Lama mengasingkan diri di Pulau Kesepian membuat Pendekar Tanpa Nyawa tidak tenang. Sebagai legenda tokoh aliran hitam sakti, membuatnya rindu melakukan kejahatan besar di Tanah Jawi.
Karena itulah dia mengangkat budak perempuannya yang bernama Aninda Serunai sebagai murid dan menjadikannya sakti pilih tanding. Racun Mimpi Buruk yang diberikan kepada Aninda membuatnya tidak akan mengenal kematian. Dia pun diberi gelar Ratu Abadi.
Satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Pendekar Tanpa Nyawa adalah Prabu Dira Pratakarsa Diwana alias Joko Tenang tanpa melalui pertarungan. Karena itulah, target pertama dari kejahatan yang ingin Pendekar Tanpa Nyawa lakukan melalui tangan Aninda adalah menghancurkan Prabu Dira.
Aninda kemudian membangun kekuatan dengan menaklukkan sejumlah pendekar sakti dan menjadikannya anak buah.
Mampukah Aninda Serunai menghadapi Prabu Dira yang sakti mandraguna? Temukan jawabannya di Sanggana 8 yang berjudul "Dendam Ratu Abadi".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raab 18: Aninda Bertamu
*Ratu Abadi (Raab)*
Enam purnama yang lalu.
Sebuah perahu kecil yang di atasnya berdiri sosok Aninda Serunai dengan pakaian ungunya yang lusuh, dengan rambut polos berkibar tanpa perhiasan, dengan wajah natural yang tanpa polesan pupur atau goresan arang di alis, mendarat di Pantai Kutukelang.
Aninda Serunai yang kini memikul gelar yang berat bobotnya, yaitu Ratu Abadi, baru saja menempuh perjalanan air dari Pulau Kesepian menuju Pantai Kutukelang. Pantai itu sendiri merupakan salah satu wilayah pesisir Kadipaten Rempal. Kadipaten itu sendiri termasuk wilayah barat Kerajaan Pajajakan.
Aninda Serunai sudah mendapat petunjukan dan arahan dari tuan sekaligus gurunya, Pendekar Tanpa Nyawa, tentang memulai misinya di daratan.
Mendaratnya perahu Aninda Serunai di pasir pantai membuat beberapa warga nelayan yang sedang bekerja di perahunya jadi memerhatikan. Mereka heran melihat ada gadis cantik yang naik perahu tanpa mendayung.
Beberapa nelayan yang tidak berbaju itu saling pandang ketika Aninda Serunai mendatangi mereka, yang perahunya juga sama-sama sedang naik ke pantai.
“Mohon maaf, Ki. Aku tersesat di lautan lalu memilih mendarat di sini. Aku kini sedang berada di daerah mana?” kata Aninda Serunai bertanya dengan santun seraya tersenyum ramah.
Untung para nelayan itu adalah lelaki yang sudah menjelang tua, jadi mereka akan malu sendiri jika mencoba-coba genit terhadap gadis cantik jelita berbibir merah tersebut.
“Ini Pantai Kutukelang di Kadipaten Rempal. Ini wilayah Kerajaan Pajajakan, Nisanak,” jawab lelaki kurus tapi berotot keras.
“Apakah ibu kota kadipaten jauh dari sini, Ki?” tanya Aninda lagi.
“Waaah, aku tidak pernah ke ibu kota kadipaten, Nisanak. Maklum, nelayan sejati. Bisa sekarat aku jika meninggalkan laut dan pantai,” kilah si aki seraya mengerenyit tanpa menahan rasa sakit. Dia lalu menengok kepada rekannya yang sedikit lebih muda.
“Ibu kota kadipaten itu Kota Rempong. Aku dulu ke sana jalan kaki selama dua hari. Ke arah selatan. Di sisi selatan ada jalan utama, ikuti saja jalan itu. Jalan itu tidak putus sampai ke Ibu Kota,” kata nelayan satunya.
“Terima kasih, Ki,” ucap Aninda seraya tersenyum, menunjukkan bahwa dia senang mendapat petunjuk dari mereka.
“Sama-sama, Nisanak,” ucap para nelayan itu.
Aninda lalu berbalik pergi untuk meninggalkan pantai. Dia tidak peduli lagi dengan perahunya yang tidak ditambatkan. Perahu itu akhirnya terseret kembali ke laut, setelah ombak beberapa kali menariknya dari pasir.
“Perahunya hanyut!” seru salah satu dari nelayan itu.
“Cepat ambil, lumayan untuk dijual!” seru yang lain.
“Jangan, itu perahunya. Selamatkan saja lalu tambatkan, mungkin nisanak itu akan datang lagi mencari perahunya,” kata nelayan tertua yang berhati sehat.
“Sepertinya dia orang sakti dari pulau.”
“Sepertinya. Jangan-jangan dia dari Pulau Kesepian.”
“Ah, tidak mungkin. Penghuni Pulau Kesepian hanya Pendekar Tanpa Nyawa.”
“Mungkin saja wanita itu putrinya.”
“Ah, tidak mungkin. Pendekar Tanpa Nyawa sudah tidak bisa hamil. Sudah jamuran.”
Itulah sekelumit dialog para nelayan sepeninggal Aninda Serunai.
Singkat punya cerita.
Aninda Serunai akhirnya tiba di ibu kota Rempong dengan menunggangi kuda. Dia mendapatkan kuda dengan cara jahat, yaitu membegal seorang tidak dikenal. Dengan berkuda, Aninda hanya membutuhkan setengah hari perjalanan untuk sampai di Kota Rempong. Namun, dia tiba di kala malam.
