menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Suara berisik dari mesin gilingan daging dan blender membuatku terbangun. "Ya Allah, berisik banget! Biasanya juga pagi-pagi," gerutuku dengan kesal. Kulihat jam, masih pukul dua pagi. Rasa penasaran mendorongku keluar dari kamar.
Dari balik pintu, kulihat ayahku berdiri di dapur, tangannya sibuk memotong sesuatu.
"Ayah, ngapain jam segini belum tidur? Emang gak bisa besok aja persiapannya? Terus, ibu mana?" tanyaku sambil mendekat.
"Eh, sayang, kebangun, ya? Maaf, Ayah mesti nyiapin untuk besok. Ada pesanan 350 porsi, jadi harus mulai dari sekarang. Ibu di kamar, Ayah suruh istirahat," jawabnya santai.
"350? Banyak banget! Pesanan dari mana sebanyak itu, Yah?" tanyaku lagi.
Ayah hanya tersenyum, fokus pada pekerjaannya. Sesekali ia menuju mesin penggiling, lalu kembali ke dapur. Karena bingung harus ngapain, aku hanya duduk memperhatikan.
Rasa kantuk kembali menyerang, jadi aku kembali ke kamar. Saat hendak masuk, ayah berkata, "Sayang, tidurnya di kamar ibu aja ya biar gak keberisikan, gak apa-apa kan?" Aku mengangguk, lalu berjalan menuju kamar ibu.
Kubuka pintu, dan kulihat ibu baru selesai salat. Ia tersenyum lembut padaku. "Sini sayang, tidur sama ibu. Maafin ayahmu, ya."
"Gak apa-apa kok, Bu. Nura ngerti," jawabku datar. Aku merebahkan diri dan tertidur seketika.
Pagi harinya, ibu membangunkanku. "Sayang, bangun, udah jam tujuh. Kamu ada kelas kan?" katanya lembut.
"Hhh... masih ngantuk," gumamku sambil menggosok mata. Aku bangkit dan keluar dari kamar ibu. Saat hendak kembali ke kamarku, kulihat ayah masih sibuk di dapur.
"Ayah masih belum selesai? Istirahat dulu, nanti sakit loh," sapaku.
"Iya, habis ini Ayah istirahat. Kamu mau kelas, ya? Perginya sama ibu dulu aja, gak apa-apa kan?" tanya ayah.
"Iya, tapi boleh gak Nura berangkat sendiri?" tanyaku ragu-ragu.
"Kamu mau berangkat sendiri?" Ayah memastikan.
"Iya, Yah, boleh kan?"
"Ya sudah, hati-hati ya. Terus, pulangnya gimana? Mau Ayah jemput atau pulang sendiri?" tanyanya lagi.
"Ah, nanti aja, Yah. Nura kabarin Ayah kalau udah selesai. Sekarang Nura siap-siap dulu ya," jawabku sambil berjalan menuju kamar.
Aku bersiap mandi dan setelahnya keluar dari kamar. "Bu, Nura berangkat dulu ya," pamitku.
"Kamu gak sarapan dulu?" tanya ibu lembut.
"Enggak, Bu. Nanti aja di kampus. Udah telat. Assalamualaikum." Aku mencium tangan ibu sebelum berangkat.
Hari itu adalah pertama kalinya aku pergi sendirian. Rasanya aneh, bukannya senang, malah bingung seperti burung lepas dari sangkarnya. Aku berjalan ke jalan raya, mencari angkutan umum menuju kampus. Di dalam angkot, perasaan aneh tak kunjung hilang. Tiba-tiba saja air mata mengalir tanpa sebab yang jelas. Segera kuusap air mataku dan menarik napas panjang.
Sesampainya di dekat kampus, aku berjalan kaki menuju gerbang. Beberapa meter berjalan, terdengar teriakan Mira dari kejauhan, "Nura! Sini!"
Aku mempercepat langkahku. "Mira, kok kamu kuliah? Gimana ibumu?" tanyaku sambil memeluknya.
"Iya, ibu nyuruh aku fokus kuliah. Alhamdulillah ibu udah baikan, sekarang di rumah. Sesekali kontrol aja," jawabnya panjang lebar. "Oh iya, kenalin, ini Diana." Mira memperkenalkan teman barunya.
"Nura," sapaku sambil berjabat tangan dengan Diana.
"Diana," balasnya sambil tersenyum.
"Eh, Mir, jadi kan nginep di rumah aku?" tanyaku pada Mira.
"Maaf, Ra, kayaknya enggak deh. Aku ngekos aja, gak enak juga sama orang tuamu," jawabnya dengan wajah sayu.
"Ih, kok gitu sih? Kan udah janji mau tinggal bareng," balasku sedikit kesal.
"Maafin ya. Tapi tenang, Diana ngekos di tempat yang sama kok, jadi kamu gak akan kesepian," jawabnya sambil menggenggam tanganku.
"Iya deh, dimaafin. Yuk masuk, kita udah telat," ajakku. Kami pun berjalan bersama menuju kelas.
Setelah kelas selesai, aku berniat pulang. Hari itu panas sekali, bikin gerah. Saat keluar dari kampus, Mira menghampiriku. "Ra, mau ke mana?"
