Rachel, seorang CEO muda yang sukses, hidup di dunia bisnis yang gemerlap dan penuh tekanan. Di balik kesuksesannya, ia menyimpan rahasia besar—ia hamil dari hubungan singkat dengan mantan kekasihnya, David, yang juga merupakan pengusaha terkenal. Tak ingin skandal mengancam reputasinya, Rachel memutuskan untuk menghilang, meninggalkan kariernya dan kehidupan glamor di kota besar. Ia memulai hidup baru di tempat terpencil, bertekad untuk membesarkan anaknya sendiri, jauh dari perhatian publik.
Namun, anaknya, Leo, tumbuh menjadi anak yang luar biasa cerdas—seorang jenius di bidang sains dan matematika. Dengan kecerdasan yang melampaui usianya, Leo kerap membuat Rachel terkejut sekaligus bangga. Di usia muda, Leo mulai mempertanyakan asal-usulnya dan mengapa mereka hidup dalam kesederhanaan, jauh dari kenyamanan yang seharusnya bisa mereka nikmati. Ketika Leo secara tak sengaja bertemu dengan David di sebuah kompetisi sains, masa lalu yang Rachel coba tinggalkan mulai terkuak, membawa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Bayangan Masa Lalu yang Mengintai
Malam berlalu, dan Rachel tak dapat tidur nyenyak. Pesan terakhir dari David membuat pikirannya tak henti-hentinya berputar. Pagi harinya, dia berusaha mengalihkan perasaannya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, ingatan akan tatapan intens David dan ancaman halus yang tersirat dalam pesannya terus menghantui. Tidak hanya itu, rasa takut akan rahasianya terbongkar mulai menggerogoti ketenangannya.
Ketika hari menjelang siang, telepon Rachel berdering. Dia mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon, berharap itu adalah asisten pribadinya. Namun, suara yang terdengar justru membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
"Rachel," suara David terdengar di seberang telepon, rendah dan dingin.
Rachel menarik napas dalam, berusaha agar suaranya tetap tenang. "David, ada apa lagi? Aku sedang sibuk."
"Sepertinya kau selalu sibuk, bahkan untuk berbicara dengan orang yang pernah menjadi bagian dari hidupmu," ucap David dengan nada tajam. "Aku hanya ingin satu hal darimu."
Rachel menggenggam telepon lebih erat. "David, tolong... jangan buat ini lebih sulit."
"Lebih sulit? Rachel, aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin tahu... apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"
Rachel terdiam, seakan kata-kata itu mengunci dirinya. Dia menyadari bahwa David tidak akan berhenti hingga mendapatkan jawaban. Namun, rasa takutnya semakin besar—bagaimana jika Leo mengetahui semua ini?
"Aku tak punya waktu untuk permainan ini, David," katanya akhirnya, mencoba terdengar tenang. "Biarkan saja masa lalu berlalu."
David mendengus, suaranya terdengar sinis. "Baiklah, Rachel. Kalau kau tak mau bicara sekarang, aku akan mencarimu. Jangan menantang kesabaranku."
Sambungan telepon terputus. Rachel merasa tubuhnya lemas, dan pikirannya semakin kacau. Namun, dia tahu dia tak bisa membiarkan David mengetahui lebih jauh.
---
Sore itu, Rachel pulang lebih awal, berharap bisa meluangkan waktu bersama Leo untuk menenangkan pikirannya. Begitu dia masuk ke rumah, Leo berlari menghampirinya, membawa sebuah buku besar.
"Ibu! Lihat ini! Aku baru saja menyelesaikan soal matematika ini!" seru Leo dengan wajah penuh antusias.
Rachel tersenyum, menepuk kepala Leo dengan sayang. "Anak pintar! Apa Ibu boleh lihat hasilnya?"
Leo mengangguk bersemangat dan membuka bukunya, menunjukkan soal-soal matematika tingkat lanjut yang biasanya tidak diajarkan pada anak seusianya. Rachel terpana, menyadari betapa cerdasnya Leo, namun sekaligus merasa khawatir. Apakah Leo juga akan mulai mempertanyakan hal-hal yang lebih rumit tentang dirinya dan masa lalunya?
"Luar biasa, Leo! Kau benar-benar jenius, sayang," puji Rachel, menahan diri agar tidak terlihat cemas.
Leo tersenyum bangga, namun tiba-tiba matanya berbinar penasaran. "Ibu, kapan aku bisa bertemu ayahku?"
Pertanyaan itu memukul Rachel seperti pukulan keras. Dia menelan ludah, merasa kebingungan. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan ini tanpa melukai hati anaknya?
"Leo, Ibu sudah bilang, kan? Ayahmu... jauh sekali. Tapi Ibu selalu ada di sini untukmu," jawabnya, berusaha agar suaranya tetap tenang.
Leo menatap Rachel dengan tatapan polos namun penuh kekecewaan. "Tapi semua temanku punya ayah, dan mereka sering bercerita tentang ayah mereka. Aku ingin tahu siapa ayahku, Bu."
Rachel merasa hatinya hancur melihat Leo yang kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab lebih lanjut, pintu rumah mereka diketuk. Rachel menoleh, merasa cemas siapa yang datang malam-malam begini.
"Ibu akan lihat siapa yang datang. Kau tunggu di sini ya, Leo," ujar Rachel, berusaha menyembunyikan kecemasan dari suaranya.
