Angkara Afrizal Wijaya, ketua osis yang kehidupannya hampir sempurna. Tetapi, karena kehadiran adik kelas yang sangat menyebalkan. Kesehariannya di sekolah bagaikan neraka dunia.
Dia adalah Alana, gadis gila yang selalu mengejar-ngejar cinta seorang Angkara tanpa kenal lelah. Alana adalah ketua geng motor Avegas.
"Kak Angkasa!"
"Nama aku Angkara!"
"Tetap saja aku akan memanggilmu Angkasa, Angkara Sayang."
Kisah cinta abu-abu pun di mulai! Akankah gadis gila seperti Alana, mampu meluluhkan hati ketua osis galak?
Follow tiktok: Cepen
Ig: tantye005
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Kamu ingin dibenci?
Ke empat inti Avegas menganggukkan kepalanya mengerti setelah mendengar kronologi terjadinya kecelakaan beberapa jam yang lalu. Dari semua cerita tersebut, Gio menyimpulkan satu hal. Kecelakaan yang menimpa Alana bukan murni terjadi, tetapi seolah disengaja.
Terbukti dari sebuah mobil yang tiba-tiba keluar dari gang dan pengendara bermotor menyerempet setir motor Alana hingga terjatuh dan terseret cukup jauh.
"Sebaiknya kalian pulang, latihan sama anak-anak yang lain biar pada kompak besok," ucap Alana ketika menyadari jarum jam telah menunjukkan angka 10 malam.
"Nungguin bonyok lo datang saja deh Al. Kita nggak mau ninggalin lo sendirian," celetuk Jayden, lelaki yang sedikit waras tidak seperti Roy dan Jevian yang mulutnya sering kali mengeluarkan sumpah serapah dan selalu menggoda perempuan.
"Pulang saja, biar gue yang nungguin Alana." Gio menatap teman-temannya. "Nanti gue menyusul setelah orang tua Alana datang."
"Oke." Jayden, Jevian dan Roy pun segera meninggalkan ruangan perawatan Alana, menyisakan ibu dan wakil Avegas saja di sana.
Gio dan Alana tidak terlibat pembicaraan apapun, keduanya diam dengan pikiran masing-masing yang tentu berbeda. Alana sedang memikirkan pertandingan besok yang entah akan seperti apa, padahal mereka telah berlatih jauh-jauh hari. Sementara Gio sendiri sibuk menebak-nebak siapa gerangan yang mempunyai pikiran jahat pada ketuanya.
"Gue akan balas siapa pun yang sudah melukai lo Al," batin Gio menatap wajah cantik Alana yang sedang menatap keluar jendela. Dengan posisi seperti itu, ia bisa melihat dengan jelas tahi lalat dihidung Alana.
"Gue serahin semuanya ke lo Gio. Besok lo ambil alih tempat gue. Arahkan anak-anak seperti yang selalu gue lakukan saat pertandingan," ujar Alana akhirnya.
"Lo tenang saja, gue akan berusaha memenangkan pertandingan besok. Dengan begitu kita bisa mendamaikan dua geng motor yang sedang berseteru tentang kekuasaan di jalanan masing-masing." Refleks tangan Gio bergerak memindahkan rambut Alana yang menjuntai ke depan.
"Lo memang wakil dan sahabat yang selalu bisa gue andalkan." Alana tersenyum manis. Ia mulai meringis ketika reaksi obat bius perlahan-lahan hilang. Rasa ngilu mulai menyerang tangan sebelah kanannya.
"Sayang?" panggil wanita paruh baya yang baru saja membuka pintu ruangan rawat Alana.
Gio lantas berdiri dan mempersilahkan mommy Alana untuk menghampiri putrinya. Sementara ia sendiri menunduk dan bersalaman dengan Dito.
"Terima kasih sudah menemani putri saya Gio."
"Sama-sama Om, kalau begitu saya pulang dulu."
"Hati-hati Nak."
Gio mengangguk dan segera meninggalkan Alana dan orang tuanya.
"Ini akibatnya jika berbohong pada mommy." Sang mommy mengerucutkan bibirnya sambil menatap kesal Alana. Setelah kepergian gadis itu, ia baru tahu bahwa Alana sama sekali tidak berpamitan pada daddynya.
"Salah kamu juga selalu percaya pada putri kita padahal sering berbohong." Dito menunduk untuk mengecup kening Alana. Di balik raut wajah kesalnya ia sangat khawatir mendengar putri satu-satunya kecelakaan.
"Lana sedang sakit, bisa nggak jangan digibahin dulu?" Alana merengut dan dibalas tawa oleh orang tuanya.
....
Kediaman Wijaya ....
"Mana es krim aku kak?" Sheila, putri bungsu Azka dan Salsa yang berusia 10 tahun itu, menengadahkan tangannya pada sang kakak yang baru saja pulang.
"Kakak lupa membelinya."
"Ish kak Kara sangat menyebalkan. Kak Kara sudah berjanji tapi nggak menepati." Sheila bersedekap dada dengan bibir mengerut.
"Chei, biarkan kakaknya masuk dulu Sayang," ucap wanita paruh baya dari ruang keluarga.
"Mama, tangan kak Kara berdarah!" teriak Sheila setelah menyadari ada noda merah di tangan kakaknya, begitupun dengan jaket yang lelaki itu pakai.
Lantas saja Azka dan Salsa menyusul putrinya dengan perasaan khawatir.
"Sayang apa yang terjadi? Bagian mana saja yang terluka?" Salsa lebih dulu memeriksa tubuh putranya. Darah adalah hal yang sangat menakutkan untuk dokter jantung tersebut, terlebih jika anggota keluarganya pulang malam seperti saat ini. Dia mempunyai trauma yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
"Bukan Kara yang terluka Ma, tapi Alana. Tadi Kara menolongnya dan membawa ke rumah sakit."
"Bagaimana dengan keadaan Alana?" tanya Azka.
"Tangan kanannya terluka parah, Kara ke kamar dulu." Angkara berlalu begitu saja. Sampai saat ini ia masih malas bertatap muka dengan sang papa. Ia kesal karena Azka memilih Alana dari banyakan perempuan di luar sana. Alana adalah ketakutan terbesarnya. Lambat laun perasaan berbeda selalu hadir di benaknya dan itu membuatnya sulit untuk bernapas jika berada di samping Alana.
"Ini akibatnya jika kamu memaksakan kehendak anak-anak Azka. Lihat, Kara seakan menghindar. Aku benci suasana seperti ini," lirih Salsa.
"Maaf Sayang, tapi aku terpaksa melakukannya demi putra kita." Azka memeluk istrinya dan mengelus punggung Salsa.
"Kamu ingat saat kita pacaran? Papi mengatakan melakukan semuanya demi kamu, tapi kamu nggak setuju bukan? Kamu membenci papi karena dia selalu memaksakan kehendak. Kamu mau Angkara melakukan itu padamu?"
"Sayang" Azka bungkam.
...****************...
Alana
mana dia nggak dkasih anak lagi
kasiaan banget,
seakan disini marwah dito dipertaruhkan