Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Kediaman Indy.
Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit ketika mobil yang ditumpangi Handi dan Juni baru saja tiba. Kedua orang itu melangkah masuk tanpa penyambutan, namun pintu terbuka untuk mereka.
Mata Juni merotasi, mencari-cari keberadaan Rio dibelakang Handi.
"Ayo Jun, tunjukkan pada saya dimana kamar Rhinzy."
"Ah iya Mas. Pegang tanganku, kita ke arah sana." Sambil menunjuk salah satu kamar atas.
"Apakah anak susah diatur itu selalu begini? membiarkan pintu rumah tidak terkunci?" Astaga, aku tidak boleh ceroboh dengan memaparkan apa yang aku tahu.
"Dimana para ART nya?" sambungnya.
"Dia menguncinya kalau sudah jam 10 malam Mas. Aku juga bingung, asisten rumah tangganya kenapa tidak memperhatikan hal-hal seperti ini. Rhinzy lagi sakit lho, kalau banyak marabahaya yang masuk gara-gara pintu tidak terkunci, bagaimana? hah dasar ceroboh sekali. Awas saja kalau anakku sampai kenapa-kenapa." Juni cosplay jadi ibu yang sangat peduli hingga berniat memarahi siapa saja yang menyakiti anaknya.
ART? Bi Cucum kan emang pulang kalau sudah malam. Pikir Handi. Dia telan rasa penasaran siapa ART yang dimaksud Juni. Setahu Handi, anaknya tinggal bersama seorang bocah. Dia menyimpulkan anak itu bisa tinggal di rumah ini karena Indy mengadopsinya sebagai pelipur lara kehilangan Ryuga.
"UHUK.. UHUK.."
Indy batuk sengaja menggunakan nada tinggi. Wajahnya sudah dipoles Rio hingga betulan mirip orang yang sedang sakit. Bibirnya pucat, matanya loyo, hidungnya lunglai. Akan tetapi Indy masih sempatnya-sempatnya mengunyah strawberry dengan nikmat sebelum kedua orang tuanya masuk ke kamar.
"Minum kak, Pak Handi sama pelakor sudah naik tangga."
Indy yang sedang sibuk mengunyah langsung minum kemudian merebahkan tubuhnya. Sementara Rio masuk ke tempat persembunyian.
Ceklek.
Indy memejamkan mata pura-pura tidak tahu ada yang datang.
"Rhin, Papah sama Mamah datang jenguk kamu."
"Hng.. ngapain kesini?"
"Kami khawatir sama keadaan kamu nak. Kamu sudah makan belum? kebetulan Mamah bawain kamu sup ayam jahe." Masih Juni yang mengambil alih pembicaraan.
"Gak mau ah, takut diracun." Jawab Indy santai. Handi sudah mengambil ancang-ancang menimpali Indy.
"Rhin, tidak boleh begitu sama Juni. Kamu harus sopan sama orang tua!"
Indy membuka mata lebar-lebar kemudian beringsut mengambil posisi duduk menyandar pada headboard.
"Gak bisa sopan kalau sama dia Pah. Kalau Papah kesini cuma mau ngajarin aku sopan sama dia, mending balik aja."
"RHIN!" sentak Handi. Juni langsung melerai.
"Sudah-sudah. Biar kamu yakin, sup ini aku cicipi sendiri."
"Sekalian aja makin sampe habis. Gue kenyang soalnya."
Juni menghela nafas panjang. Handi mendekati Indy, melupakan hal yang baru saja terjadi. Lelaki itu bertanya kenapa Indy bisa sakit? apa menjaga diri sendiri saja tidak bisa?
"Aku gak sakit! aku bahkan bisa membuatkan kalian minuman. Mari kita ke ruang tamu saja." Indy beranjak bangun, tetapi tangannya dicekal sang ayah.
"Kalau kamu bisa bangun begini, kenapa kamu tidak mengunci pintu depan? ceroboh sekali. Kemana para asisten rumah tangga? ataukah kamu tidak punya?"