---
Rachel berjalan ke pintu depan dan membukanya. Tubuhnya menegang saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu—David.
Rachel tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "David? Apa yang kau lakukan di sini?"
David tersenyum tipis, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Aku bilang padamu, aku tidak akan berhenti sampai kau bicara."
Rachel menggigit bibir, berusaha menahan kemarahan dan ketakutannya. "David, kau tidak boleh di sini. Ini rumahku, dan aku tidak ingin membicarakan apa pun denganmu."
David mengangkat alis, tatapannya tajam. "Rachel, kau bisa mencoba mengusirku. Tapi aku tidak akan pergi tanpa jawaban."
Rachel merasa terpojok. Namun, sebelum dia bisa membalas, suara kecil memecah ketegangan di antara mereka.
"Ibu, siapa itu?" Leo berjalan mendekat, matanya mengamati David dengan penasaran.
Rachel merasakan darahnya berdesir, seluruh tubuhnya kaku. David menatap Leo, matanya melembut, tetapi ada kilatan tajam yang menunjukkan kebingungannya.
"Ini... teman Ibu," jawab Rachel terbata-bata, mencoba menahan perasaannya.
Leo mendekati David dan tersenyum polos. "Halo, Om. Nama saya Leo. Ibu jarang sekali punya teman yang datang ke sini."
David berlutut, menatap Leo lebih dekat, tampak terpesona oleh sosok kecil itu. "Halo, Leo," ucapnya, suaranya tiba-tiba lembut. "Kau... anak yang cerdas, ya?"
Leo mengangguk bangga. "Iya, aku suka belajar! Ibu bilang aku jenius."
David melirik ke arah Rachel, dan untuk sesaat Rachel merasa seperti seluruh dunianya akan runtuh. Tatapan David seolah mengatakan dia mulai memahami sesuatu, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.
"Rachel, bisakah kita bicara sebentar?" David berusaha tetap tenang, tetapi Rachel bisa melihat betapa terkejutnya dia.
Rachel menggigit bibirnya, merasa tidak punya pilihan lain. "Leo, Ibu perlu bicara sebentar dengan Om ini. Kau bisa menunggu di kamar, ya?"
Leo mengangguk, meskipun tampak sedikit kebingungan. "Baik, Bu." Dia pun berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Rachel dan David di ruang tamu.
Begitu Leo tidak terlihat, David langsung menatap Rachel dengan sorot mata yang penuh amarah dan kekecewaan. "Jadi... itu anak kita?"
Rachel merasakan dadanya sesak, suaranya gemetar saat menjawab. "David, aku tidak... aku tidak bisa membiarkanmu tahu. Aku punya alasan."
David mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya. "Alasan? Rachel, bagaimana mungkin kau bisa menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku? Aku punya hak untuk tahu!"
Rachel menunduk, matanya mulai basah. "David, aku tidak punya pilihan lain. Hidupku... hidup kita terlalu rumit. Aku tidak ingin Leo terjebak di tengah."
"Aku tak peduli seberapa rumitnya hidup kita!" David menaikkan suaranya, namun kemudian merendahkannya saat menyadari mereka masih di dalam rumah. "Rachel, kau tidak bisa membuat keputusan sebesar ini sendirian. Aku ayahnya, dan aku punya hak untuk menjadi bagian dari hidupnya."
Rachel menggigit bibirnya, merasa hatinya sakit. "David, aku hanya ingin melindungi Leo. Aku... aku takut kau akan menginginkannya dan membawanya pergi."
David terdiam sejenak, sorot matanya melembut. "Aku tak akan pernah membawanya pergi darimu, Rachel. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupnya, membantu dan melihatnya tumbuh."
Rachel menatap David dengan mata yang penuh kebingungan dan emosi. Untuk pertama kalinya, dia merasakan rasa bersalah yang begitu dalam. "David, aku takut. Aku takut jika dia tahu, itu akan menghancurkan semuanya. Dia masih kecil, dan aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua ini padanya."
David mendekati Rachel, menaruh tangan di pundaknya dengan lembut. "Rachel, kita bisa melakukannya bersama. Kita bisa menjelaskan pada Leo pelan-pelan. Aku tak ingin membuatnya bingung, tapi aku juga tak ingin menjadi asing baginya."
Rachel merasakan tubuhnya melemas. Di satu sisi, dia merasakan ketakutan yang luar biasa, namun di sisi lain, ada kelegaan yang samar karena David ingin bertanggung jawab. "Aku butuh waktu, David. Aku perlu mempersiapkan diri... dan Leo."
David mengangguk. "Baik. Aku akan memberimu waktu. Tapi aku ingin melihat Leo. Aku ingin mengenalnya, meskipun dia tidak tahu siapa aku sekarang."
Rachel menarik napas panjang, akhirnya mengangguk dengan berat hati. "Baik, tapi jangan beritahu siapa dirimu sebenarnya."
David tersenyum samar, meskipun sorot matanya tetap menyiratkan rasa sakit dan kecewa. "Aku janji."
Namun, di balik janji itu, Rachel tahu bahwa ini hanyalah permulaan. Rahasia yang ia sembunyikan selama ini kini terbongkar, dan ia tak tahu bagaimana melindungi Leo dari kenyataan yang akan segera menghampirinya.