Sifa Kamila, memilih bercerai dari sang suami karena tidak mau diduakan. Ia pun pergi dari rumah yang dia huni bersama Aksa mantan suami selama dua tahun.
Sifa memilih merantau ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan kosmetik sebagai Office Girls. Mujur bagi janda cantik dan lugu itu, karena bos pemilik perusahaan mencintainya. Cinta semanis madu yang disuguhkan Felix, membuat Sifa terlena hingga salah jalan dan menyerahkan kehormatan yang seharusnya Sifa jaga. Hasil dari kesalahannya itu Sifa pun akhirnya mengandung.
"Cepat nikahi aku Mas" Sifa menangis sesegukan, karena Felix sengaja mengulur-ulur waktu.
"Aku menikahi kamu? Hahaha..." alih-alih menikahi Sifa, Felik justru berniat membunuh Sifa mendorong dari atas jembatan hingga jatuh ke dalam kali.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Tepat dini hari Sifa turun dari angkutan, di pinggir jalan dia membetulkan posisi rangsel kemudian berjalan kaki menuju rumah kedua orang tuanya yang tidak jauh dari tempat itu. Namun, tiba-tiba saja sepeda motor berhenti di sebelahnya. Sifa menoleh cepat menatap pria yang tengah menatapnya lekat.
Sifa mempercepat jalannya, takut tentu dia rasakan. Walaupun di daerahnya ini selalu aman tetapi itu dulu. Entah bagaimana keadaan tempat ini yang sudah tiga tahun dia tinggalkan.
"Maaf, Sifa bukan ya?" Tanya pria yang menjalankan motornya perlahan-lahan. Mendengar pertanyaan lembut pria itu, Sifa akhirnya berhenti.
"Perto ya?" Sifa menepuk jidat setelah memperhatikan wajah pria itu seksama, Perto adalah teman SMK Sifa.
"Kamu sombong" Perto pura-pura kesal.
"Bukan begitu Perto" Sifa hampir tidak mengenali temanya yang dulu kulitnya kuning langsat sekarang menjadi coklat kehitaman.
"Aku sekarang ngojek panas-panasan Sifa, jadi kulit aku hitam" Perto sepertinya tahu apa yang dipikirkan Sifa.
"Eh nggak kok, kamu apa kabar?" Sifa mengalihkan.
"Alhamdulillah... Baik, tapi belum laku" jujur Perto tertawa.
"Baru juga 25 tahun Perto, pria sekarang nikah minimal usia 30 tahun. Contohnya pernikahan aku dengan Aksa, karena kami belum dewasa akhirnya hancur kan..."
Sifa ingat dirinya ketika lulus tidak lama kemudian menikan. Mungkin karena usia Aksa mantan suaminya saat itu baru 23 tahun, Aksa inginya masih bersenang-senang di luar.
"Sudahlah Sifa, yang dulu jangan diingat lagi. Oh iya, aku sebenarnya ngikuti kamu dari terminal tadi loh" Perto mengganti topik pembicaraan. Ia mengatakan bahwa melihat Sifa ketika baru turun dari bus lalu mengikuti.
"Kenapa kamu nggak nyapa aku dari tadi Perto..."
"Soalnya aku masih nggak yakin yang aku lihat itu kamu Sifa" Perto kaget ketika melihat perubahan Sifa. "Wajahmu yang putih dan rambut pirang kamu itu, aku kira bule nyasar" Perto tertawa disambut Sifa. Mereka pun berpisah karena rumah Sifa sudah nampak di pinggir jalan.
Di depan rumah itu, Sifa memandangi sekeliling, tidak ada yang berubah masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu.
Tok tok tok
Sifa mengetuk pintu bersamaan dengan ucapan salam, tidak lama kemudian pintu di buka. Muncul pria paruh baya yang lengkap dengan peci, baju koko, dan sarung itu hanya memandangi Sifa, sepertinya tidak begitu mengenali putrinya sendiri.
Sifa tersenyum menatap abah masih rajin ibadah seperti dulu dilihat dari pakaiannya, seperti malam-malam ketika Sifa masih di rumah, abah selalu menjalankan shalat. Keduanya masih terpaku di luar dan di dalam pintu tidak ada yang bicara.
"Siapa Abah?" muncul dari dalam wanita yang mengenakan mukena itu melebarkan pintu.
"Sifa..." Ucapnya lirih. Berbeda dengan abah, emak sebagai seorang ibu tetap mengenali putrinya. Wajah boleh berubah, tetapi naluri seorang ibu tidak akan bisa melupakan anak.
"Emaaakk..." Sifa berlari masuk menghambur ke pelukan sang ibu. Dua wanita itu menangis sesegukan, melepas rindu tentunya. Melihat kehangatan itu abah pun melingkarkan tangan ke tubuh dua wanita.
"Kenapa kamu tidak memberi kabar kami Nak?" Abah membuka percakapan.
"Handphone aku hilang Abah" Sifa menjawab setelah ketiganya tak lagi berpelukan.
