Semoga kisah nikah dadakan Atun Kumal dekil, dan Abdul kere menang judi 200 juta ini menghibur para readers sekalian...🥰🥰🥰
Happy reading....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan jadi sales
Siang itu, Abdul duduk di depan rumah dengan wajah kesal. Pasalnya sejak pagi istrinya belum pulang juga, padahal sudah berjanji akan pergi sebentar saja.
Beberapa kali pria itu mengusap tengkuknya yang terasa pegal karena terlalu lama memandangi jalanan di depan rumahnya. Hingga pukul dua barulah Atun pulang dengan langkah sedikit terburu-buru.
"Darimana saja kamu Dek?" cecar Abdul ketika Atun sudah berada di teras rumah.
"Maaf ya Mas, tadi kita ke kampung ujung sana nganter bawang. Terus pulangnya jalan kaki." Atun nyengir kuda, tampak wajahnya yang memerah karena terkena sinar matahari.
"Ngapain jalan kaki Dek? Jauh loh?" kesal Abdul menatap Atun dengan khawatir.
"Iya, tapi tadi itu kita keliling di kampung sana, lihat-lihat rumah bagus. Marina bilang itu ada jalan pintas menuju ke kampung sini, akhirnya kita coba jalan aja." jelas Atun kepada suaminya, mereka duduk berdua di depan rumah.
"Itu jauh Dek! Harusnya kamu telepon Mas, biar Mas yang jemput kalian."
"Maaf!" jawab Atun meraih tangan Abdul. "Lagipula aku tidak punya hp Mas, adanya juga hp butut dan ketinggalan di rumah emak." dia nyengir kuda, menjelaskan alasannya.
"Iya juga ya." Abdul menepuk keningnya, dia baru sadar kalau tidak pernah telpon-telponan dengan istrinya itu. Dia terkekeh sendiri dengan hubungan mereka yang mendadak menjadi suami istri. Dia bahkan tidak pernah berpikir untuk memakai hp nya untuk menghubungi Atun, karena Atun selalu berada di sisinya selama hampir dua Minggu ini.
"Ya sudah, besok Mas belikan hp buat kamu." ucap Abdul lagi.
Sedangkan Atun hanya mengangguk seraya tersenyum kaku. "Duit itu lagi." gumamnya di dalam hati.
"Oh iya Mas, tadi aku sama Marina lihat rumah besar di kampung ujung sana, ada yang buka lowongan kerja."
"Lowongan kerja? Dimana dan kerja apa?" tanya Abdul, penasaran dengan ekspresi bahagia di wajah istrinya.
"Di kampung ujung Mas, sopir, sama satpam, skurity Mas!" ulang Atun terlihat bersemangat.
"Hemmm...." Abdul tampak menimbang-nimbang.
"Mas kan bisa nyetir." kata Atun lagi, meyakinkan Abdul untuk mencoba melamar pekerjaan di rumah orang yang tadi siang mereka lewati.
"Iya sih dek. Tapi tadi ada teman mas juga menawarkan pekerjaan sebagai sales marketing. Dan Mas sudah setuju." jawabnya.
"Owalah, apa tidak capek jadi sales Mas? Itu nanti kamu harus keliling jualan barang, nawarin kesana-kemari sampai jauh. Belum lagi kalau nggak ada yang beli! Kamu bisa gak dapet gaji Mas!" jelas Atun.
"Kok kamu tau?" tanya Abdul menatap wajah istrinya, heran.
"Halah, paham hal begitu ya mudah saja Mas. Coba kamu tanya sama penjual panci, wajan dan perabotan-perabotan yang suka datang berkeliling rumah-rumah. Itu mereka sales Mas!" papar Atun.
"Ya beda lah Dek. Ini yang di tawarkan ke mas sales marketing forniture." jelas Abdul tak mau kalah.
"Apalagi sales furniture Mas! Sales panci aja mesti gotong panci keliling kampung! Apalagi forniture seperti katamu! Berat sudah pasti! Belum lagi kalau barang belum habis, kamu mesti nginep sana-sini. Gak jelas!" Atun mengomel kali ini.
"Terus, Mas mesti bagaimana?" tanya Abdul menjadi bingung.
"Terserah Mas saja." jawab Atun mengakhiri pembicaraan mereka, ia masuk kedalam rumah, lelah sudah pasti karena berjalan kaki.
"Harusnya sih tidak perlu bingung, kan duitku masih banyak rek." gumamnya.