"Mau pulang, lengket banget nih, pengen mandi," jawabku.
"Yah, jangan pulang dong. Temenin aku di kosan. Nanti aja pulangnya," rengeknya.
"Iya sih, aku juga udah dibebasin sama Ayah. Yaudah deh, yuk," jawabku sambil tersenyum.
"Nah, gitu dong. Makasih ya, Ra," ucap Mira sambil memelukku.
"Diana mana? Kok nggak bareng?" tanyaku sambil melihat sekeliling.
"Dia pulang duluan. Yuk, kita pergi," Mira menjawab sambil menarik tanganku.
Akhirnya, kami pergi ke kosan Mira. Sesampainya di sana, aku melihat sebuah motor terparkir di depan kamar, dua kamar dari tempat tinggal Mira. Penasaran, aku bertanya, "Mir, motor siapa itu? Kok baru lihat?"
"Oh, itu motornya Diana. Udah, masuk yuk, gerah banget," jawab Mira sambil membuka pintu kamar.
"Keren banget! Kapan ya aku punya motor kayak gitu?" gumamku dalam hati sambil mengagumi motor sport tersebut.
Aku pun masuk mengikuti Mira. "Mir, aku numpang mandi ya," ucapku sambil menaruh tas di kasurnya.
"Iya, sok aja. Aku nanti aja mandinya," jawab Mira yang sudah rebahan di kasur.
Aku pun mandi. Setelah selesai, aku keluar mengenakan short pants dan crop top, dengan rambut yang masih terlilit handuk. Karena hanya ada Mira, aku tidak merasa risih. Dia sudah sering melihatku berpakaian seperti itu setiap kali aku main ke kosannya. Sambil menunggu kemejaku kering, aku ikut tiduran bersama Mira.
"Ra, punya kamu besar juga ya? Bulat lagi, nggak kayak punyaku. Gimana sih caranya biar nggak turun?" tanya Mira polos sambil melirik dadaku.
"Apaan sih? Nggak jelas. Ya nggak gimana-gimana. Itu kamu sendiri kenapa sampai turun begitu?" jawabku balik bertanya.
"Si Rehan brengsek. Gara-gara dia nih jadi kayak gini. Kesel deh," balas Mira sambil mengubah posisinya duduk.
Dengan polos aku bertanya, "Hah? Kok nyalahin Rehan? Emang diapain sama dia?"
Mira tiba-tiba meremas dadaku sambil berkata, "Digini-gini nih, kesel kan?" ucapnya cuek.
Refleks, aku langsung berteriak, "Aduh! Ih, apaan sih!" ucapku sembari menepis tangannya.
"Enak nggak, Ra?" tanya Mira dengan nada menggoda.
"ENGGAK!" jawabku kesal. Mira hanya tertawa melihat ekspresiku.
"Ra, kamu pernah 'kiw-kiw' belum?" tanya Mira sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Astagfirullah, belum lah! Dosa tahu," jawabku.
"Hmm, baguslah kalau belum. Jujur, kadang kalau dipikir-pikir, di balik nikmatnya, aku suka nyesel sendiri," ucapnya pelan.
Sontak, aku kaget mendengar ucapannya. Rasa penasaran membuatku bertanya lagi, "Bentar, kamu udah pernah?"
"Kalau pacaran ya pasti lah, itu kan biar langgeng. Enak tau, geli-geli gimana gitu. Tapi ya jangan deh, nanti nyesel," jawabnya santai.
Larangan Mira seakan memancing rasa penasaran dalam diriku. Ceritanya, ditambah dengan larangan-larangannya, membuatku kesal. "Apaan sih, Mir? Aku udah gede, ayahku juga udah ngasih kebebasan. Jadi, aku boleh ngapain aja sesuai keinginan aku. Udah ah, aku mau tidur bentar, capek," ucapku.
Mira hanya tersenyum mendengar jawabanku. Entah apa yang merasuki pikirannya, dengan pelan Mira berkata, "Ra, mau tahu nggak rasanya?" ucapnya pelan.
Aku terdiam, tak merespons.
Melihat aku yang diam saja, Mira berpikir aku tidak menolak. Perlahan, dia tiduran di sampingku. Tangan kanannya merangkulku, lalu masuk ke balik crop top-ku. Perlahan, dia mulai memutar-mutar putingku. "Ssst... Aww," rintihku pelan.
Mira berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi. Tangannya berpindah dari dada kiri ke dada kananku, dari sekadar memutar hingga meremasnya. Lidahnya juga ikut bermain, seolah-olah dia seorang bayi yang sedang menyusu. Rasa aneh mulai menjalari tubuhku—geli, panas, dan debaran di dada. Hingga akhirnya, aku merasa ada cairan yang ingin keluar. "Mir, aku pengen pipis," ucapku polos.
Bukannya membiarkanku pergi, Mira malah menanggalkan celanaku dan mulai menjilati bagian bawahku. Gerakannya yang penuh nafsu membuat tubuhku bergetar, sampai akhirnya, kedua pahaku merapat, menjepit kepala Mira. Tak lama kemudian, cairan itu menyembur keluar, membasahi wajahnya. Lemas aku dibuatnya. Dan itulah pertama kalinya aku tahu apa itu orgasme. Sejak saat itu, aku berubah drastis.