Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Apa yang aku takutkan ternyata tidak terjadi, bulek Tini maupun paklek Teguh langsung menerima keinginan mbak Rani yang sebenarnya sangat bertentangan dengan pikiran mereka. Mungkin paklek juga bulek sudah cukup lelah berseteru dengan mbak Rani yang sama sekali tidak mau tau akan kebenaran asal usul tanah warisan dari Mbah kung.
"Iya, mau bagaimana lagi. Aku sama anak anakku akan pergi, kamu gak usah khawatir, Ran. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, apa yang kami sampaikan tentang kebenaran tanah ini, itu adalah fakta yang sesungguhnya. Kami mengikuti maumu ini bukan semata karena kami ikhlas melepaskan hak kami disini. Tapi karena kami malu jika harus ribut ribut terus, dan juga tidak ada yang bisa kami lakukan karena suratnya juga terlanjur di atas namakan ibumu. Itulah kesalahan dan kebodohan kami yang masih kami sesali dengan menerima keputusan Mbah kungmu. Tapi sudahlah, semoga suatu saat kamu pun mendapatkan balasan yang setimpal dari saikapmu ini." Ucap paklek Teguh panjang lebar, nampak gurat kesedihan juga amarah yang tertahan di wajahnya yang tenang.
"Itu terserah paklek Teguh mau ngomong bagaimana juga, tapi aku yakin kalau tanah di sini memang milik ibuku, jadi aku berhak menjualnya atau melakukan apapun." Sahut mbak Rani ketus, dia sama sekali tidak punya rasa bersalah dan belas kasihan.
"Yowes, kami juga terserah kamu, Ran. Tapi kalau terjadi apa apa sama kamu nantinya, jangan pernah mencari kami sebagai keluarga. Aku rasa sudah tidak ada yang perlu di bicarakan lagi, kami akan pergi sebelum satu Minggu waktu yang diberikan sama pemilik baru rumah ini. Aku permisi dulu, cucuku waktunya tidur!" Sengit bulek Tini dengan wajah memerah menahan tangis dan amarah. Aku tau, pasti bulek maupun paklek sangat terpukul dan sedih harus meninggalkan rumah yang sudah puluhan tahun ditempati. Bulek dan paklek kembali pulang kerumahnya masing masing dengan langkah gontai. Aku hanya bisa diam saja menyaksikan pemandangan yang mengiris hati ini. Karena akupun juga sama merasakan sedih dan sakit akan keputusan yang mbak Rani ambil. Tapi tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan menerima dengan lapang dada.
"Tuh aslinya mereka, sudah tau gak punya hak di rumah ini kok masih ngeyel dan ngomong gak karuan. Aku sih gak perduli, aku juga gak butuh mereka sampai kapanpun." Sungut mbak Rani dengan mata mendelik.
"Sudahlah, lebih baik kita pulang dan mengurus urusan kita dengan segera." Sahut mas Soni yang akhirnya buka suara setelah hanya diam saja sedari tadi.
"Iya juga ya, anak anak pasti sudah nungguin kita dirumah. Dan Alhamdulillah mas Wardana itu sangat baik, dia bersedia mengurus balik nama suratnya sendiri, jadi kita gak usah repot-repot lagi. Oh iya, Ras, ini untuk kamu. Terimakasih ya kamu sudah tidak mempersulit proses jual beli rumah ini dan gak banyak protes. Aku pamit pulang dulu, jangan lupa segera cari tempat tinggal, uang itu bisa kamu gunakan untuk ngontrak rumah satu tahun. Kalau cuma rumah kecil, insyaallah uang yang aku kasih cukup kok." Sambung mbak Rani panjang lebar, dia meletakkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan di atas meja.
"Iya mbak, terimakasih atas kebaikannya." Sahutku dengan perasaan yang tak menentu.
"Iya sama sama, yasudah aku pamit pulang dulu. Assalamualaikum." Pamit mbak Rani yang melenggang pergi bersama suaminya.