"Aku denger lho Mas!" ucap Atun setengah berteriak
"Enggak Dek. Besok kita ke kampung ujung sana berdua, sekalian jalan-jalan." rayu Abdul segera menyusul Atun dan merangkulnya.
...***...
Sementara itu, Marina yang baru saja masuk ke dalam kamar pun mendadak terganggu dengan panggilan ibunya.
"Ada apa Bu!" teriak gadis itu beranjak dari ranjangnya dan keluar mencari sumber teriakan yang mengusik kantuknya.
"Kamu hantar ini bawang putih sama bawang merah ke rumah Susi." perintah Bu Lilis.
"Marina capek lah Bu, masak mau di suruh nganter lagi?" kesalnya dengan wajah di tekuk.
"Halah, deket ini kok. Itu rumahnya di sampingnya Rodiah, bukannya kamu sudah biasa main ke sana?" sambil menyodorkan kantong kresek dua buah, lumayan berat.
Marina mengambil bawang tersebut dengan kaki sedikit menghentak kesal. Meskipun capek namun ia tak tega menolak perintah ibunya.
"Nasib.... Nasib. Jadi anak bontot kok sangat menyedihkan to! Apakah ibu ku itu adalah ibu tiri?" Marina berjalan sambil berbicara sendiri. "Lagi-lagi aku, lagi-lagi aku lagi.... Enak sekali jadi Mbak Arini!" lanjutnya lagi, ia tak peduli ada beberapa orang yang memperhatikannya, heran dengan kelakuannya. Dia mencebik, sinis menatap mereka yang tersenyum. "Bodo amat!" gumamnya lagi.
Hingga beberapa menit saja, ia sudah ada di depan rumah Bu Susi yang di maksud ibunya. Benar saja, rumah Mak Rodiah itu hampir berdempetan dengan rumah itu. Bahkan suara dentingan sendok makan di rumah Atun pun dapat di dengar dari sana.
"Marina!" panggil Bu Susi, ia sudah berdiri di depan pintu menunggu pesanannya.
"Iya Bu, semuanya lima puluh enam ribu." ucap Marina memberikan kantong kresek tersebut.
"Makasih ya Mar. Maaf sudah merepotkan kamu. Ini soalnya mau cepat, Rara mau pesan nasi kotak 100 porsi untuk selamatan rumah barunya." ucap Bu Susi itu menjelaskan.
"Mbak Rara?" tanya Marina menujuk rumah di sebelahnya.
"Iya, dia sudah membeli rumah baru di desa Sugih Sana, desa ujung." terangnya lagi.
"Desa ujung sana?" Marina menujuk ke arah samping namun jauh.
"Iya! Kan kemarin itu uangnya kurang beberapa puluh juta begitu. Tapi sekarang udah di cukupi sama emak Rodiah, jadinya mereka akan segera pindah." papar perempuan yang berprofesi sebagai pemilik catering rumahan itu.
"Beberapa puluh juta? Ibu ngarang toh?" Marina begitu terkejut, lebih tepatnya aneh dan tak percaya. Namun perempuan di hadapannya itu mengangguk pasti.
"Bukannya Mak Rodiah itu... Kismin Bu? Mana mungkin dia punya duit puluhan juta." tentu saja Marina sangat ragu.
"Halah, dia itu hanya pura-pura miskin saja Mar, hanya untuk menekan Atun agar mau menikah sama pak Sukma. Itu sebabnya kami semuanya jadi tidak begitu suka sama dia." ucap perempuan tersebut, kali ini ia sedikit berbisik.
"Ta-pi.... Atun?" Marina jadi tergagap, ia ingin tahu banyak namun perempuan bernama Susi itu tampak sedang sibuk.
"Yo wes, aku mau masak dulu." ucapnya, membuat Marina urung bertanya lebih banyak.
Gadis itu menatap rumah Emak Rodiah dengan bingung. "Apakah tetangga Atun itu berbohong?" gumamnya di dalam hati, langkahnya jadi sedikit oleng karena tak bisa berpaling dari rumah Mak Rodiah itu.
Sejenak kemudian ia langsung mempercepat langkahnya, ia ingin segera pulang, bertanya dengan Bu Lilis.
"Kalau dipikir-pikir, semua orang di kampung ini tidak menyukai Emak Rodiah? Kenapa?" gumamnya lagi.
ben kapokn
uhuuuuiii aji jgn jadi biawak sungai yahhhhhh
wkekwkkkkkk
tariiiikkkkkk siiiissssssss
nasib mu sunguh berubah.. heheheee.. slmt tun tp klo dah kaya jgn sombong tun