Novel dengan bahasa yang enak dibaca, menceritakan tentang tokoh "aku" dengan kisah kisah kenangan yang kita sebut rindu.
Novel ini sangat pas bagi para remaja, tapi juga tidak membangun kejenuhan bagi mereka kaum tua.
Filosofi Rindu Gugat, silahkan untuk disimak dan jangn lupa kasih nilai tekan semua bintang dan bagikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ki Jenggo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 Cungkup Kok Candi
Cahaya Matahari baru saja menerobos langit di ufuk timur, untuk menyapa para penghuni Planet Bumi. Kami berlima pada hari itu menelusuri sebuah desa yang dekat dengan keberadaan hutan Kayu Putih. Sebuah hutan yang ada di wilayah Ponorogo.
Hutan kayu putih merupakan kawasan perhutani yang sangat luas. Tepian hutan kayu putih di Desa Marak kami terus lurus ke selatan melewati sebuah pasar. Pasar Siwalan. Meski di sebuah Desa di Pasar Siwalan, buka tiap hari dan hingga sore hari di kunjungi para pembeli. Bahkan para Pedagang Kaki Lima juga banyak yang berjualan.
Di pertigaan Pasar Siwalan kami menghentikan sepeda motor. Anika dan Ima mau membeli beberapa perlengkapan. Tentunya dia beli air minum dalam kemasan botol dan beberapa makanan kering untuk kebutuhan kami mengganjal perut di area situs.
Setelah melihat Anika dengan Ima keluar kami melanjutkan perjalanan untuk menyusui jalan menuju arah timur. Situs yang kami tuju kali ini adalah Situs di Desa Candi. Setelah beberapa hari, kami menceritakan keberadaan cungkup yang orang juga menyebut candi mereka tertarik untuk melihat keberadaannya.
Jalan dari Pasar Siwalan menuju Situs tersebut tidaklah sulit. Meski kadang berliku liku dengan kelokan tapi di wilayah tersebut sudah beraspal.
Situs berada di Desa Candi. Desa Candi sendiri, merupakan pedesaan yang ada di tepi desa hutan Kayu Putih. Masyarakat di Desa Candi banyak yang mengandalkan hidupnya dari hasil mengolah lahan pertanian yang ada di ladang dan sawah mereka.
belum sampai matahari sepenggalah kami sudah bisa mencapai lokasi di mana Situs yang berupa cungkup dengan kentongan tergantung di satu sudut.
"Kentingan ini untuk apa, Kak? " tanya Pras padaku.
Aku hanya menduga bahwa kentongan merupakan alat komunikasi pada masa lalu. Dengan kentongan tersebut ada kode untuk memanggil dan mengumpulkan warga.
"Kentongan ini juga merupakan bukti, bahwa candi ini masih berfungsi di masanya, " ujarku.
"Kentongan sebagai alat komunikasi kan baru beberapa tahun ini, Kak, " sahut Ima.
"Aku tidak mengerti. Tapi pada masa penjajahan kentongan juga sebagai alat komunikasi, " ujarku.
"Bisa jadi kentongan ini adalah cara masyarakat sini mengumpulkan warga untuk melaksanakan upacara tradisional, " terang Anika.
"Kemungkinan besar pada masa upacara labuh atau hujan pertama," jawabku.
"Kentongan segini gedhenya untuk thekthur sulit mencari namanya, " ujar Hengki yang sedari tadi diam saja.
kami melihat beberapa buah batu bata yang ada di dalam cungkup. Batu bata tersebut nampak besar besar.
"Mungkinkah ini batu bata kuno? "tanya Ima.
"Bisa jadi, " ujar Anika sambil mengamati sebuah benda yang berlambang tengkorak.
"Ini bekas apa? " tanya Anika sambil memegang benda tersebut. Sedangkan tangan kirinya memang botol kecil lainnya.
Semua anak remaja yang duduk di bangku kuliah itu memandangku. Tentu melihat benda semacam itu adalah hal asing. Karena pada masa kecilnya tidak aktif lagi upacara tradisional memakai benda semacam itu.
"Yang gambar tengkorak ini adalah bekas candu. Candu merupakan alat upacara untuk di bakar dan berakibat aroma wangi menyengat di lokasi pembakaran, " jawabku.
"Yang ini? " tanya Anika kembali.
"Itu botol kecil orang menamakan gelak. Isinya biasanya badeg ketan. Itu juga alat sarana upacara tradisional. Biasanya untuk sesali, " jawabku.
"oooo, begitu," jawab mereka serempak.