Dengan nanar aku menatap uang yang ada di meja. Entahlah, aku tidak tau apa yang aku rasakan di hati ini. Namun ada perasaan sedikit lega, karena aku tidak perlu pergi dari rumah ini karena mas Wardana yang memintanya langsung. Mungkin, uang pemberian mbak Rani bisa aku masukkan ke rekening tabunganku bersama uang pemberian mas Bimo. Karena nasib tidak ada yang tau, aku bisa menyimpan uang tersebut untuk jaga jaga jika terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Bulek Tini sudah mendapatkan kontrakan yang masih satu RW tapi beda RT. Rumah milik salah satu tetangga yang pemiliknya sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, sedangkan anak anaknya semua tinggal di luar kota. Bulek Tini mendapatkan harga sewa yang cukup murah pertahunnya, meskipun rumahnya tidak terlalu besar, setidaknya bisa untuk menampung keluarganya. Sedangkan paklek Teguh memilih pulang kampung kerumah adiknya yang ada di perbatasan kota.
"Ras, kamu kok masih tinggal di sini, apa kamu belum dapat kontrakan?" Tanya bulek Tini yang pagi ini bertamu ke rumahku saat aku sedang berada di dapur membuat rempeyek pesanan temanku.
"Aku gak pindah, bulek. Alhamdulillah, kebetulan yang membeli kemarin itu temanku pas masih sekolah di SMU. Dia itu mau bangun kos kosan, jadi aku dia minta untuk mengawasi dan mengelolanya. Karena katanya dia harus mengurus usahanya yang lain." Sahutku jujur, bulek Tini langsung menatapku lekat dengan dahi di lipat.
"Beneran kamu, Ras? Wah, kamu itu beruntung banget nasibnya." Sahut bulek Tini yang terus saja menatapku tak percaya.
"Alhamdulillah bulek, namanya juga rejeki. Kita gak tau dari mana arahnya, kan? Aku awalnya juga gak menyangka kalau yang beli rumah ini temanku sendiri." Balasku yang tetap fokus dengan penggorengan di depanku.
"Pantesan kamu kelihatan santai dan gak pusing, ternyata kamu masih tetap bisa tinggal di sini." Sahut bulek Tini yang terlihat menghembuskan nafasnya dalam.
"Ras, sebenarnya aku itu masih sakit hati sama Rani. Bisa bisanya dia bersikap tega sama keluarganya sendiri. Untung saja ada Ika dan Tofa, mereka sudah punya penghasilan dan mau patungan untuk bayar kontrakan." Keluh bulek Tini dengan wajah sendu.
"Alhamdulillah bulek, jangan terlalu dipikirkan. Insyaallah pasti ada rejekinya, apalagi anak anak bulek pada pengertian. Aku saja sempat bingung harus bagaimana, tapi tanpa aku duga pertolongan Allah datang melalui mas Wardana. Dan Alhamdulillah banget, dia mau mengijinkan aku tetap tinggal di rumah ini." Sahutku sambil mematikan kompor dan mulai memasukkan peyek ke dalam toples.
"Rejekimu, Ras. Oh iya, yang beli rumah ini orangnya masih muda kan, dia sudah punya istri apa belum?" Sahut bulek Tini penasaran.
"Waduh, kalau itu aku gak tau bulek. Kemarin gak nanya soalnya. Tapi kayaknya ya sudah, kan umurnya gak jauh dariku." Sahutku apa adanya, dan nampak bulek Tini manggut manggut.
"Bulek Tini masak apa tadi, aku masak sayur gori. Kalau mau, bulek bawa pulang dan ini aku kasih rempeyek." Aku menyerahkan satu kantong kresek sedang yang sudah aku isi rempeyek ke bulek Tini. Meskipun hubungan kita gak terlalu dekat, tapi aku selalu berusaha bersikap baik meskipun terkadang aku selalu menjadi bahan omongannya untuk di jelek jelekkan karena keadaanku yang miskin.
"Wah terimakasih loh, Ras. Kebetulan aku gak masak, aku bawa sayur gori dan minta sambalnya ya?" Sahut bulek berbinar dengan senyuman mengembang.
"Iya bulek, ambil saja, aku masak banyak kok." Balasku singkat dengan senyuman ramah.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..