Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sick
TRIGGER WARNING (Ada sedikit unsur 19+)
---- Sanu's Pov ----
Apakah dia baik-baik saja? Aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi di kelas sejak tadi karena terus nemikirkan Saras. Entah bagaimana kondisinya sekarang, yang pasti aku sangat mengkhawatirkannya. Aku takut ia jatuh sakit karena ia telah basah kuyup oleh hujan dan bahkan setelah itu, ia masih harus pergi ke kelas yang hampir seluruhnya adalah ruangan ber-AC. Aku ragu mereka akan mematikan AC-nya karena meski di sini hujan, suhunya cenderung tetap tinggi.
Dengan segala keberanian yang kupunya, aku mengatakan kepada dosenku untuk meninggalkan kelas terlebih dahulu karena keluargaku sedang sakit. Beruntung bagiku, ia tidak mempersulit perizinannya. Ia hanya mengatakan bahwa aku harus tetap mengumpulkan tugas yang akan ia berikan hari ini. Aku menyanggupi hal tersebut dan langsung berlari menuju kelas Saras, tempat terakhir aku melihatnya.
Dengan napas yang masih naik turun, aku mengetuk pintu itu. Setelah beberapa menit tak ada balasan, aku memutar gagangnya dan membukanya.
Kelas itu sudah kosong.
Aku mendesah dan kembali berlari menuju lift. Selama beberapa menit aku menunggunya namun lift itu tak kunjung tiba. Dengan tidak sabar, aku berlari ke arah tangga darurat dan memutuskan pergi ke lantai satu dengan tangga itu. Dari lantai lima hingga lantai satu, aku berlari dengan kecepatan penuh hingga nyaris terjungkal beberapa kali. Tapi tak masalah, aku tetap selamat dan bisa sampai di bawah dengan lebih cepat.
Sejak tadi banyak mata yang memperhatikanku, tetapi aku memilih acuh dan tidak mempedulikannya. Barangkali mereka heran melihatku berlari-lari seperti mengejar maling begini. Tak apa lah, asal aku bisa tiba di apartement dengan cepat, apapun akan kulakukan.
Aku berlari menembus hujan untuk menuju parkiran mobil. Aku tak peduli dengan air hujan yang membasahiku, tak peduli dengan tablet dan bukuku yang terguyur air lantaran tasku tak dapat menahannya, tak peduli dengan apapun lagi karena yang ada di pikiranku hanyalah memastikan kondisi Saras.
Setibanya aku di tempat parkir, kupacu mobil itu dengan kecepatan penuh. Aku menghabiskan kurang lebih sepuluh menit lamanya untuk sampai di apartement. Aku benar-benar memacu mobilku dengan sekuat tenaga di tengah hujan. Beruntung jalanan sedang tidak terlalu ramai.
Sesaat setelah aku memarkirkan mobil, aku bisa melihat mobil milik Saras sudah terparkir. Kurasa ia benar sudah pulang. Tanpa berlama-lama lagi, aku berlari dengan kencang menuju lift dan naik ke lantai paling atas apartement ini.
"Saras? Kamu dimana?" teriakku, mencari Saras di seluruh sudut apartement.
Tak ada sahutan darinya.
Aku menghela napas, darahku berdesir lantaran rasa khawatir. Aku menaiki anak tangga dengan cepat saat tak dapat menemukannya di lantai satu apartement kami. Kuputar gagang pintu itu dengan tersengal.
Jantungku seolah berhenti saat melihat tubuh itu terbaring di lantai. Kedua mataku bergetar karena panik. Nafasku tercekat saat aku berlari dan menjatuhkan tubuhku tepat di sebelahnya.
Aku menangkup tubuhnya di dalam pangkuanku, memeluknya erat dan menepuk pelan pipinya, "Saras? Saras, hei. Sadarlah." ujarku pelan.
Tubuhnya benar-benar dingin. Bahkan wajahnya pun sedingin es. Aku hendak mengangkat tubuhnya saat tanpa sengaja samar-samar melihat belahan dadanya. Dua kancing kemejanya telah terbuka sehingga aku dapat melihat warna bra di balik bajunya.
Aku memalingkan wajah dengan segera seraya mengancingkan kembali kemeja basahnya itu untuk sementara tanpa melihat ke arahnya. Wajah dan telingaku memerah. Astaga! Beraninya kau begitu pada istrimu yang sedang sakit!
Aku mengangkat tubuh Saras dan meletakkannya di kasur. Aku berniat menelpon pelayan kami untuk membantu melepas pakaian Saras saat tangan dinginnya menyentuh jemariku.
"Aku sangat pusing."
Ia berkata lemah. Bibirnya terlihat sangat pucat sekarang.
Aku menjatuhkan diriku di lantai, memandang wajahnya dan menggenggap tangannya dengan erat, "Aku akan memanggil pelayan untuk membantu kamu berganti pakaian. Bajumu benar-benar masih basah kuyup. Tolong bertahanlah, kamu akan baik-baik saja." Aku mengusap wajahnya, menyingkirkan rambut yang menutupi wajah cantiknya.
"Kenapa harus memanggil pelayan?" suaranya menghilang di ujung kalimat, ia terlihat sangat lemah dan memaksakan diri untuk bisa berbicara denganku.
