Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekuatan Cinta
"Fitri, kamu kenapa?"
Hamdan kaget saat melihat Fitri menangis seperti menyalahi dirinya sendiri.
Saat mendengar suara Hamdan, Fitri langsung mendongakkan kepalanya.
Dengan air mata yang masih berlinang di pipinya, Fitri berlari dan langsung merangkul Hamdan.
"Maafkan aku, Hamdan. Aku telah ingkar janji kepada kamu. Aku...aku tidak datang semalam untuk membawa kamu ke tukang urut."
Hamdan tentu saja sangat kaget. Dia belum pernah dirangkul oleh seorang gadis sebelumnya, apa lagi gadis secantik Fitri.
Tubuh Hamdan gemetaran. Dengan suara bergetar dia berkata, "Sudah lah, Fit. Jangan terlalu dipikirkan. Aku baik-baik saja. Aku tidak menyalahkan dirimu karena aku tahu kamu pasti punya alasan sehingga tidak bisa datang semalam."
Fitri memandang ke arah Hamdan. "Sungguh kamu tidak marah kepada aku?" Dia menatap mata Hamdan dengan tatapan sayu.
Hamdan takut dia tidak tahan. Posisi itu terlalu membahayakan.
Hamdan cepat-cepat berkata dan menuntun Fitri untuk duduk di kursi plastik.
"Aku bersungguh-sungguh, Fit."
Fitri akhirnya menjadi rileks. Baru saat ini lah dia menyadari telah bersikap impulsif.
Karena rasa bersalahnya dia telah memeluk Hamdan dengan tiba-tiba.
Wajahnya langsung memerah karena malu. Hamdan adalah orang pertama yang pernah dia peluk.
Saat dia mencoba memadang Hamdan dengan sudut matanya, Fitri langsung menjerit.
"Kakimu, Hamdan! Kaki...kamu bisa berdiri?!"
Saking terkejutnya, Fitri bicara latah.
Rasa malu karena memeluk Hamdan langsung hilang digantikan rasa terkejut sekaligus penasaran.
"Duduk dulu, Fit! Duduk dulu! Nanti aku ceritakan."
Rupanya Fitri langsung berdiri untuk memastikan bahwa yang dilihatnya bukan lah ilusi.
"Sebelumnya terima kasih karena telah menolong aku dan kamu masih sangat perhatian dan memikirkan tentang keadaan aku, Fit."
"Dengan izin yang Maha Kuasa, sewaktu aku bangun tidur kemaren kedua tangan dan kaki aku sudah sembuh total."
"Aku ingin mengabarkan kepadamu tapi aku tak bisa. Aku tidak punya nomor kontak kamu, Fit."
Walau pun cerita Hamdan seperti di luar nalar, tapi Fitri langsung percaya. Tidak ada keuntungan bagi Hamdan untuk membohongi dirinya.
Setelah Fitri bisa mengendalikan rasa terkejutnya, dia langsung memfokuskan pada satu kalimat Hamdan yang kurang berkenan di hatinya.
"Apakah kamu sudah punya handphone, Hamdan?"
"Tidak...belum, Fit. Aku berencana akan membelikan akhir bulan nanti."
"Jangan coba membohongi aku, Hamdan! Kalau kamu belum punya handphone, bagai mana bisa kamu akan mengabari keadaan kamu kepada aku seandainya kamu punya nomor kontak aku."
"Oo itu..." Hamdan tersenyum.
"Aku bisa meminjam handphone orang-orang yang bekerja mengangkut barang di gudang, Fit."
"Setiap hari pasti ada salah seorang dari mereka yang datang ke sini."
"Ooo syukur lah kalau begitu." Fitri bernafas lega.
Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
"Ini hadiah untuk mu."
"Wow! Handphone. Bagai mana bisa aku menerima hadiah dari kamu, Fit. Ini terlalu mahal. Simpan saja, Fit! Aku tak mau. Aku telah banyak menyusahkan kamu."
Hamdan menolak dengan tegas.
Walau pun dia sangat memerlukan sebuah handphone, bukan berarti dia harus memperdayai seorang cewek untuk mendapatkannya.
Walau pun hidup miskin tapi Hamdan tidak sepicik itu.
"Jangan kegeeran dulu, Hamdan. Ini hanya handphone bekas. Kamu lihat kan layar yang di sudut itu pecah."
"Tak mungkin lah aku akan menghadiahkan kamu dengan barang yang mahal-mahal."
