamu menyukainya. Itu saja yang ibu pengen tahu. Siapa bilang anakku ini dekil? Suruh dia menemui ibu, akan ibu pinjami kaca mata biar bisa melihat anakku sudah menjadi wanita yang cantik."
Arsyilla tertawa mendengar penjelasan Bu Kinasih. Sungguh bisa menghangatkan hatinya.
"Kalau memang nanti, calon suamiku itu Mas Rivan. Apa nanti dia bisa mengerti tentang kejadian yang sering dibilang Lek Bagong?"
"Kejadian apa, Nduk? Tidak ada yang terjadi di malam itu. Bagong itu pemabuk." tegas Bu Kinasih.
"Ibu bilang begini bukan hanya untuk menghiburku kan?"
"Sumpah demi Allah, Nduk. Ibu sendiri yang memukul kepala Bagong di malam itu sebelum dia sempat menyentuhmu. Kamu pingsan, karena itu kamu gak tahu kejadiannya. Semua warga di kampung ini juga tahu tentang kebenarannya. Tanya saja warga disini, siapa yang mau membenarkan cerita Bagong tentang kejadian malam itu. Bagong itu sudah gak waras, kerjaaannya hanya mabuk saja."
Arsyilla memeluk Bu Kinasih dengan senang dan hati yang tenang.
"Aku sangat senang mendengarnya, Bu. Ibu tahu sendiri kalau aku takut pada Lek Bagong karena dia selalu menakutiku tentang kejadian malam itu. Seolah-olah aku sudah menjadi korbannya."
"Jalani hidupmu lebih tenang, Nduk. Jaga kesehatanmu." kata Bu Kinasih mengingatkan.
"Ibu juga jangan membuatku khawatir. Ibu harus sehat, ada aku dan anak-anak panti yang selalu sangat membutuhkan ibu."
"Aammiinnn." ujar Bu Kinasih terharu. "Kapan kamu akan kembali? Langsung ke Jakarta?" tanya Bu Kinasih.
"Besok pagi setelah sarapan. Langsung naik kereta dari stasiun tugu, Bu. Memangnya kenapa?"
"Apa gak mau jalan-jalan dulu sama Mas Rivan?"
"Kami sudah memutari Yogya sebelum kami ke sini. Sempat mampir ke kampusku dulu."
"Ke kampus? Untuk apa?"
"Aku ingin belajar lagi, Bu. Ingin ambil S2."
"Masyaallahu, Nduk. Memang kamu itu pintar seperti almarhum kedua orang tuamu." puji Bu Kinasih.
"Alhamdulillah, Bu."
"Dimanapun nanti kamu ambil S2. Kalau nanti sudah lulus, tolong jangan lupakan panti asuhan dan adik-adikmu disini. Ajari mereka menjadi seberprestasi kamu. Pulang ke rumahmu, Nduk. Amalkan ilmumu. Seperti yang di lakukan orang tuamu dulu. Mengamalkan ilmunya untuk kemajuan kampung kita."
Arsyilla terdiam sejenak, "Bagaimana ibu bisa tahu kalau aku tidak mengambil S2 di Yogya?"
"Kamu itu masih ada trauma dengan Pak lekmu, Nduk. Kamu gak mungkin pulang ke rumahmu sebelum menjadi orang yang sukses."
Arsyilla kembali menyandarkan kepalanya di bahu Bu Kinasih sambil menggandeng lengannya dengan manja.
"Turki, Bu. Aku akan ke melanjutkan S2 ke Turki." jawab Arsyilla.
"Apa Mas Rivan tahu tentang ini?"
"Aku harap ibu bisa merahasiakannya. Aku gak mau siapapun tahu tentang ini."
"Apa ini ada hubungannya dengan keluarga Ryan? Setahu ibu mereka juga ada di Turki."
Arsyilla kembali menegakkan tubuhnya.
"Tante Zahrah, memintaku untuk membantu usahanya di Turki. Ibu tahu sendiri gimana baiknya Tante Zahrah padaku sejak Ryan masih hidup dulu. Rasanya aku gak sampai hati menolak permintaan Tante Zahrah, Bu."
"Tentu saja. Bahkan selama ini orang tua Ryan ikut andil membiayai sekolahmu hingga sampai ke perguruan tinggi. Balas budi di bawa mati, Nduk."
"Iya, Bu. Aku akan sangat mengingatnya. Bahkan, aku belum pernah bisa membalas kebaikan ibu selama ini. Belum Tante Zahrah dan Om Emil. Belum juga teman-temanku."
"Sampaikan salamku untuk mereka nanti."
"Pasti, Bu. Aku akan selalu mengabari ibu."