Sebenarnya abah tidak puas dengan jawaban Sifa, tetapi Abah akan menanyakan besok saja.
"Terus.... kenapa rambut dan wajah kamu seperti ini?" Emak memegang pipi putrinya curiga.
"Eemm... Anu Mak" Sifa menunduk bingung untuk menjelaskan.
"Biar Sifa istirahat dulu Mak" Abah sebenarnya sependapat dengan emak, tetapi tentu saja tidak mau mencecar banyak pertanyaan dalam keadaan Sifa masih lelah.
"Ya sudah... kamu sebaiknya istirahat" emak mengalah.
"Aku istirahat dulu Abah, Emak" Sifa pun melangkah menuju kamar.
Sementara emak memandangi putrinya dari belakangan air matanya menetes. Ada kekecewaan di hati wanita itu. Putrinya kini telah berubah, bukan hanya melupakan dia dan abah sebagai orang tua karena tidak pernah memberi kabar apa lagi pulang. Namun, ada yang membuatnya lebih sedih. Begitu kembali putrinya telah berubah. "Kenapa Jakarta bisa merubah putri kita Bah" tangis emak pun akhirnya terdengar. Jangankan mengenakan hijab seperti jejaknya, tetapi justru merubah segala yang sudah Allah ciptakan.
"Sudahlah Mak, besok kita bicarakan lagi" Abah mengajak emak ke kamar. Saat ini masih jam 2 pagi tentu melanjutkan tidur. Jika abah tidur dengan nyenyak, tentu tidak dengan emak. Dia masih memikirkan perubahan putrinya. Emak bangun dari tidurnya lalu meninggalkan suaminya menyusul Sifa ke kamar.
Emak membuka pintu kamar putrinya perlahan-lahan lalu masuk memandangi wajah Sifa yang sudah tidur memeluk guling.
Dengan hati-hati agar tidak mengganggu tidur Sifa, emak mengecek telinga putrinya apakah kecurigaannya benar. Emak terkejut karena menemukan transisi kulit yang begitu jelas dan terjadi penebalan bekas luka. "Anakku operasi plastik?" Emak menggigit bibirnya agar tangisnya tidak terdengar. Seketika ia balik badan dengan perasaan hati sedih dan kecewa kembali ke kamar.
Pagi harinya, Sifa merasa aneh karena emak sejak bangun tidur mendiamkan dirinya. "Emak masak apa? Aku bantu ya..." Sifa yang baru selesai shalat subuh ke dapur.
"Tidak usah, nanti wajah kamu cemong" ketus emak. Sifa kaget dan bengong, karena selama ini emak selalu bicara lembut kepadanya.
Sifa tidak menyahut memilih ambil sapu lalu membersihkan rumah. Selesai nyapu dan ngepel, Sifa kembali ke dapur tetapi emak sudah tidak ada di sana. Mendengar kamar mandi dapur gemericik, itu artinya emak sedang mandi. Sifa menatap cucian piring setumpuk bekas memasak, ia segera mencucinya.
"Kamu di Jakarta kerja apa Nak?" Tanya abah yang baru kembali dari masjid lalu ambil air putih.
"Aku membuka usaha kecil-kecilan Bah, maaf, Sifa tidak pernah kirim kabar, karena hp aku yang dulu hilang" tutur Sifa melanjutkan pembicaraan tadi malam. Mungkin ini yang membuat emaknya marah.
"Tidak apa-apa... yang penting kamu sehat Nak" Abah pun duduk di kursi meja makan. "Emak kamu itu loh selalu sedih siang dan malam memikirkan kamu" lanjut abah.
"Aku mengerti Abah" Sifa merasa bersalah, wajar jika emak marah karena Sifa seperti kacang lupa kulit. Sifa pun membuat tiga cangkir teh tanpa menunggu jawaban abah.
"Ayo Bah" Sifa membawa teh diikuti abah, lalu meletakkan di meja ruang keluarga. Sifa kemudian ke kamar tidak lama kemudian kembali mengangkat rangsel.
"Ini Abah, aku di Jakarta membuat parfum seperti ini" Sifa membongkar oleh-oleh minyak wangi yang dia bawa. "Ini untuk Abah" Sifa memberikan satu botol kecil minyak yang cocok untuk pria seusia abah.
"Wah... wanginya enak. Bisa Abah pakai ke masjid ini" Abah menyemprot baju dengan parfum sedikit.
Mendengar langkah kaki dari arah kamar mandi Sifa menoleh. Rupanya emak sudah selesai mandi bahkan sudah berpakaian rapi. Sifa tersenyum emaknya yang dia tinggalkan selama ini wajahnya tetap awet muda dan cantik.
"Emak... Aku ada minyak wangi untuk Emak" Sifa memberikan minyak tersebut. Tetapi alih-alih menerima, emak justru melengos meninggalkan Sifa.
"Emaak..." Air mata Sifa bercucuran, niat hati ingin bermanja dengan emak seperti dulu, tetapi Sifa merasa kehadirannya tidak lagi diharapkan.
...~Bersambung~...