Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 18
...***...
"Permisi sir?"
Kaal terperanjat bangun dari alam lamunannya. Ia melihat bingung ke arah asistennya yang menatapnya dengan ekspresi serupa. Lelaki muda di awal dua puluh tahunan itu mengernyit, mendeteksi ada yang salah.
"Anda baik-baik saja?"
"Ya, ya." Sahutnya sembari berdeham canggung.
"Ada keperluan apa, Hans?"
Lelaki yang disebut mengulaskan senyum datar bersama segaris raut kemakluman.
"Anda perlu saya mengulanginya lagi?"
"Oh." Kaal mendesis geram kepada dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan asistennya berada di sini dan ia langsung merasa bersalah kendati Hans tampak tidak mempermasalahkan apapun.
"Maaf aku tidak bermaksud untuk mengabaikanmu."
"Aku mengerti." Jawab Hans tanpa tersinggung.
Asistennya kemudian meminta izin untuk mengulang poin penting yang terlewat oleh Kaal, selagi ia berusaha untuk mendengarkan dengan seksama.
Meskipun demikian, apa yang terlintas di dalam kepalanya hanya pernyataan terakhir Savin kemarin malam. Tentang penyesalan yang akan timbul jika ia melepaskan Melody begitu saja.
Tanpa perlu pembuktian konkret, Kaal tahu bahwa ucapan adiknya itu benar. Ia sangat memahami cepat atau lambat perasaan semacam itu akan menyerangnya.
Sialnya, ia tidak pernah handal dalam penyesalan. Ia tidak pernah mengerti bagaimana cara mengadili segala rincian yang akan ikut serta dengan perihal itu.
Apalagi, jika penyesalan yang akan ia hadapi nanti melibatkan Melody.
Melody Senja.
Kaal tanpa sadar membisikkan pelan nama yang membuat dadanya meluap oleh rindu. Ia sedikitnya lupa bahwa ada orang lain yang tengah berada bersamanya.
Seorang asisten yang kini berhenti bicara, menutup mulut rapat, sebelum memutuskan untuk beranjak diam-diam keluar dari ruangan sesederhana karena ia tahu atasannya sedang tidak dalam kondisi prima.
Di sisi lain, Kaal memejamkan pelupuknya erat—sama sekali tidak menyadari situasi yang baru saja terjadi. Tangannya meraih ponsel lalu menekan papan tombol beberapa kali. Pandangannya terpaku untuk sesaat, bibir menggigit gugup seolah ini adalah persoalan paling rumit yang pernah ia hadapi.
Lalu lewat gerakan cepat, jarinya memilih opsi panggil.
Nada sambung merambat ke dalam pendengaran Kaal keras, namun tidak cukup keras untuk mengalahkan detak jantungnya yang berdentum.
Ada keraguan bahwa gadis di seberang sana tidak akan mengangkat teleponnya.
Akan tetapi praduga itu luruh ketika nada sambung tiba-tiba terputus, berganti oleh suara halo lembut yang menyapanya.
Kaal meluruskan punggung.
Gelenyar dalam nadinya menandakan bahwa kerinduannya terisi.
Bibirnya bersiap menjawab, namun niatan itu urung segera.
Karena kalimat yang meluncur berikutnya adalah,
"Siapa ini?"
Ah.
Genggaman Kaal yang memegang ponsel mendadak kehilangan tenaga. Ia menurunkan benda itu ke pangkuannya.
Mengamati detik durasi yang berganti menandakan bahwa sambungan masih berlangsung hingga sambungan benar-benar terputus.
Akan tetapi, jari Kaal masih berada di atas papan tombol—tidak mampu bergerak sedikit pun. Penglihatannya tetap tertuju pada benda dengan layar yang mulai meredup seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Tidak, pikirnya. Ini adalah sesuatu yang tidak termasuk dalam ekspektasinya.
...***...
"Savin…"Kaal terengah setelah membuka pintu utama apartemen adiknya.
Adik perempuan yang mendengar seruannya terlihat panik. Gadis itu beranjak dari sofa lalu menghampirinya yang berdiri kaku di ambang pintu.
"Savin, dia benar-benar telah melupakanku."
"Apa?" Savin bertanya bingung—tidak mengerti konteks pembicaraan yang dimaksud kakaknya itu
"Melody—" Kaal merasa lidahnya begitu pahit, sehingga ia membutuhkan jeda sebelum melanjutkan.
"Melody di benar-benar tidak mau bertemu denganku lagi"
Bahu Savin yang turun mengisyaratkan bahwa kesedihannya tersalurkan.
Gadis itu merentangkan lengan kemudian membawanya ke dalam pelukan. Kaal biasanya selalu menolak perlakuan seperti ini. Ia benci ketika saudara kecilnya terlihat lebih dewasa. Namun untuk sekarang, pelukan Savin adalah sesuatu yang paling ia butuhkan.
