Nuka, siswa ceria yang selalu memperhatikan Aile, gadis pendiam yang mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, Nuka menawarkan payungnya, berharap bisa melindungi Aile dari dinginnya rintik air. Suatu hari, di bawah payung itu, Aile akhirnya berbagi kenangan masa lalunya yang penuh luka, dan hujan pun menjadi awal kedekatan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aolia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan di Bawah Hujan
Hujan semakin deras . Mereka berdiri di sana, terlindung dari tetesan air yang turun lebat. Udara dingin terasa di kulit, namun suasana di antara mereka lebih hangat dan penuh ketegangan. Nuka menggenggam erat stang motornya, menunduk tanpa mengatakan apa-apa setelah kata-kata "ayo pacaran" terlepas dari bibirnya. Ia merasa jantungnya berdebar kencang, menunggu jawaban yang terasa begitu lama.
Aile memandang ke arah jalan yang mulai dibanjiri air hujan. Pikiran-pikirannya berkelindan, antara rasa nyaman yang ia rasakan bersama Nuka dan kekhawatirannya tentang suatu hubungan . Namun, yang lebih berat adalah beban masalah keluarganya—ibunya yang tak peduli, ayahnya yang dipenjara, dan Gema yang masih berulah. Seberapa adilkah jika dia membawa Nuka ke dalam dunia rumitnya?
“Kenapa tiba-tiba, Ka?” suara Aile lembut, namun ada nada gugup di sana.
Nuka menelan ludah, mencoba meredakan gugupnya. “Karena... aku nggak mau kita kayak gini terus, Aile. Aku nggak mau kamu ngerasa sendirian lagi. Dan... aku mau ada di sisi kamu, bukan cuma sebagai teman.”
Aile terdiam. Perasaannya pada Nuka tak bisa dipungkiri. Lelaki itu sudah melakukan banyak hal untuknya, menjadi tempatnya bersandar saat dunia terasa terlalu berat. Tapi, apakah dia siap untuk membuka hatinya lebih dari ini?
“Nuka, aku… aku nggak tahu,” jawab Aile akhirnya, suaranya pelan namun terdengar jelas di antara deru hujan. “Aku belum siap.”
Nuka mengangguk pelan, meski rasa kecewa tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. “Aku ngerti,” ucapnya, memaksakan senyum. “Aku nggak akan maksa. Tapi aku bakal tunggu, sampai kamu siap.”
Mereka berdua terdiam sejenak, mendengarkan suara hujan yang jatuh ke aspal di sekitar mereka. Hujan selalu membawa suasana yang aneh—membuat momen terasa lebih intens, lebih nyata.
“Tapi satu hal yang harus kamu tahu,” lanjut Nuka dengan suara lebih tegas, “aku nggak akan pergi. Rafa atau siapa pun, aku nggak peduli. Aku akan tetap di sini, di sisi kamu.”
Aile menunduk, merasa hangat oleh kata-kata Nuka. Namun, masih ada sesuatu yang menghantuinya—Rafa. Meskipun dia tidak terlalu memikirkan Rafa, Aile tahu bahwa cowok itu tidak akan menyerah begitu saja. Ada tatapan di mata Rafa yang membuatnya merasa sedikit tidak nyaman, seperti dia memiliki rencana lain.
“Aku harap kamu benar-benar hati-hati sama Rafa,” ujar Nuka lagi, seolah bisa membaca pikiran Aile. “Dia bukan tipe orang yang berhenti begitu aja.”
Aile mengangguk. “Aku tahu. Tapi aku bisa jaga diri.”
Nuka tersenyum kecil, meski kekhawatirannya belum hilang. “Iya, kamu emang kuat. Tapi aku juga bakal jagain kamu.”
Nuka mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya dan memberikannya pada aile
Ia kaget melihat gambar dengan setiap goresan pensil yang menggambarkan dirinya dengan begitu sempurna. “Aku nggak pernah tahu kamu jago gambar.”
Nuka tertawa pelan. “Aku juga nggak terlalu jago, cuma suka aja. Dan kamu… inspirasi yang bagus.”
Aile merasakan pipinya memerah, dan tanpa sadar, senyumnya semakin lebar. Perasaan hangat yang aneh mulai menjalari hatinya, menggantikan rasa ragu yang sebelumnya menguasainya.
“Aku suka, Ka. Beneran. Ini spesial.”
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, tapi diam itu bukan lagi karena keraguan. Itu adalah diam yang nyaman, seolah keduanya tak perlu kata-kata lagi untuk saling memahami. Sampai akhirnya mereka tiba di lapangan basket yang sepi.
Aile menatap bola basket di dekat mereka dan tersenyum nakal. “Gimana kalau kita main dulu? Aku tahu kamu nggak bisa fokus tadi waktu main di sekolah.”
Nuka tertawa, mengangkat bahunya. “Oke, tapi jangan marah kalau aku menang.”
Aile melempar bola dengan tawa kecil. “Kita lihat aja.”
Mereka mulai bermain, menembak bola, berlari, dan tertawa bersama. Hujan yang mulai reda meninggalkan genangan di sekitar lapangan, tapi itu tak mengganggu mereka. Dalam momen-momen seperti ini, dunia luar terasa jauh. Masalah keluarga, Rafa, bahkan ketakutan-ketakutan di hati Aile, semuanya terasa menghilang. Di lapangan itu, hanya ada Nuka dan Aile—dua jiwa yang saling mendukung dan mengisi.
Setelah beberapa menit bermain, Nuka akhirnya berhenti, napasnya terengah-engah. “Oke, aku nyerah! Kamu menang!”
Aile tertawa, puas dengan kemenangannya. “Ternyata aku lebih jago dari yang kamu kira.”
Nuka duduk di bangku lapangan, tersenyum lebar. “Kamu emang luar biasa, Aile.”
Aile duduk di sebelahnya, merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama. “Aku senang ada kamu, Nuka.”
Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati momen itu. Di kejauhan, langit mulai cerah lagi, meski genangan hujan masih tampak di sekitar lapangan. Nuka dan Aile saling menatap, dan kali ini, mereka tak butuh kata-kata untuk memahami apa yang masing-masing rasakan.
Namun, di balik semua itu, Rafa yang mengamati dari kejauhan sudah merencanakan langkahnya. Dia tahu, untuk mendapatkan Aile, dia harus melewati Nuka terlebih dulu.