Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beban Pikiran
Cicio : “waktu ituuu mereka?….”
Rico : “mereka kenapa si cio”
Tino : “iya apaan si, kan terakhir arga sama lo”
Cicio : “iya jangan-jangan mereka mabuk terus saling ungkapin perasaannya, terus jadian, yakan bener?”
Rico : “iya bener juga ya kalo mabuk kan jadi jujur”
Tino : “widih widih berarti pasangan baru”
Sisil : “apasih ngga cocok”
Cicio : “diem lo ngga penting”
Galang melihat percakapan merekan menatap dengan sinis
Bibo: tertawa lebih keras "Ya, kalo gitu sih, kita ikut seneng lah. Tapi kok gue nggak percaya Arga bisa secepat itu berubah."
Fano : “nanti besok juga ribut lagi mereka”
Bibo : “lah iya selama divilla sadar ngga? Kita semua akur hahaha”
Danendra : “berarti emang kita butuh waktu bareng aja”
Tiba-tiba, Intan yang duduk di belakang mereka ikut mendengar obrolan Tino dan Bibo.
Intan: ikut bercanda "Wih, Arga sama Karin kok manis banget sekarang?.”
Mendengar candaan teman-temannya, Arga yang baru saja terbangun langsung cengar-cengir sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Arga: berusaha santai meski sebenarnya kaget "Ah, apaan sih lo pada? Biasa aja kali, tidur ya tidur."
Karin yang masih setengah sadar karena mendengar celotehan temannya, ikut terbangun. Begitu sadar posisi mereka yang dekat, wajahnya langsung memerah, tapi ia mencoba menutupi perasaannya dengan bercanda.
Karin: menggerutu sambil melirik Arga "Lo pada ngeliatin apaan sih? Orang gue lagi ngantuk."
Tino: nyengir lebih lebar "Wah, sabar-sabar, bos. Biasa aja, cuma heran aja kok kalian bisa akur gini, padahal biasanya berantem terus."
Bibo: nimpalin sambil ketawa "Iya tuh,kesambet ya."
Karin: berusaha menjaga ekspresi datarnya, sambil menyikut pelan Arga "Ini gara-gara lo, Arga! Lain kali, jangan tidur deket-deket gue!"
Arga: masih ketawa canggung "Iya, iya, salah gue. Eh, tapi lo juga tidur nyender ke gue tadi, Rin!"
Semua teman-teman mereka pun tertawa melihat bagaimana Arga dan Karin mencoba menutupi situasi. Meskipun mereka berusaha menyangkal, jelas ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, bahkan jika mereka berdua belum sepenuhnya menyadarinya.
Setelah bus tiba di tempat kumpul, teman-teman mulai turun satu per satu. Mereka semua lelah tapi senang setelah liburan yang seru. Arga berjalan di samping Karin yang terlihat agak canggung sejak mereka turun dari bus.
Arga: berbisik sambil melihat ke arah Karin "Rin, gue anterin lo pulang, ya?"
Karin: mengangguk pelan "Iya, makasih."
Selama perjalanan ke rumah Karin, suasana agak hening. Arga terus melirik ke arah Karin, seakan ingin memulai pembicaraan tapi ragu-ragu. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk membuka percakapan.
Arga: suara pelan, agak kikuk "Eh, Rin... Gue mau nanya sesuatu, tapi lo jangan marah, ya."
Karin: menghela napas, sudah bisa menduga apa yang akan ditanyakan "Apa, Ga?"
Arga: ragu-ragu sejenak "Lo... pms biasanya tanggal berapa? Sekarang udah tanggal 12, kan?"
Karin: mikir sejenak, lalu menjawab sambil cemas "Biasanya tanggal 15-an, sih..."
Arga: nampak sedikit lega, tapi tetap khawatir "Oke, kita liat aja ya sampe minggu depan. Kalau lo nggak pms selama seminggu, kita coba test pack, gimana?"
