⚠️WAJIB FOLLOW SEBELUM BACA⚠️
Pernikahan yang tidak didasari oleh rasa cinta memang sangat sulit untuk dijalani. Apalagi dengan seorang yang sudah dianggap sebagai musuh sendiri. Seperti itulah kisah Cassie dan Gavino. Dua orang yang harus terjebak dalam status suami-istri karena perjanjian keluarga mereka. Mampukah mereka mewujudkan pernikahan yang bahagia?
Cassie hanya ingin mengukir kebahagiaan nya.Namun apakah ia bisa di tengah kehidupan yang begitu kejam? Bisakan ia bertahan dengan Gavino Zachary Bramasta?
Start: 8 Juli 2024
End:
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heninganmalam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 - Pregnant?
“Cas...Cas...”
Gavino kembali memanggil-manggil nama Cassie setelah pria itu bangun. Cassie hanya dapat menghembuskan napasnya. Baru saja ia bisa bernapas lega karena Gavino tertidur tetapi pria itu kembali bangun dan mencarinya. Untung saja ia sempat membersihkan diri dengan cepat.
“Cas...”
“Iya... iya gue di sini,” ucap Cassie mendatangi Gavino. “Kenapa? Ada yang sakit lagi?”
Dengan lemah pria itu mengangguk, “Pala gue pusing banget,” lirihnya seraya memeluk Cassie untuk yang kedua kalinya.
Dibalik sifat kasar Gavino nyatanya tersembunyi sikap manja yang akan keluar ketika pria itu sakit. Cassie baru mengetahui hal itu.
Sebenarnya jika diingat perlakuan Gavino kepadanya sangat malas bagi Cassie untuk merawat pria itu. Namun bagaimanapun juga Gavino adalah suaminya dan Cassie tak tega membiarkan suaminya sakit seperti ini.
Wanita itu mengelus punggung Gavino pelan, “Gue panggilin dokter Ashley aja ya biar lo diperiksa,” tawarnya yang langsung ditanggapi oleh gelengan dari Gavino.
Memanggil Ashley bisa saja Gavino lakukan sejak tadi jika dirinya mau namun ia sama sekali tak mau diperiksa oleh dokter manapun termasuk sepupunya. Ia tak ingin dokter menyuntiknya setelah melakukan pemeriksaan.
“Tapi kan lo harus diperiksa, Gav... lo mau sakit gini terus?”
“Gue takut disuntik,” ungkap Gavino membuat Cassie membelalakkan matanya.
“Lo takut jarum suntik?” tanya Cassie tak percaya.
Ternyata selain manja, pria itu juga memiliki phobia terhadap jarum suntik. Sekuat mungkin Cassie mencoba untuk menahan tawanya.
Lelaki itu semakin memanyunkan bibirnya kesal melihat raut wajah istrinya, “Semua orang berhak takut,” sungutnya sebelum merajuk dan membelakangi Cassie.
“Iya... iya. Ya udah gue telponin ya. Nanti gue yang bilang biar nggak usah disuntik daripada lo sakit gini terus. Kalau lo tetep ga mau gue juga nggak mau lah ngerawat lo, males gue mah ngerawat orang yang nggak mau sembuh.”
Ancaman Cassie pada akhirnya berhasil mengalahkan ego Gavino. Pria itu akhirnya mau diperiksa oleh Ashley yang datang beberapa menit setelah Cassie menelponnya.
Dengan peralatan tempurnya Ashley melakukan beberapa pemeriksaan pada Gavino.
“Cas,” panggil Ashley.
“Iya dok?”
“Lo nggak ngerasain sesuatu? Mual, pusing atau tiba-tiba nggak suka sesuatu atau sebaliknya gitu?”
Sejenak Cassie terdiam dan berpikir. Sampai saat ini ia tak merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Ia juga tak mual ataupun pusing bahkan napsu makannya bertambah setelah bertemu kembali dengan Nathalie. Justru Gavino sepertinya yang merasakan itu semua.
Cassie menggeleng, “Nggak dok. Aku nggak ngerasain apapun. Malah Gavin tuh kayaknya yang kualat makanya sakit kek gitu.”
Ashley terkekeh mendengar ucapan Cassie, “Lo udah telat berapa minggu?”
“Telat?” beo Cassie tak mengerti maksud Ashley.
“Iya, udah telat haid berapa minggu?”
Benar, Cassie baru sadar jika dirinya belum menstruasi sejak dua bulan yang lalu. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Pikiran Cassie mulai kemana-mana, takut jika hal yang tak ia inginkan terjadi sekarang.
“Dok aku lupa kapan terakhir mens. Kayaknya udah dua bulanan deh. Gimana ini dok?” panik Cassie.
Bukannya menenangkan Cassie sebagai dokter, Ashley malah terkekeh dan berperan menjadi sepupu yang turut senang dengan yang terjadi pada Cassie dan Gavino,
“Congrats, kalian bakal jadi mom and dad. Perkiraan gue usia kandungan Cassie sekitar 8 minggu jadi gue saranin Cassie segera tes dan periksa ke dokter kandungan. Nanti biar gue yang bilang ke Anne.”
“Bang, lo nggak bercanda kan?” tanya Gavino. Ia benar-benar tak suka dengan bercandaan Ashley yang di luar batas itu.
“Iya dok. Dokter nggak bercanda kan? Tapi kenapa aku nggak ada gejala hamil coba. Kan kalau yang aku baca-baca ibu hamil itu bakal terkena morning sickness di awal kehamilan.”