Aku mengangguk. Anika kembali meletakkan benda benda tersebut pada lokasi dia mengambilnya.
Aku lantas mengajak mereka untuk keluar dari area perdarahan, di mana situs candi itu berada. Mereka mengikuti ajaranku. Lantas kami mengambil sepeda motor untuk kami Kendarai keluar dari area situs candi berada.
Setelah kami sampai di jalan raya desa, kami mengajak mereka untuk kesebuah tempat. Di lokasi pinggir selokan desa ada sebuah batu yang panjang dengan bentuk tak beraturan. Batu itu telah tertutup rumput yang menjalar.
Aku keluarkan sabit dari dalam tas ranselku untuk menyibak rumput rumput tersebut. Pras dan Hengki mematahkan danan kecil untuk membantuku membersihkan lokasi di pinggir parit.
"Ini batu lumpang lama. Bentuk pinggirnya tak beraturan, yang menjadi identitas lama keberadaannya. Teknologi yang mereka kenal pada saat itu belum menjangkau pada teknologi batu lumpang yang rapi semacam sekarang, " kataku.
"Sebetulnya benda semacam ini untuk apa, Kak, " tanya Hengki.
"Kurang jelas, kepastiannya. Selain untuk penumbuk, bisa saja batu lumpang sebagai sarana pemujaan untuk kesuburan," jawabku.
Beberapa saat mereka aku ajak mencari sebaran benda kuno lain bila ada di tempat tersebut. Akan tetapi kami tak menemukan.
Anika kemudian mencatat beberapa bentuk temuan benda yang kami dapatkan di lokasi tersebut.
*****
Waktu telah beranjak siang. kemudian kami mengajak mereka untuk meninggalkan lokasi di mana situs Candi yang berada di Desa Candi Kecamatan Marak itu. Tapi aku masih ingin mengenakan benda benda yang berbusana kuno lainnya. Kami tidak melalui jalur yang kami lewati tadi.
Namun kami mengajak mereka untuk melewati jalan raya Mlarak. Sebelum sampai penempatan Jabung kami belokan motor pada sebuah masjid. Di Depan masjid tersebut nampak sebuah benda kuno yang di tumpuk.
"Kita istirahat, Solat dan diskusi di sini, " kataku.
"Siap, " jawab mereka singkat.
Anika kemudian mengeluarkan perbekalannya yang ada mereka beli di pasar Siwalan. Yakni air mineral dalam botol dan beberapa makanan ringan lainnya.
Setelah kami minum maka kamu menjelaskan tentang benda benda yang ada di depan Masjid.
"Yang bawah ini kelihatannya yoni sedang yang atas ini seperti kemuncak candi," terangku.
Mereka semua mengamati keberadaan objek di depan masjid.
"Batunya seperti batu andesit. Sayang sekali tertutup cat, " gumam Pras, kalimatnya seolah ditujukan pada dirinya sendiri. Meski demikian dalam ia bergumam dengan suara yang lirih tapi masih terdengar.
"Karena masyarakat mengira dengan demikian terasa akan jadi indah, " ujar Ima, dan kami mengatakan.
Tak lama kami mengamati benda yang kami duga sebagai bentuk peninggalan bersejarah. Kami kembali keempat duduk masing masing.
"Kalau kita mengetahui yang seperti ini, maka kita mengerti bahwa di Ponorogo dahulu juga tidak sedikit ada lokasi peribadatan, " kataku.
"Benar, bahkan aku mengerti juga. tentang keberadaan perjalanan peradaban yang ada di kota ini, " terang Ima.
"Selain itu kita bisa menerima bahwa peradaban di Ponorogo hingga semacam ini tentu merikan proses panjang, " kesan Hengki.
"Ponorogo, sebuah kota yang kita pahami sebagai bagian dari Mataram Kuno sebelum menjadi Kerajaan Wengker. Nah untuk kerajaan Wengker sendiri kapan kita telusuri keberadaannya?" tanya Anika.
Aku menatap kepada mereka semua. Aku memahami Anika yang harus bolak balik Surabaya. Maka ia ingin segera mengerti tentang kerajaan Wengker.
"Kapan kita mulai menelusuri Taji. Dari Taji semoga kita bisa menemukan keberadaan Wengker sebagai kerajaan, " ujarku.
"Besok, " Jawab mereka serempak.
Aku tersenyum.
*****
mari terus saling mendukung untuk seterusnya 😚🤭🙏
pelan pelan aku baca lagi nanti untuk mengerti dan pahami. 👍
bantu support karyaku juga yuk🐳
mari terus saling mendukung untuk kedepannya