Karin: matanya sedikit membesar, tapi dia berusaha tenang "Iya... Iya, bener. Gue juga udah kepikiran soal itu."
Arga: mencoba menenangkan "Tenang aja, Rin. Gue bakal tanggung jawab, apapun yang terjadi."
Karin: menghela napas dalam-dalam, cemas tapi juga sedikit merasa lega mendengar kata-kata Arga "Oke, Ga. Tapi semoga aja semuanya baik-baik aja."
Mereka berdua melanjutkan perjalanan dengan pikiran masing-masing yang penuh kekhawatiran, tapi berusaha tenang dan kuat menghadapi situasi yang akan datang.
Sesampainya di depan rumah Karin, Arga membantu menurunkan barang-barang dari motor.
Saat Karin membuka gerbang, ibu dan bapaknya sudah menunggu di depan pintu dengan senyuman.
Ibu Salma: tersenyum lebar "Alhamdulillah, Karin udah pulang. Makasih ya, Arga, udah jagain anak mamah selama di villa."
Bapak Roby: mengangguk setuju "Iya, Arga. Kami tenang karena ada kamu di sana. Makasih udah nganter pulang juga."
Arga: tersenyum tipis, meski dalam hatinya merasa bersalah "Iya, mah pah. Sama-sama. Senang bisa bantu."
Di luar, Arga berusaha terlihat tenang dan sopan seperti biasa, tapi di dalam hatinya perasaan bersalah semakin mengganggu.
Teringat kejadian di villa tadi malam, rasa gelisahnya semakin dalam. Dia tahu bahwa ucapan terima kasih dari ibu dan bapak Karin itu seharusnya membuatnya bangga, tapi kali ini justru menambah beban di pikirannya.
Arga: tersenyum kaku "Karin juga banyak bantu di villa, mah , pah . Jadi ya... saling jaga."
Ibu salma: tertawa kecil "Ya udah, Arga. Kamu hati-hati di jalan, ya. Kapan-kapan main lagi ke rumah."
Arga: mengangguk sopan "Iya, mah. Makasih."
Karin hanya diam, berdiri di samping ibunya dengan perasaan yang sama gelisahnya. Setelah mengucapkan salam, Arga naik ke motornya, melambaikan tangan singkat, lalu pergi meninggalkan rumah Karin.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terus berkecamuk, tak bisa menghilangkan rasa bersalah yang semakin menghantuinya.
Setelah Arga pergi, Karin masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah.
Ibu Salma: melihat wajah Karin yang kusut "Kamu kenapa, Nak? Kok mukanya lesu gitu? Capek ya?"
Karin: memaksakan senyum tipis "Iya, mah. Cape banget. Mau langsung istirahat aja, ya."
Bapak roby: mengangguk "Iya, Nak. Kalau capek istirahat aja. Tapi habis ini makan dulu, ya. Ibu udah siapin makanan buat kamu."
Karin: berusaha tersenyum "Nanti, Pah. Aku istirahat sebentar dulu ya, ngantuk banget."
Karin buru-buru menuju kamarnya, ingin segera menyendiri. Begitu pintu kamar tertutup, ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya dengan rasa cemas yang masih tersisa.
Pikirannya tak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi tadi malam. Di antara rasa lelah fisik dan mental, bayangan kejadian itu terus menghantuinya.
Karin: berbisik pada dirinya sendiri "Gimana kalau beneran hamil... apa yang harus aku lakuin?"
Karin: “ngga, ngga mau kalo gue hamil gue ngga bisa jadi dokter kaya yang mama mau, kenapa si gue ngga bisa jaga diri, kenapa gue mau aja disuruh sisil minum, kenapa si rin kenapa” karin sambil memukul pukul kepala dirinya, ia merasa menyesal”
Karin : “apa gue bunuh diri aja ya? Dalam batin karin
Bersambung….