"Seharusnya ini tidak berakhir seperti ini, kan?" Ia melemparkan pertanyaan itu ke udara, tanpa ada tujuan untuk mendapatkan jawaban.
Sebab ia tidak menginginkan ini. Ia tidak menginginkan Melody membuangnya dari kehidupan gadis itu. Ia hanya mau sahabatnya untuk singgah ke hati yang lain. Ia tidak mau seutuhnya ditinggalkan. Ia tetap mau menjadi bagian, meskipun bukan sebagai pasangan.
"Apa yang terjadi?" Savi berujar di telinganya, sementara Kaal menyandarkan kening ke bahu gadis yang lebih pendek.
Dengan terbata, ia menceritakan semuanya.
Ia menjelaskan mengenai pertengkaran terakhirnya dengan Melody serta segala kekacauan yang mengikuti pertengkaran tersebut.
Ia mengungkapkan bagaimana perasaannya sesungguhnya, bahwa ia memang jatuh cinta.
Bahwa—sekali lagi, ketakutan dirinya akan menyakiti Melody selalu menghantuinya.
Serta kenyataan bahwa ia sama sekali tidak bisa jauh dari Melody dan itu adalah satu-satunya alasan yang menahannya untuk hengkang dari apartemen.
"Aku tidak bisa hidup tanpanya, sunggu aku benar-benar membutuhkannya karena jika ada dia di sekitarku," bisik Kaal lemah.
"Semuanya akan baik-baik saja."
Itu adalah pertama kali Kaal menangis di depan adiknya.
Lengan Kaal mendekap Savin lebih erat, jemari mencengkeram punggung gadis itu. Tubuhnya serasa habis dihajar pengingkaran yang telah kalah telak.
Ia lelah berkelana.
Ia ingin pulang, Ia ingin gadisnya kembali.
"Tapi ini semua terlambat, semuanya benar-benar telah berakhir, kan?" Kaal berusaha bicara di tengah isak yang merampas suaranya.
"Sudah terlambat untuk memperbaiki ini kembali."
"Belum kak" Savin tiba-tiba menyahut—yakin dan tanpa ragu.
"Semua belum terlambat, Kak. Kau masih bisa memperbaiki hubungan kalian."
"Apa maksudmu Savin, ini telah berakhir dia membenciku sekarang, bukankah begitu?"
Kata tanya bagaimana melekat di ujung lidah Kaal dan Savin menangkap aura kebimbangan itu segera.
"Jadilah dirimu kak." Lanjut adik perempuannya.
"Kau harus kembali menjadi dirimu yang dulu kak."
Kaal merasakan Savin bernapas panjang sebelum melepas pelukan mereka. Dari bayangan mata saudara perempuannya, ia dapat menafsirkan bahwa gadis itu masih tidak menyangka akan melihat kakaknya lelakinya tumbang karena satu aksi dari Melody.
Semakin besar cintamu, semakin besar pulan rasa sakit yang akan kau dapatkan.
Konsekuensi dari cinta yang berbalas adalah, kau tahu bahwa dia mencintaimu dan kau menganggap bahwa dia akan menjadi orang terakhir yang menyakitimu. Namun seseorang yang paling dekat nyatanya justru memiliki potensi untuk melukai paling banyak.
Kaal tidak mau menjadi seseorang itu.
Ia masih tidak mau menjadi seseorang itu.
Perbedaannya, jika dulu ia menghindari muasal, kali ini ia akan mencoba. Ia akan berusaha untuk memahami Melody, mengerti kapan gadis itu merasa tersakiti, dan merubah diri.
"Kau pikir dia akan memaafkanku?" tanya Kaal setelah jeda yang cukup lama.
Savin tersenyum kecil.
"Mungkin." Jawabnya.
"Aku tidak menjamin kalian akan kembali seperti semula. Akan tetapi, paling tidak ia tahu bahwa kau menyesali perbuatanmu. Bukankah itu hal yang paling penting?"
Kaal berkedip takjub—tidak percaya bahwa kalimat bijak itu baru saja keluar dari mulut adik kecilnya.
"Kau benar-benar Savin, kau telah dewasa sekarang."
Savin memutar bola matanya, berpura-pura tersinggung seraya melipat kedua tangan di depan dada.
"Kau menyepelekanku?"
Kakak lelakinya tertawa, meskipun tawa lepasnya masih dihiasi parau. Savin yang menyaksikan itu merapatkan bibir.
Mungkin itu belum signifikan. Namun sedikit demi sedikit, ia mendapati bahwa Kaal yang dulu perlahan kembali.
...TBC...