NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17

Saat matahari mulai turun di langit Kota Malang, kelompok detektif remaja itu berkumpul lagi, kali ini di rumah Nadya. Rumah Nadya yang luas dengan suasana hangat membuat tempat itu menjadi markas sempurna untuk pertemuan rahasia mereka. Semua berkumpul di ruang tamu besar yang dipenuhi tumpukan bantal dan kursi empuk, kecuali Rian yang duduk di lantai sambil memainkan salah satu bantal dengan gelisah.

Nadya, yang baru saja datang dari dapur dengan membawa baki berisi minuman dingin, menatap Rian dengan heran. “Rian, duduk di sofa kek. Gak nyaman kali duduk di lantai.”

Rian cengengesan sambil menyandarkan punggungnya ke meja. “Ah, nggak apa-apa, Nad. Justru gini lebih dekat ke tanah. Kalau ada petir, yang kena duluan orang-orang di sofa.”

Arga, yang duduk dengan sikap serius di salah satu sofa, memutar bola matanya. “Sakarepmu (terserahmu), Yan. Jadi, gimana? Apa yang kamu temuin tadi?”

Senyum di wajah Rian perlahan hilang saat dia mendengar pertanyaan itu. Dia menarik napas dalam-dalam dan akhirnya mulai bercerita. "Gini, pertama aku ketemu Pak Bowo, beliau bilang kalau listrik di Balai Seni udah konslet dari lama, dan semua anak seni tahu soal itu. Terus aku ketemu Bu Asri. Dia bilang kalau Mbak Ria itu bikin lukisan besar buat perlombaan ‘Singasari Art Competition’. Lukisan itu kebakar juga di insiden kemarin. Jadi, ada kemungkinan besar kebakaran ini nggak murni kecelakaan. Bisa jadi ada yang iri sama karya Mbak Ria."

Dimas yang duduk di samping Arga, langsung menegakkan badan, menatap Rian dengan serius. "Jadi, kamu mikir ada yang sengaja bakar Balai Seni Rupa karena nggak suka sama Mbak Ria?"

Rian mengangguk. “Tepat. aku juga ingat bayangan hitam yang keliatan di CCTV. Aku rasa orang itu ada hubungannya sama kejadian ini.”

Aisyah, yang duduk di dekat jendela sambil mencatat sesuatu, mengangkat wajahnya. “Kalau memang itu ada hubungannya sama lomba seni, kita bisa cari tau siapa aja yang jadi pesaing Mbak Ria. Siapa tahu ada motif dari sana.”

Nadya yang sedang duduk bersila di sofa sebelah, menambahkan, “Kita juga bisa minta bantuan Bu Asri buat ngecek daftar peserta lomba. Pasti ada yang bisa kita gali dari sana.”

Rian mengangguk setuju, lalu melanjutkan ceritanya. “Tapi, yang paling bikin aku penasaran adalah kenapa Mbak Ria tetep bertahan di Balai Seni Rupa. Satpam udah nyuruh dia pulang, tapi dia tetap di sana.”

“Dia mungkin merasa harus nyelesaiin lukisannya,” ujar Arga sambil memandang serius ke arah Rian. “Tapi tetap aja, itu nggak masuk akal kalau dia tahu ada masalah listrik.”

"Betul!" seru Rian, matanya menyala-nyala. "Dan ada satu hal lagi—aku nggak tau kenapa, tapi pas di Balai Seni tadi, rasanya aneh. Kayak ada sesuatu yang gak kelihatan, tapi aku nggak bisa pastiin apa. Tapi yang pasti, feeling-ku bilang kalau ini lebih dari sekadar kecelakaan."

Semua terdiam sejenak, memikirkan semua petunjuk yang sudah dikumpulkan sejauh ini. Suasana mulai terasa lebih serius. Cahaya matahari mulai pudar, dan ruangan perlahan-lahan menjadi lebih redup, hanya diterangi oleh lampu kecil di sudut ruangan.

Aisyah memecah keheningan. “Jadi, langkah kita selanjutnya apa? Kita harus ngumpulin bukti lebih banyak. CCTV dari sudut lain, atau mungkin tanya ke saksi lain yang ada di sekitar waktu itu.”

Rian, yang dari tadi terlihat serius, tiba-tiba mendadak senyum lebar lagi.

“Ngomong-ngomong, dengan semua kerja keras aku ini, kayaknya pantas dapat traktiran, bos.” Dia melirik ke arah Arga sambil tertawa kecil. “Aku udah jalan-jalan, nyelidik sendiri, ketemu guru-guru... udah saatnya dapet penghargaan dong.”

Arga menatapnya datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. “Traktiran, Yan? Kalau aku traktir, kamu bakal ngeluarin lebih banyak teori aneh lagi, nanti malah makin bingung.”

"Teori aneh kan bikin hidup lebih seru," balas Rian sambil tertawa kecil. “Ayo, bos, masa kamu tega liat detektif termuda dan terganteng di SMA Rimba Sakti ini kelaparan?”

Nadya tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Rian, Rian, kamu bisa aja bikin suasana jadi santai."

...—o0o—...

Langit Malang berubah gelap, dan suara adzan Isya sudah lama berkumandang. Arga, Aisyah, Nadya, Dimas, dan Rian bertemu lagi di gerbang SMA Rimba Sakti, seperti yang mereka sepakati sebelumnya. Suasana malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya, dan bayang-bayang gedung sekolah yang megah tampak lebih menakutkan di bawah lampu jalan yang remang.

