Aruna Nareswari, seorang wanita cantik yang hidup sebatang kara, karena seluruh keluarganya telah meninggal dunia. Ia menikah dengan seorang CEO muda bernama Narendra Mahardika, atau lebih sering dipanggil Naren.
Keduanya bertemu ketika tengah berada di tempat pemakaman umum yang sama. Lalu seiring berjalannya waktu, mereka berdua saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah.
Mereka berharap jika rumah tangganya akan harmonis tanpa gangguan dari orang lain. Namun semua itu hanyalah angan-angan semata. Pasalnya setiap pernikahan pasti akan ada rintangannya tersendiri, seperti pernikahan mereka yang tidak mendapatkan restu dari ibu tiri Naren yang bernama Maya.
Akankah Aruna mampu bertahan dengan semua sikap dari Maya? Atau ia akhirnya memilih menyerah dan meninggalkan Narendra?
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca ya, terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon relisya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
"Nggak papa sih ma, cuma kita memang ada janjian buat ketemu aja," jawab Diandra sembari melirik sang mama.
"Kak berhenti di depan aja, gue mau naik taksi!" sambung Diandra.
"Nggak mau kita anterin aja?" tawar Haikal.
"Nggak usah kak, tempatnya dekat." Tolak Diandra dengan cepat.
Setelah mendengarkan penolakan tersebut, Haikal segera menepikan mobilnya. Dan setelah mobil menepi, Diandra pun bersiap untuk keluar.
"Nanti malam ajak Galang makan malam di rumah Di, udah lama mama nggak ngobrol sama dia," pinta Maya sebelum sang anak membuka pintu mobil.
"Iya ma, nanti aku ajak dia ke rumah," jawab Diandra dengan tersenyum.
"Yaudah, kamu hati-hati ya," ujar Maya.
"Pasti ma,"
"Kalo nggak ada taksi nanti lo telfon kita aja Di, biar kita putar balik dan anterin lo," ungkap Haikal sebelum gadis itu turun.
"Iya kak, lo tenang aja," jawab Diandra seraya membuka pintu mobil.
"Oke."
Akhirnya Diandra pun turun dari dalam mobil tersebut, lalu setelah ia menutup pintunya, Haikal kembali melajukan mobil itu menuju ke tempat tujuan awal.
Sedangkan Diandra sangat beruntung, karena setelah kepergian Maya dan Haikal, langsung ada taksi yang melintas, "Taksi!"
Taksi tersebut pun berhenti, dan Narendra bergegas masuk ke dalamnya. Setelah menyebutkan tempat tujuan, supir taksi pun segera melajukan mobilnya menuju ke bandara yang ada di kota itu.
.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, akhirnya mobil Maya sudah berhenti tepat di depan butik milik Aruna. Butik tersebut terlihat cukup ramai pembeli, dan rata-rata pembelinya dari kalangan atas.
Ketika memasuki butik, Maya dan Haikal sama-sama celingukan untuk mencari keberadaan Aruna. Namun, mereka berdua tidak menemukannya, hanya ada dua karyawan Aruna saja, dan Kania yang sedang sibuk menghitung jumlah belanjaan para pembeli.
Tanpa mempedulikan pembeli yang ingin membayar belanjaannya, Maya langsung menerobosnya begitu saja, "Aruna mana?"
Seketika itu juga Kania langsung mengangkat pandangannya, ia tersenyum manis ketika melihat siapa yang ada di hadapannya, "Aruna sedang sibuk di ruangannya tante."
Tanpa mengucapkan terima kasih atau yang lainnya, Maya yang sudah mengetahui letak ruangan Aruna langsung berjalan ke sana, dengan diikuti Haikal yang setia berjalan di belakangnya.
Bahkan mereka berdua langsung membuka dan masuk begitu saja ke ruangan tersebut, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Ck! Dasar nggak punya sopan santun," gumam Kania yang tidak suka dengan sikap ibu mertua dari sahabatnya itu.
"Kenapa?" lontar seorang pelanggan yang berdiri di depan Kania.
"Ehh... Bukan anda yang saya maksud, anda salah paham," ucap Kania dengan tersenyum kikuk.
"Oh gitu,"
"Iya, maafkan saya ya," ucap Kania.
"Iya nggak papa."
Akhirnya pembeli tersebut diam, lalu mengambil uang dari dalam dompetnya untuk membayar barang belanjaannya.
.
