[ARC 1] Demallus-Hellixios-Rivenzha
Seorang perempuan terbangun di dunia lain dengan tubuh orang asing. Tak cukup dengan tak mengingat kehidupannya di masa lalu, sejak ia datang ke dunia itu, situasinya kacau.
Di kehidupan itu, nyawanya juga akan hilang hanya dengan satu kata dari seorang raja atau kaisar.
Namun, ia menemukan berbagai hal luar biasa dalam perjalanan, seperti makhluk sihir, teman seperjalanan yang menarik, dan alasan sekecil apa pun untuk bertahan hidup.
Meski tak terlalu dihargai, ia juga tak begitu peduli. Tapi kegelapan tak diketahui perlahan memanggilnya. Seolah memaksa melukai orang-orang yang mulai ia anggap berharga.
"Jika Anda menimbulkan kekacauan dan pergi ke jalan kegelapan di masa depan. Apa Anda bersedia membunuh diri Anda sendiri?"
Akankah kematian menjadi satu-satunya hal yang menunggunya lagi?
Give Me a Clue: Why Should I Stay Alive?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18. Umpan
Kaltaz bergerak, berlari, melewati celah, dan melompat dengan gesit. Sementara itu, Aesel dalam pangkuannya melingkarkan tangan ke leher lelaki itu dan memeluknya seerat mungkin. Ia memejamkan mata karena hembusan angin kencang menerpanya membuat ia bahkan hampir tak bisa melihat jalan yang dilewati Kaltaz saking cepatnya lelaki itu. Namun, ia tak merasakan dingin angin, malah sesuatu yang hangat, persis seperti saat beberapa kali ia mendapatkan penanganan dengan sihir.
Aesel tak tahu apakah mereka masih dikejar. Jika mereka berpencar seharusnya hanya ada salah satu atau sebagian yang dikejar kan?
Pelarian itu rasanya tak berlangsung lama, ia bisa merasakan Kaltaz mulai mengurangi kecepatan. Lalu setelah beberapa saat, lelaki itu berhenti.
Saat Aesel membuka mata, mereka sudah ada di tempat yang berbeda. Raut gadis itu berubah menjadi penuh kagum dengan pemandangan yang bisa dilihatnya.
Kaltaz menurunkan Aesel dari pangkuannya. Gadis itu menatap danau yang airnya berkilau serta memantulkan cahaya bulan. Ia sudah sepenuhnya terkesima. Lalu jauh di depan, ada tangga yang sangat besar dan setiap anak tangganya begitu tinggi. Aesel pikir setiap anak tangga tingginya sekitar 10 meter, masih ada banyak anak tangga yang membuatnya menengadah mencoba menerka sampai mana tangga itu, saking besar dan tingginya sampai ia tak bisa melihat puncaknya. Di samping-samping tangga itu ada pepohonan yang juga begitu besar dan rindang. Sementara tangganya dialiri air yang tampak tak begitu deras.
"Tempat apa ini?" tanya Aesel masih sambil memperhatikan sekitar.
"Kita sudah berada di luar hutan roh. Tangga di depan bernama mata air tapak raksasa, setelah melewati itu, kita akan memasuki wilayah utama Rivenzha," ucap Kaltaz.
"Sekarang berarti kita hanya perlu menunggu yang lain," ucap Aesel.
Kaltaz diam sesaat, tampak ragu tapi ia tetap harus memberitahu Aesel.
"Kita akan melanjutkan perjalanan berdua."
Kening Aesel mengernyit. "Bagaimana dengan yang lain?"
"Sebenarnya saya tidak yakin mereka akan selamat keluar dari hutan roh. Entah itu sampai di titik ini, atau kembali ke Hellixios."
"Apa maksud Anda?"
"Kemungkinan besar mereka selamat dari sana sangat kecil. Ada hal yang belum saya beritahu, karena Nightmare Walker melepaskan mangsanya setelah mendapatkan ingatan mereka, saat petualang hilang ingatan, mereka jadi rentan terhadap serangan dan menjadi mangsa monster lain. Maka dari itu, di sisi Nightmare Walker sudah pasti banyak monster lain yang menunggu, agar mereka bisa menyantap tubuh mangsa monster itu. Saat ini prioritas kita adalah sampai di Rivenzha. Bagaimanapun, Nightmare walker tidak akan mudah dikalahkan."
Aesel terdiam, ia tampak syok. "Apa mereka akan mati?" tanyanya.
"Ya."
"Kalau begitu bukankah kita harus menolong mereka?"
Kaltaz menggeleng. "Kita harus melanjutkan perjalanan."
Perempuan itu menatap Kaltaz tak percaya. "Bukankah mereka rekan seperjalanan? Ini bahkan belum sampai ke tempat utama. Bagaimana bisa kita meninggalkan mereka?"