“Tapi jujur setelah dipikir lagi, ini memang ide yang gila,” gumam Nadya sambil menarik jaketnya lebih erat. “Kenapa kita harus ke sini malam-malam?”

Rian, yang berjalan paling belakang sambil menguap, langsung menyahut. “Ini justru waktu terbaik. Gak ada orang, gak ada gangguan. Gampang buat nyari bukti tanpa ada yang perhatiin. Lagian, kita kan anak muda pemberani. Takut gelap, Nad?”

Nadya mendelik ke arah Rian. “Enggak, aku cuma takut dimarahin kalau ketahuan!”

“Ck, Nadya, kamu kan anak baik-baik. Masalah kecil kayak gini gak akan bikin reputasimu jatuh,” celetuk Rian dengan senyum lebar. "Kalau ketahuan, bilang aja ini semua idenya Arga. Pasti selesai urusan!"

Suasana malam di SMA Rimba Sakti memang bikin merinding, terutama di sekitar gedung Balai Seni Rupa yang sudah dilalap api. Saat mereka baru melewati gerbang sekolah, Nadya mulai memperlihatkan tanda-tanda kegelisahan.

“Ini beneran gak ada yang ngerasa aneh?” tanya Nadya sambil merapat lebih dekat ke Aisyah.

Rian, yang berjalan paling belakang, langsung menyahut dengan gaya sok pahlawan. “Hah, udah dibilang gak ada hantu, Nad. Jangan terlalu banyak nonton film horor lah! Kita kan nyari bukti, bukan main petak umpet sama pocong.”

Tiba-tiba, terdengar suara berisik dari balik pohon besar di dekat mereka. Daun-daun kering terdengar seperti diinjak, dan suara ranting patah menggetarkan udara malam.

“Apa tuh?” Nadya langsung berhenti dan melotot, wajahnya pucat seketika. Rian, yang tadi sok berani, juga langsung berhenti dan menelan ludah.

“Gak ada apa-apa,” ujar Rian, berusaha tenang. Tapi matanya terus melirik ke arah sumber suara. “Paling angin doang… atau tikus.”

Tapi begitu suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih keras, Rian spontan berteriak panik, “WOY APA TUH?”

“KYA! Apa itu?” Nadya ikut teriak dan mendadak menarik lengan Aisyah, membuat Aisyah terjengkang sedikit ke belakang.

“Apaan sih?” Aisyah menatap mereka berdua dengan kesal. Sementara Dimas, yang tadi sedang asyik fokus menyoroti jalan dengan ponselnya, langsung memutar badannya dengan ekspresi datar.

“Berisik banget kalian! Gak takut sama hantu, tapi suaranya kayak kuntilanak beneran,” celetuk Dimas sambil memutar bola matanya. Dia menyorotkan ponsel ke arah sumber suara, tapi tidak terlihat apa-apa.

Aisyah, yang lebih tenang, langsung mengeluarkan senter dari tasnya dan menyorot ke arah pohon besar di dekat mereka. Cahaya senternya membelah gelap malam, menunjukkan sesuatu yang bergerak cepat di antara cabang-cabang pohon.

“Masa hantu bergerak secepat itu?” gumam Arga dari belakang.

Mereka semua menatap senter Aisyah dengan waspada, jantung berdegup kencang. Hingga akhirnya, makhluk misterius itu muncul… seekor kucing hitam yang meloncat turun dari cabang pohon dengan elegannya dan berlari menjauh.

Seketika suasana menjadi hening. Lalu, Rian tertawa canggung sambil mengusap tengkuknya. “Oh, cuma kucing, ta… aku tadi udah siap lari loh.”

Nadya langsung memukul lengan Rian pelan. “Kamu tuh bikin aku teriak-teriak gak jelas!”

Rian tersenyum lebar dan mengangkat bahu. “Hehe, siapa suruh kamu takut sama gelap? Kan udah kubilang, gak ada hantu.”

Aisyah menggeleng pelan sambil mengarahkan senter ke arah mereka. “Aduh, mending kita fokus, deh. Kalau ada apa-apa, yang pertama lari Rian pasti.”

Dimas menutup obrolan itu dengan celetukan tajam, “Sudah, diam dulu. Kita di sini mau nyelidik, bukan bikin kontes teriak-teriakan.”

Mereka semua akhirnya tertawa kecil, suasana yang tadinya mencekam berubah jadi lebih cair. Meski malam itu gelap dan penuh misteri, setidaknya mereka tahu, mereka tidak sendirian—setidaknya ada kucing yang juga menambah dramatis suasana.

Arga yang berjalan di depan menoleh dengan tatapan serius, tapi tidak berkata apa-apa. Dia fokus mengawasi area sekitar sekolah yang terlihat lebih mencekam dalam kegelapan. Mereka berusaha masuk ke sekolah tanpa menarik perhatian.

Begitu sampai di halaman sekolah, mereka menuju ke gedung Balai Seni Rupa, tempat kebakaran terjadi. Area itu masih dikelilingi oleh garis polisi, tapi mereka semua tahu, jika ingin menemukan petunjuk, mereka harus melewati garis itu.

“Pada siap, kan?” tanya Arga perlahan, memastikan semuanya fokus.

Perlahan, mereka melangkah melewati police line dan mendekati pintu balai seni untuk masuk ke gedung yang masih hangus itu.

1
ADZAL ZIAH
keren kak ceritanya... dukung karya aku juga ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!