Di dalam ruangannya, Aruna sedang sibuk membuat beberapa desain pesanan dari pelanggannya. Bahkan saking sibuknya ia tidak terlalu memperhatikan ketika ada yang masuk ke dalam ruangannya.
"Ruangan kamu panas juga ya Na." Lontar Maya sembari mengipas-ngipaskan tangannya tepat di hadapan wajahnya, lalu ia berjalan menuju ke sofa yang ada di sana, dan langsung duduk begitu saja.
Aruna yang terkejut pun tak sengaja mencoret gambarnya yang hampir jadi. Dia menarik napasnya dalam, lalu membuangnya perlahan. Tercoret sedikit, berarti ia harus mengulanginya lagi dari awal.
Sebenarnya bisa saja Aruna menghapus coretan tersebut, namun pasti hasinya akan sedikit tidak rapi, dan ia tidak mau membuat pelanggannya kecewa.
"Iya, baru masuk aja udah gerah banget," sahut Haikal yang mengikuti Maya.
"Kok lo betah banget sih Na di ruangan sempit seperti ini?" sambungnya lagi, sembari menatap lekat wanita itu.
Aruna berdiri dari duduknya, lalu ikut duduk di sofa yang berada tepat di hadapan sang mertua dengan senyuman manisnya, "Kenapa mama nggak ketuk pintu dulu?"
Maya langsung melipat kedua tangannya di depan dada, lalu membuang wajahnya dengan tersenyum sinis, "Berani sekali kamu bicara seperti itu sama mertua kamu sendiri!"
Aruna menghela napasnya dalam, harus ekstra sabar ketika berhadapan dengan mertuanya itu, "Maksudku bukan begitu ma, tapi aku sedang bekerja di sini,"
"Mama juga tau kalo kamu kerja! Kamu pikir mama buta apa!" ketus Maya.
"Udah tante, jangan marah lagi. Pasti Aruna nggak bermaksud gitu, tante salah paham aja," ujar Haikal yang membela Aruna.
"Ck! Jelas-jelas dia suruh mertuanya sendiri ketuk pintu kalo mau masuk! Tante ini mertuanya sendiri Kal! Bukan orang lain!" cerocos Maya tanpa henti.
"Udah ma, maafin Aruna. Harusnya Aruna nggak berkata seperti itu," ucapnya yang memilih untuk mengalah.
"Hmm..." Maya hanya berdeham saja, lalu ia mengode Haikal dengan kedipan mata, agar pria tersebut mengajak Aruna mengobrol.
Haikal yang menyadarinya pun langsung menatap Aruna, "Na, nggak ada pekerjaan di butik lo gitu? Biar gue nggak nganggur lagi,"
"Maaf Kal, tapi di sini tidak ada pekerjaan yang cocok untuk lo," ucap Aruna sehalus mungkin, agar tidak membuat Haikal sakit hati.
Haikal menghembuskan napasnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, "Tahun sekarang cari pekerjaan susah banget ya? Bisa-bisa Narendra beneran usir gue."
Aruna yang tidak tau harus menjawab apa hanya menunjukkan senyumannya. Ia takut jika salah berkata, dan nanti berujung pada kesalahpahaman.
"Mana mungkin di butik sekecil ini ada pekerjaan buat kamu Kal. Kalo mau cari pekerjaan ya di tempat yang besar, bukan butik kecil seperti ini," cetus Maya yang mulai lagi.
"Walaupun butik aku kecil, setidaknya nyaman untuk ditempati ma," jawab Aruna yang selalu bisa sabar.
"Nyaman apanya?! Orang panas gini dibilang nyaman!" seru Maya tak mau kalah.
"Kalo mama nggak betah, kenapa mama nggak pulang aja?" lontar Aruna sedikit mulai kesal.
Maya yang mendengarnya langsung menatap Aruna dengan tatapan tajam, "Jadi kamu ngusir mama?! Iya?!"
"Nggak ma bukan begitu, Aruna nggak mau mama kepanasan berada di sini," ucap Aruna membela diri.
"Halah alasan! Bilang aja kamu emang usir mama! Dasar menantu nggak tau diri!" seru Maya semakin menjadi.
"Maafkan Aruna ma," hanya itu yang bisa ia ucapkan.
"Udah tante, jangan gitu lagi. Niat Aruna itu baik, dia nggak mau melihat tante kelelahan berada di sini," ucap Haikal yang lagi-lagi mencari muka di hadapan Aruna.
"Tante cuma duduk Kal! Nggak mungkin kelelahan!" seru Maya.