Aku memalingkan muka karena malu, jemariku masih membelai wajahnya, "Tidak ada orang lain lagi yang bisa membantu kamu."
Hening sejenak. Tak ada suara sama sekali. Aku masih memalingkan wajah saat tangannya bergerak lemah, menyentuh pipiku dengan tangannya yang kini benar-benar sedingin es, "Terima kasih sudah peduli padaku. Aku tidak akan keberatan kalau kamu melakukannya." ia berkata lemah sebelum kembali kehilangan kesadaran.
"Saras? Saras bangunlah..." aku mengusap pipinya lagi, ia terpejam tak bergerak.
Dengan debaran jantung yang sudah sangat menggila, aku memberanikan diri untuk membuka bajunya. Sebelum itu aku berlari ke arah closet dan mengambil piyama hangat untuk dirinya. Saras benar-benar terlihat lemah sekarang.
Tanganku mulai membuka satu demi satu kancing bajunya dengan gemetar, berusaha sebisa mungkin tak menyenggol kulitnya. Dengan perlahan aku melepas kemeja itu dari tubuhnya, menyisakan celana jeans serta bra yang masih melekat di badannya.
Aku melihat tubuh itu tanpa sengaja. Kulitnya sangat putih dan mulus. Memar yang terakhir kali kulihat di perutnya pun sudah menghilang. Aku tersenyum samar mengetahui ia sudah lebih baik dari sebelumnya.
Apa aku harus melepaskan branya juga ya? Jika dilihat lagi bra miliknya memang nampak basah juga. Aku terus menimbang-nimbang di tengah degub jantung yang kian menggila. Entah mengapa aku merasa sangat gerah sekarang.
Dengan ragu, aku melihat gundukan itu sekali lagi dan menggeleng kuat. Aku memejamkan mataku dan mulai melepaskan bra miliknya. Benar-benar tidak sopan rasanya jika aku mencari kesempatan disaat dia sedang sakit seperti ini.
Usai melepaskan pengaitnya dengan susah payah, aku melepaskan bra itu dari tubuhnya. Tanpa sengaja aku menyenggol kulit polosnya hingga membuat aku berteriak dalam hati. Rasanya aku bisa gila jika terus begini.
Tuhan, tolong kuatkanlah aku!
-----
---- Author's POV ----
Sanu menelan ludah dengan susah payah. Usai sempurna melepaskan bra yang menutupi gundukan indahnya itu, Sanu segera memakaikan piyamanya kepada gadis itu. Takut ia akan semakin kedinginan. Sanu masih berusaha melakukan semuanya dengan mata terpejam. Ia rasanya sudah hampir gila. Hawa panas menjalari tubuhnya, membuat punggungnya berkeringat kegerahan.
Usai mengancingkan piyama itu dengan sempurna, Sanu mulai membuka pengait jeans Saras. Ia meringis dalam diam, kapan ini semua akan berhenti, pikirnya. Ini kali pertama baginya merasakan hasrat sexual yang begitu besarnya. Tetapi ia berusaha tetap sadar karena gadis di hadapannya itu sedang sakit dan terbaring lemah.
Sanu melepaskan jeans Saras dengan perlahan. Ia menelan ludah dengan susah payah saat melihat paha mulus gadis itu terpampang jelas tanpa penghalang di hadapannya.
Kurasa aku tidak perlu melepaskan yang satu itu, batin Sanu dalam hati. Ia langsung memakaikan celana panjang hangat yang baru saja ia ambil dari closet usai melepaskan jeansnya.
Sanu menghela napas lega usai memakaikan seluruh baju baru itu ke tubuh Saras. Walau ia tak berani melepaskan celana dalam gadis itu karena ia benar-benar sudah nyaris pingsan menahan debaran jantungnya sendiri. Biarlah Saras melakukannya sendiri atau ia akan meminta tolong bibinya nanti. Lagipula bagian itu sepertinya tak sebasah potongan pakaian Saras lainnya.
Sanu membelai wajah itu sekali lagi. Bibir tipis Saras nampak menggigil dan sangat pucat. Ia bergegas menyiapkan peralatan untuk mengompres Saras dan mengukur suhu tubuhnya. Ia juga memasak bubur dan menyiapkan minuman untuk menghangatkan Saras. Ia menelpon dokter pribadi keluarganya dan menanyakan apakah perlu membawa Saras ke dokter saat ini, namun dokternya itu menyarankan untuk memberikan beberapa obat sebagai langkah pertolongan pertama.
Dengan tergesa-gesa Sanu melesat pergi ke apotek untuk membeli beberapa obat sesuai dengan arahan dokter tersebut. Hari itu, ia benar-benar merasa sangat khawatir setengah mati. Ia pergi kesana kemari tanpa menyadari bahwa dirinya juga masih mengenakan pakaian lembab lantaran ia juga kehujanan.
Laki-laki itu bahkan tidak menyadari bahwa usai dirinya mengompres Saras dengan air hangat dan berjalan dengan tergesa-gesa keluar dari kamar, Saras membuka mata dan mengamati gerak-geriknya.
Gadis itu benar-benar lemah hingga tak sanggup menggerakkan tubuhnya sendiri, tetapi ia terjaga sejak awal dan mengetahui betapa tulus dan baiknya hati suaminya itu.