“Nope,” bantah Ashley. “Nggak semua ibu hamil mengalami morning sickness seperti mual, pusing dan napsu makan berkurang. Ada juga yang nggak ngalamin hal itu..."
"Nah dalam kasus kalian ini yang mengalami morning sickness adalah ayah dari calon bayi karena psikis Gavin yang mungkin lagi ada masalah. But, mitosnya kalau morning sickness dialami calon ayah berarti ayah yang lebih mencintai dibanding ibu.”
Penjelasan Ashley sangat mudah untuk dipahami oleh Cassie dan Gavino. Namun keduanya tetap tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka baru melakukan hal itu dua kali tetapi kenapa sudah ada nyawa yang berkembang di rahim Cassie?
Wanita itu memegang perut ratanya dengan tatapan kosong. Ia benar-benar tak dapat membayangkan bagaimana menjadi seorang ibu diusia muda.
Setelah memberikan beberapa obat, Ashley pun pamit hingga tersisa Cassie dan Gavino di kamar itu. Mereka masih bergelut dengan pikirannya masing-masing.
Keduanya masih tak percaya dengan apa yang terjadi kepada mereka. Usia mereka bahkan belum mencapai kepala dua sekarang lalu bagaimana saat anak mereka lahir nanti.
“Cas,” panggil Gavino membuat wanita itu menoleh. “Lo yakin anak itu anak gue?”
“Fuck! Maksud lo gue ngelakuin gituan sama cowok lain?” sewot Cassie tak terima.
“Cuma lo Gavin! Lagian lo nggak inget apa kata dokter Ashley tadi? Lo bapaknya Gavin... Bahkan lo yang mual-mual bukan gue. Masih mau ngelak lo setelah buat gue ngandung anak lo?!”
“Tapi gue lakuin ke lo pertama kali waktu malem pernikahan kita dan itu baru satu bulanan. Belom ada dua bulan Cas. Dan usia kandungan lo tadi katanya 8 bulan kan. Is it possible?”
Oh Tuhan. Cassie sudah tak sanggup lagi menghadapi pola pikir suaminya ini. Bagaimana bisa pria itu masih meragukannya setelah apa yang pria itu rasakan.
“Why you so stupid, Gavin.... Lo nggak pernah baca kalau kehamilan itu dihitung dari terakhir kali gue mens bukan dari pertama kali lo nancepin your fucking dick?!”
Gavino terdiam. Kali ini ia kalah telak dengan istrinya yang jauh lebih mengerti masalah seperti ini. Ia juga tak menyangkal jika dirinyalah pria pertama yang melakukan pergumulan dengan Cassie karena ia telah membuktikannya sendiri.
“Dahlah, gue bakal tes besok kalau emang hasilnya positif dan lo nggak mau tanggung jawab bakal gue gugurin."
“Lo nggak mau punya anak dari gue?”
Bukan Cassie tak mau. Ia tak akan tega membuang nyawa yang ada di rahimnya meskipun anak itu adalah hasil dari benih Gavino. Ia tak memiliki niat sama sekali. Ia hanya asal bicara karena mengira Gavino tak menginginkan anak bersamanya. Tetapi reaksi pria itu berbeda dari yang Cassie bayangkan.
“Lo mau?”
Pria itu terdiam sejenak, “Kalau udah ada ya mau gimana lagi. Masa mau bunuh anak gue sendiri.”
“Oke.”
Hanya itu yang Cassie katakan. Ia memilih untuk mengakhiri perdebatan mereka karena jika diteruskan ia tak tau kapan akan selesai. Dirinya sudah sangat mengantuk sekarang.
Lebih baik memasrahkan semuanya pada Tuhan dan beristirahat sekarang. Cassie tak ingin terlambat ke kampus besok karena ia ada kelas pagi.
Namun sebuah tangan kekar yang melingkar di perut Cassie membuatnya kembali membuka matanya. Baru saja ia akan membalikkan tubuhnya tetapi Gavino dengan cepat menahan pergerakannya.
“Cukup kayak gini aja saat ini. Gue perlu mikirin banyak hal dengan tenang, lo jangan gerak-gerak.”
Pernyataan Gavino membuat Cassie tersenyum kecut, “Lo pasti lagi mikirin gimana hubungan lo sama selingkuhan lo nanti kalau ternyata gue emang beneran ngandung anak lo kan. Lo nggak mau ninggalin dia kan.”
Gavino berdecak, “Kenapa jadi ke situ sih arahnya. Gue nggak mikirin itu.”
“Terus mikirin apa?”
“Mikirin nama anak kita nanti.”
Dekripsi suasana hati, tempat baik nya lebih di perjelas. Jangan hanya menekankan emosi perkarakternya saja.
Ceritanya sebetulnya Menarik, bisa dinikmati. Cuma sayang aja penggambarannya kurang jelas, Dari bab sekian yg udah kubaca, tiap muncul problem selalunya udah segitu aja, gak di perpanjang. Jadi kesannya kaya kurang pas gitu, lebih di olah lagi biar Kita yg baca beneran geregetan. /Pray//Smile/
dekripsi, alur, gaya menulis, sama peran perkarakternya itu bagus lohh.
Kulihat, ini tipikal novel yg alurnya cepat yaa.
Lanjutin Terus semangat /Good//Smile/