"Saya tak ingin mengatakan ini, tapi Anda mungkin perlu tahu ..., itulah tugas mereka dalam perjalanan ini, agar bisa mengalihkan bahaya dan kita melanjutkan perjalanan."
"Apakah mereka semacam umpan?"
"Ya," jawab Kaltaz tanpa keraguan sedikit pun.
"Tidak mungkin. Apakah saya harus selalu kabur dan mengorbankan nyawa setiap orang untuk itu?"
"Apakah Anda memiliki kekuatan untuk melawan monster? Anda bahkan hilang ingatan. Lalu, Anda tidak tahu apa-apa soal mereka."
"Saya memang bukan orang yang peduli akan nasib orang lain yang baru saya kenal. Tapi bagaimanapun, ini terlalu kejam. Bagaimana seseorang berangkat menjalankan misi hanya untuk mati?"
"Akan saya katakan, dari awal, para petualang itu adalah umpan. Mereka yang juga menerima misi sadar akan tingkat bahaya. Tolong jangan lupakan tujuan perjalanan ini."
"Apa maksud Anda?" Kening Aesel mengernyit.
"Mereka memang akan segera dipanggil untuk hukuman mati karena beberapa kejahatan. Jadi cepat atau lambat, kematian itu akan menunggu mereka. Sebelum mengkhawatirkan seseorang, sebaiknya Anda mengkhawatirkan diri sendiri dan mendapatkan ingatan Anda kembali."
"Tunggu ..., kejahatan apa?"
"Ada yang terlibat dalam perbudakan ilegal, pencurian barang langka, percobaan terlarang pada makhluk hidup, dan pembantaian satu desa."
Aesel kembali terdiam, setidaknya di antara kasus itu ia bisa menebak masing-masing dalangnya. Tapi ia sungguh tak percaya, mereka tak terlihat akan melakukan kejahatan serius ..., kecuali mungkin Alaster yang memang tak bersahabat dari awal.
"Tapi bukan berarti mereka boleh mati di sini kan?"
Kaltaz menghela napas berat.
"Bagi seorang petualang, akan lebih baik mati saat menjalankan misi daripada dihukum mati di depan banyak orang. Mereka semua adalah petualang yang sebentar lagi akan diumumkan sebagai kriminal."
"Namun ..., apa mereka tahu mereka akan mati di sini?"
"Tidak sepenuhnya. Mungkin saja jika mereka mereka memiliki firasat yang bagus. Kalau pun mereka selamat sampai Rivenzha, mereka akan ditangkap di sana. Nightmare Walker menjadi variabel penting di sini, saya juga tak tahu kita semua akan bertemu monster itu."
Aesel menunduk, ia terlihat belum bisa menerima semua. Bahwa saat ia kabur, orang-orang yang bersamanya mungkin sedang mempertaruhkan hidup dan mati. Rasanya deja vu.
Sementara itu, Kaltaz mengernyit samar sesaat. Menatap suatu kabut hitam samar di balik gadis itu yang kemudian menghilang.
Entah sejak kapan, ia tahu ..., ada sosok yang diam-diam mengikuti Aesel.
Itu pertama kali ia sadari di hutan roh, saat gadis itu nyaris celaka mengikuti suara seseorang yang katanya memanggilnya.
Kaltaz mempertimbangkan mungkin untuk saat ini selama ia belum yakin apa itu, ia tak perlu membahasnya. Selama sosok yang kadang ada kadang tidak itu tak mencelakai fisik mereka, ia hanya akan memperhatikan.
"Mari lanjut." Kaltaz menarik tangan gadis itu karena ia pikir Aesel tak akan mau melangkah, mereka berhenti sampai di tepi danau.
Ia merapalkan sesuatu, "Makhluk agung yang suci, anak tercinta para dewa, penjaga bumi pertiwi, memanggil roh naga penghuni air, yang akan memberi berkat pada keturunannya," ucap Kaltaz.
Air yang semula tenang menjadi beriak, lalu dari dalam air terlihat cahaya, air naik dan meninggi memperlihatkan suatu makhluk yang kurang lebih besarnya sama dengan Kaltaz. Ia mirip seperti naga dengan tubuh panjang bersisik yang tak memiliki sayap.
Air yang membawa makluk itu perlahan mendekat, bersentuhan dengan telapak tangan Kaltaz yang terulur sampai kembali turun, danau menjadi normal kembali. Aesel yang melihatnya menjadi merinding.
Kaltaz melangkah di atas air, lalu muncul lingkaran sihir besar saat ia menapak di permukaan air itu. Terdapat huruf-huruf kuno dan pola rumit dalam lingkaran sihir.
Meski ragu, Aesel ikut melangkah. Ia dapat berdiri di atas air berkat pola sihir itu.
"Sebaiknya kita melangkah bersamaan," ucap Kaltaz.
salut sihhhh...🤩