Aninda memiliki tujuan yang jelas. Jadi dia tidak perlu repot-repot mencari penginapan untuk bermalam. Tujuan jelasnya adalah mendatangi kediaman Adipati Rempah Alot.
“Ini sudah malam, Nisanak. Kembalilah. Gusti Adipati tidak menerima tamu di saat malam hari,” kata prajurit jaga di gerbang halaman kediaman sang adipati, ketika Aninda menyampaikan tujuannya.
Tuk!
“Aaakkk!” jerit prajurit itu tiba-tiba saat satu totokan Aninda tiba-tiba mendarat di tengah dadanya.
Si prajurit seketika jatuh sambil terus menjerit memegangi dadanya yang sulit dia pegangi.
Apa yang dialami si prajurit mengejutkan rekan satu posnya dan rekan-rekannya yang berjaga di titik lain.
Prajurit lain di pos gerbang halaman itu segera cabut pedang.
Dengan gerakan yang tenang tanpa merasa terancam oleh para prajurit yang menghunus pedang, Aninda menginjak kepala prajurit yang jerit kesakitannya berkepanjangan.
“Sampaikan kedatanganku kepada Adipati atau aku membunuh kalian semua,” kata Aninda Serunai datar dan dingin.
Para prajurit yang hendak menyerang dengan pedangnya jadi menahan gerakannya karena melihat rekan mereka terancam mati.
“I-i-iya,” ucap prajurit rekan tergagap. Dia lalu berbalik dan berlari pergi.
Sementara itu, belasan prajurit yang datang mengepung posisi Aninda. Namun, mereka tidak menyerang, mereka menunggu hasil dari kepergian rekan mereka kepada Adipati Rempah Alot.
Keheningan dan ketegangan terjadi karena Aninda pun tidak mau bicara sekedar basa dan basi, apalagi sekedar merumpi.
“Aaakkk!” jerit si prajurit yang kepalanya diinjak. Meski Aninda sekedar meletakkan kaki kanannya ke sisi wajah, tetapi dia terus menjerit.
Sebenarnya prajurit itu kesakitan bukan karena injakan, tetapi karena sakit pada badannya usai ditotok oleh Aninda. Sakit itulah yang terus menyiksanya.
“Ada apa ini?” tanya seorang prajurit gagah yang datang telat. Prajurit gagah yang berusia separuh baya itu adalah Komandan Benik Injek. Dialah penanggung jawab keamanan di kediaman Adipati Rempah Alot.
“Wanita asing ini membuat keributan karena kami minta dia pergi,” jawab salah satu prajurit yang juga tadi melayani keperluan Aninda.
“Nisanak, siapa kau?” tanya Benik Injek kepada Aninda.
“Hanya junjunganmu yang boleh mengetahui siapa aku. Jika kalian mempersulit aku untuk bertemu Adipati, maka jangan menangis jika kalian mati di tanganku.”
Panas telinga dan hati Benik Injek mendengar kata-kata Aninda yang berujung ancaman. Dia pun marah melihat anak buahnya diinjak sedemikian hinanya.
“Lepaskan anak buahku. Kami juga bisa tega bertindak keras kepada wanita muda sepertimu,” kata Benik Injek.
“Kita tunggu kabar dari dalam. Jika Adipati menolak bertemu denganku, maka kau yang akan aku bunuh pertama kali,” kata Aninda.
Dug!
“Hekhr!” keluh prajurit yang diinjak saat Aninda memindahkan kakinya dan ganti menendang lambungnya.
Meski tendangan itu menyakitkan, tetapi jeritan si prajurit yang berkepanjangan jadi berkependekan dan berhenti. Rasa sakit yang menyiksa dalam tubuhnya mendadak lenyap.
Prajurit itu segera mengesot mundur menjauhi Aninda. Dia lalu bangkit di antara rekan-rekannya. Dia jadi ketakutan terhadap Aninda Serunai.
Setelah ketegangan dan keheningan berlalu cukup lama, akhirnya prajurit yang pergi melapor ke dalam rumah utama kini datang kembali.
“Gusti Adipati tidak mau bertemu denganmu. Pulanglah, Nisanak!” kata prajurit itu agak membentak.
Sets!
“Hekrr!”
Setelah perkataan prajurit itu, Aninda Serunai tiba-tiba menusukkan tangan kirinya ke ruang kosong di depan badannya.
Hasilnya, Komandan Benik Injek mengeluh seraya membungkuk sembari memegangi perutnya. Wajahnya yang diterpa bias api obor penerang mendadak memerah kelam dan sepasang matanya merah berair.
Dari perut yang dipegangi oleh Benik Injek mengucur darah yang menetes deras.
“Komandan Benik!” sebut beberapa prajurit terkejut saat melihat ada darah yang mengucur.
Ternyata tusukan tangan Aninda menjadi pedang gaib yang bisa menusuk tanpa menyentuh korban sedikit pun.
Sepertinya Aninda merealisasikan ancamannya yang akan pertama membunuh Benik Injek jika Adipati menolak menemui tamunya itu.
“Serang!” teriak seorang prajurit lantang berkomando.
Maka belasan prajurit itu serentak bergerak dengan pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Mereka menyerang Aninda secara bersamaan. (RH)
ya begitulah Om. semua demi cinta dan kerinduan😘🤣