Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Ponsel di tanganku terasa semakin berat, dan dadaku berdenyut-denyut seakan menahan hantaman mendadak dari pesan singkat Dion. Mataku terpaku pada layar, membaca ulang kata-kata yang terasa seperti cambuk yang menggores kulitku.
Andi memerhatikan ekspresiku yang berubah, matanya menyiratkan kekhawatiran. “Ada apa, Kirana?” tanyanya, perlahan meraih pundakku.
Aku menoleh padanya, berusaha keras menahan air mata yang hampir tumpah. “Dia… dia mengirim pesan,” jawabku pelan, menunjukkan ponselku padanya.
Andi mengambilnya, membaca cepat, kemudian rahangnya mengeras. “Ini ancaman, Kirana. Kita harus segera melaporkannya.”
Aku mengangguk, meskipun ada perasaan lain yang berbisik di dalam hati. Sebagian diriku masih tak percaya bagaimana Dion berubah begitu cepat—bagaimana ia bisa menjadi seseorang yang sama sekali asing bagiku. Dulu, dia pria yang lembut dan penuh perhatian, namun kini…
“Kenapa dia tak bisa membiarkanku pergi begitu saja?” ucapku hampir berbisik, suara gemetar.
Andi menggenggam tanganku, menatap mataku dengan penuh keseriusan. “Karena dia tak ingin kehilangan kontrol, Kirana. Kamu harus mengingat siapa dia sekarang, bukan siapa dia dulu.”
Aku hanya terdiam, kata-kata Andi seolah membangunkanku dari ilusi. Kerap kali aku memandang Dion seperti bayangan masa lalu, berharap ada sedikit sisi baik yang tersisa. Namun, pesan itu cukup untuk mengingatkanku bahwa Dion bukan lagi orang yang dulu aku kenal.
Ponsel Andi bergetar, memutus ketegangan di antara kami. Dia segera menjawab panggilan itu dengan suara tegas. “Ya, benar, ini Andi. Saya ingin melaporkan… Ya, saya bersama Kirana, korban yang Dion ancam.”
Aku bisa mendengar suara polisi di seberang telepon, terdengar samar namun jelas menginstruksikan beberapa tindakan keamanan. Wajah Andi tetap serius, mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengangguk.
Selesai berbicara, dia menutup telepon dan berbalik padaku. “Mereka akan meningkatkan pengawasan di sekitar rumahmu. Jangan khawatir, Kirana. Polisi juga akan menindaklanjuti kaburnya Dion dengan pengawasan ketat.”
Aku mengangguk, namun tak bisa mengusir rasa tak nyaman yang melilit dadaku. Sekali lagi aku melirik ponselku, seolah khawatir pesan berikutnya akan masuk. Namun, layar tetap gelap dan sunyi.
Andi menarik napas dalam, lalu berbicara pelan, “Mungkin sebaiknya kamu tidak tinggal di rumah ini dulu, Kirana. Pindah ke tempat yang lebih aman, setidaknya sampai situasi ini terkendali.”
“Lalu ke mana?” tanyaku, merasa terjebak. Rumah ini adalah satu-satunya tempat yang aku anggap aman, meski sekarang rasanya seperti jebakan.
“Ke rumahku,” ujar Andi tanpa ragu. “Aku bisa menjaga dan memastikan kamu aman. Tidak ada yang tahu di mana tempat tinggalku, jadi Dion tak akan mencarimu di sana.”
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. Dalam situasi ini, mungkin memang lebih baik aku tidak sendirian, tapi… tinggal bersama Andi? Sesuatu yang sederhana itu mendadak terasa begitu kompleks di pikiranku.
Andi tersenyum kecil, seperti bisa membaca keraguanku. “Ini hanya sementara, Kirana. Lagipula, aku akan tidur di ruang tamu kalau itu membuatmu lebih nyaman.”
Aku mengangguk pelan, akhirnya setuju. Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti merasa kuat sendirian. Tanpa sadar, aku telah bertahan sendirian terlalu lama, dan mungkin sekaranglah waktunya untuk menerima bantuan.
---
Sore hari itu, kami mengemasi barang-barangku seadanya. Andi dengan cekatan membantu memasukkan pakaian dan barang-barang penting lainnya ke dalam koper, sementara aku sibuk memastikan dokumen-dokumen penting tak tertinggal.
“Pastikan kamu membawa semua yang kamu butuhkan, jangan sampai ada yang tertinggal. Kita tak bisa kembali ke sini terlalu sering,” ujar Andi sambil melirik ke arahku dengan serius.
“Ya, aku rasa ini sudah cukup.” Aku menutup koper terakhir, mengembuskan napas panjang. Aku berusaha mengabaikan rasa asing yang mulai menjalar saat meninggalkan rumah ini, namun tahu bahwa ini adalah keputusan terbaik.
Ketika kami sampai di rumah Andi, suasana sepi dan nyaman menyambutku. Rumahnya bersih dan rapi, terlihat sangat berbeda dari apartemen Dion yang selalu berantakan. Aku mengamati ruangan dengan kagum, merasakan ketenangan yang tak biasa.
Andi mengangguk ke arah ruang tamu, tersenyum tipis. “Buat dirimu senyaman mungkin, anggap saja rumah sendiri.”
Aku tersenyum kecil, menatap Andi. “Terima kasih, Andi. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa kalau tidak ada kamu.”
Andi menggeleng. “Kamu tidak perlu berterima kasih, Kirana. Aku di sini karena aku peduli.”
Sejenak, kami hanya terdiam, dan aku bisa merasakan sesuatu yang tak terucap di antara kami. Namun sebelum aku bisa memikirkan lebih lanjut, suara dering ponselku menginterupsi. Ponsel itu lagi-lagi bergetar, mengingatkanku pada pesan yang masuk sebelumnya.
Kali ini, sebuah nomor tak dikenal.
Aku menggigit bibir, ragu-ragu sebelum menjawabnya. “Halo?”
Di ujung telepon, ada suara yang tak asing, suara yang membuat darahku seakan membeku.
“Kirana,” suara itu lirih, hampir terdengar penuh amarah, namun ada nada licik yang menyelinap. “Kupikir aku sudah bilang, tak ada yang bisa memisahkan kita. Aku selalu tahu di mana menemukanmu.”
Darahku seakan berhenti mengalir. Aku menatap Andi yang memandang penuh tanda tanya, lalu dengan suara bergetar, aku berkata, “Dion… dia tahu di mana aku.”