"Iya Rhin, kemana Rio? seharusnya dia bertanggungjawab penuh."
"Rio?" alis Indy terangkat.
"Iya, pembantu mu itu kemana?" Juni menegaskan.
"Segala tahu namanya, lo udah kenalan emang? perasaan gue belom bilang apa-apa." Mendengar Indy berkata begitu, Handi memiliki ide memojokkan si istri.
"Kamu tahu tentang dia Jun sampai bisa manggil namanya?'
Juni sedikit panik. Kok jadi dia sih yang terpojokkan.
"Bukan begitu Mas, ini tidak seperti apa yang Mas Han bayangkan. Ceritanya kan aku suka kesini, terus kami tidak sengaja bertemu. Lalu.. "
"Lalu sampai tahu namanya, bahkan saya perhatikan kamu sedang mencari-carinya."
"Mas, bukan begitu maksudnya," suaranya begitu lembut. Juni mengusap-usap lengan Handi, menenangkan laki-laki itu.
"Wah, parah lo udah kongko asyik sama lelaki lain dibelakang suami sendiri." Indy memanas-manasi. Indy sudah memancarkan kode pada sang ayah bahwa dia sudah tahu tentang isi surat miliknya. Entah Handi bisa menangkap atau tidak.
"Ayo ah kita keluar dari kamar ini. Biar yang mau berantem makin leluasa. Sekalian aku mau bikinin minum buat Papah."
"Ayo kita kesana, tapi kamu jangan buatin kami minum Rhin. Biarkan tugas ini dikerjakan ART mu si Rio-Rio itu. Sekalian Papah mau lihat orang seperti apa dia sampai Juni bisa akrab dengannya."
"Mas, tidak begitu. Aku tidak akrab sama dia."
Mereka bertiga keluar dari kamar Indy menuju ruang tengah dengan Handi yang masih mendengus kesal.
...****...
"Rioooo, bikin minum buat tamu saya."
"Baik Nona."
Rio segera pergi ke dapur setelah menampakan batang hidungnya di hadapan orang tua Indy. Sekilas Handi berdecak sebal, memberi tanda kalau Rio tidak selevel dengannya. Lelaki paruh baya itu pun meyakinkan Juni kalau ia betul-betul cemburu dibuatnya. Dengan membuat Juni merasa masih spesial, Juni tidak akan melangkah lebih jauh dan mencium aroma-aroma perlawanan. Perempuan itu lengah karena kecemburuan Handi.
Di dapur, Rio membuat dua minuman berbeda tanpa terlihat mencurigakan. Dia mengaduk rata minuman dalam poci, kemudian membawanya menggunakan nampan dengan salah satu gelas sudah terkontaminasi ramuan. Rio sudah mempersiapkan secara matang bahkan sampai cara ia menaruhnya sudah dia pikirkan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Rio meletakkan poci beserta tiga gelas ke atas meja. Handi dan Juni memperhatikan gerak-geriknya.
"Beracun tidak nih?" Handi menginterupsi.
"Dih, aku nggak pernah berpikiran buat meracuni Papah. Gini aja deh, Rio kamu ambil gelas punya saya."
"Siap Nona."
Satu gelas Rio ambil, "untuk menjamin keamanan." Seru bocah itu sambil menuang sedikit poci ke dalam gelasnya. Dia teguk glek.. glek.. Masih aman-aman saja. Handi dan Juni baru percaya.
"Aman kan?!"
"Yasudah kalau begitu." Sahut Handi. Sedangkan Juni masih terkesima dengan cara Rio meneguk teh tersebut.
Satu per satu Indy menuangkan teh ke dalam dua gelas lainnya. Gelas sudah terkontaminasi Indy berikan kepada Junifer.
Rasakan kau, siap-siap di gulung lalat. Batin Indy puas.
.
.
.
Bersambung.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