Itu hanya sekedar ucapan di bibir Fitri saja. Pada kenyataannya, Fitri akan memberikan apa saja kepada Hamdan.
Dan Hamdan sangat tahu akan hal itu. Dia tahu Fitri sangat menyukainya dan rela berkorban demi dirinya. Ucapan Fitri barusan hanya supaya dia tidak merasa sungkan menerima hadiah dari Fitri.
Hamdan menggeleng. "Simpan saja, Fit! Aku hargai niat baik mu tapi aku tak bisa menerimanya."
Wajah Fitri berubah. Rupanya dia tersinggung.
"Kalau kamu tidak sudi menerimanya ya tidak apa-apa."
Fitri berdiri. Dia menuju dapur. Dia meletakkan handphone di tungku dan mencoba menyalakan gas.
"Ctek...ctek.."
"Fit! Apa yang kamu lakukan?" Hamdan sangat terkejut.
Dia berlari dan menyambar handphone tersebut dari tungku.
Untung lah gasnya belum sempat nyala.
"Mengapa kamu ambil?" Fitri merajuk. "Karena tak ada yang sudi menerimanya lebih baik aku bakar saja."
Jika hal ini terjadi sebelum ada perubahan pada mental Hamdan, mungkin Hamdan tetap akan bersikukuh pada komitmennya.
Tapi Hamdan sekarang berbeda.
Dia mampu bersikap lebih dewasa dibandingkan umurnya.
"Siapa bilang aku tak sudi dengan hadiah dari kamu, Fit. Aku sangat menyukainya. Terima kasih banyak ya, Fit."
Fitri masih ragu dengan perubahan yang terjadi.
"Kamu bohong kan? Kamu sengaja mengatakan seperti itu hanya karena tidak ingin membuat aku marah kan?"
"Tidak, Fit. Sungguh!"
"Aku memang membutuhkan handphone, Fit. Terus terang aku belum punya duit untuk membelikannya sekarang. he he."
"Jadi, hadiah yang kamu berikan saat ini adalah rezeki yang datang tepat waktu."
"Benar kah?" Mata Fitri berbinar.
"Iya, benar, Fit."
"Jika Toko Ponsel sudah buka nanti aku akan langsung membelikan sim card dan paket data."
"Kamu tinggalkan saja nomor kontak kamu, nanti aku akan menelponmu. Bagai mana?"
"Kamu tidak ingin sekolah hari ini, Hamdan?"
"He he kan hari ini aku masih dianggap izin."
"Mana bisa? Kamu kan sudah sembuh." Fitri tidak terima.
"Bisa lah, Fit."
"Kamu curang." Fitri cemberut.
"Ini bukan curang namanya, Fit. Ini memaksimalkan surat izin yang telah kita layangkan kemaren."
Fitri hanya bisa mengalah.
"Coba kamu gunakan handphonemu sekarang, Hamdan! Kamu tak perlu beli sim card dan paket data, semuanya sudah ada di situ. Komplet."
"Terima kasih banyak kalau begitu, Fit."
Melihat Hamdan benar-benar senang dengan hadiahnya, Fitri pun tersenyum bangga.
"Kriuk....."
Perut Fitri berbunyi.
Karena ingin cepat-cepat menemui Hamdan, Fitri sampai lupa sarapan.
"Kamu masih ada waktu sebelum berangkat sekolah kan, Fit?" Hamdan pura-pura tak mendengar suara yang berasal dari perut Fitri tadi.
Fitri melihat jam tangannya.
"Masih ada waktu sekitar 40 menit. Memangnya ada apa, Hamdan?"
"Temankan aku sarapan lontong ya. Aku belum sarapan. Aku akan traktir kamu. Anggap saja ini syukuran atas kesembuhan aku."
"Oke. Siap."
Fitri sangat gembira. Akhirnya Hamdan punya inisiatif untuk mendekatinya alih-alih si Dewi.
...****************...
Hari ini adalah hari paling menggembirakan bagi Fitri. Dia sekolah dengan semangat.
Rasanya mata pelajaran yang diajarkan hari ini semuanya sangat mudah.
Fitri belajar dengan giat. Dia tidak merasa bosan sedikit pun.
Bahkan guru mata pelajaran kimia yang biasanya killer mendadak jadi baik bagi Fitri.
Mungkin ini lah yang dikatakan the power of love.
Kekuatan cinta!
Membuat segala sesuatu tambak baik dan menarik sesuai suasana hati orang yang sedang dilanda cinta.