Menjadi wanita gemuk, selalu di hina oleh orang sekitarnya. Menjadi bahan olok-olokan bahkan dia mati dalam keadaan yang mengenaskan. Lengkap sekali hidupnya untuk dikatakan hancur.
Namanya Alena Arganta, seorang Putri dari Duke Arganta yang baik hati. Dia dibesarkan dengan kasih sayang yang melimpah. Hingga membuat sosok Alena yang baik justru mudah dimanfaatkan oleh orang-orang.
Di usianya yang ke 20 tahun dia menjadi seorang Putri Mahkota, dan menikah dengan Pangeran Mahkota saat usianya 24 tahun. Namun di balik kedok cinta sang Pangeran, tersirat siasat licik pria itu untuk menghancurkan keluarga Arganta.
Hingga kebaikan hati Alena akhirnya dimanfaatkan dengan mudah dengan iming-iming cinta, hingga membuat dia berhasil menjadi Raja dan memb*antai seluruh Arganta yang ada, termasuk istrinya sendiri, Alena Arganta.
Tak disangka, Alena yang mati di bawah pisau penggal, kini hidup kembali ke waktu di mana dia belum menjadi Putri Mahkota.
Akankah nasibnya berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rzone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Anda Tidak Salah Mengambil Pangeran Mahkota?
“Hem?” Mattias merasakan tangannya terasa hangat, kenangan masa lalu memang sering kali mengganggu pikirannya saat mendengar kata pesta.
Kala itu usia Mattias masihlah sangat belia, dia tak tahu mana baik dan mana tidak baik. Dulu Mattias sangat menyukai pesta, dan dia sangat menyukai kue-kue cantik dalam pesta.
Hingga suatu hari, ulang tahun Ratu yang begitu dia nanti akhirnya diselenggarakan. Semua orang nampak bahagia, pesta anggur dan juga dansa nampak dilakukan di sana sini.
Kala itu Mattias tak tahu apapun saat Kakeknya tiba-tiba membawa dirinya pergi, dan Mattias melihat dengan mata kepalanya sendiri saat sang Ibu terjatuh dari singgasananya dan menghebohkan semua orang.
Duke Mattias langsung mengamankan Mattias, sedangkan Istana malam itu berubah kacau. Mattias yang tahu bila ibunya meninggal juga menangis dan mengamuk, ibunda yang begitu dia cintai meninggalkannya di saat dia tengah sangat membutuhkan sosok seorang ibu dalam hari-harinya.
Sejak saat itu berbagai ancaman pembunuhan pernah dirasakan Mattias, sebelum akhirnya dia dipanggil sang Kakek dan memintanya tinggal di kediaman Mattias saja.
Sejak saat itu, Mattias sangat membenci pesta. Dia benci sesuatu yang seperti itu, dia benci tawa menggema dalam ballroom yang menggema, dia benci suara musik di mana orang-orang menari. Karena saat itu, saat semua orang bahagia justru saat itulah ibundanya tiada.
.
.
.
“Mattias?” Alena semakin mendekat dan menyentuh kedua pipi Mattias, Mattias terdiam merasakan usapan lembut itu.
“Saya tahu mungkin anda memiliki alasan tertentu yang tidak bisa anda katakan, namun untuk satu kali ini saja. Bisakah kita pergi ke pesta yang dilakukan Ayah?” Pinta Alena, Mattias memejamkan matanya sejenak dan membukanya lagi secara perlahan.
“Yah, saya memang berencana hadir. Namun saya tidak bisa melakukan sesuatu hal yang mungkin akan membuat orang lain senang.” Gumam Mattias, Alena tersenyum dan menggenggam tangan Mattias.
“Membuat orang senang itu bukanlah sesuatu hal yang wajib, namun saya hanya ingin anda hadir. Sisinya, anda bisa serahkan sisanya pada saya.” Alena mengangkat tangan Mattias seolah dia memang sudah siap menghadapi segalanya.
“Baiklah,” Mattias menghela nafas lega, siang itu juga Mattias menghadap Duke Arganta. Pria tua dengan setelan lengkap seperti layaknya seorang Duke tengah menatap keluar jendela saat calon menantunya tengah berada di sana.
“Katakan padaku, apa yang akan aku dapatkan bila kau menikah dengan Putriku?” Tanya Duke Arganta, dia memang bukan seorang mata duitan. Namun dia juga harus mempertimbangkan segala sesuatunya agar dapat masuk ke masa depan yang belum terlihat batasannya.
“Apa yang anda inginkan? Saya tidak yakin akan memberikan sesuatu yang akan membuat anda puas. Namun saya akan memberikan sesuatu yang mungkin akan pantas, seperti yang anda inginkan.” Mattias menatap pria tua itu dari kursinya, Duke Arganta tersenyum.
“Anda sama seperti Yang Mulia Raja, aku sama sekali tidak bisa menebak apa yang anda pikirkan saat ini. Namun semua perkataan anda seolah telah di rangkai sebelum pertemuan ini ada.” Ucap Duke Arganta, Mattias mengangkat sudut bibirnya.
“Jadi, sekarang saya memang pantas berada di samping Putri anda bukan?” Duke Arganta kian merasa tersudutkan dengan ucapan Mattias, semuanya memang nampak telah disusun dan dilakukan dengan begitu baik.
“Anda sangat tahu aturan mainnya, malam ini pengumuman pernikahan akan sampai di seluruh penjuru Negeri. Dan satu bulan mendatang, saya ingin anda sendiri mempersiapkan pernikahan anda. Apa anda keberatan?” Mattias tertegun, mendapatkan mertua yang rewel dan sangat protektif pada Putrinya memang memiliki kelebihan dan juga kesusahannya tersendiri.
“Baiklah, jadi mulai besok. Saya bisa membawa Istri saya ke Kediaman Duke Mattias?” Izin Mattias, Duke Arganta mengepalkan tangannya. Dia menghela nafas beberapa kali sebelum menjawabnya.
“Ya, bila Putriku bersedia.” Mattias terkekeh mendengarnya, sangat sulit sekali menghadapi pria tua ini pikirnya.
“Tentu saja, apa ada hal lain yang ingin anda sampaikan?” Tanya Duke Mattias, Duke Arganta mengangguk. Dia berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil sebuah kertas.
“Dua orang mata-mata anda di kediaman ini telah berhasil membuat saya menangkap tokoh besar yang menginginkan wilayah saya. Namun, saya justru tertarik pada keduanya.” Ucap Duke Arganta, Mattias memutar bola matanya.
“Terserah anda, bila mereka bersedia.” Jawab Mattias kembali membalikan kata-kata Duke Arganta sebelumnya.
“Anda sangat keterlaluan Duke Mattias!” Gertak Duke Arganta, Duke Mattias terkekeh dan mengambil kertas tersebut.
“Dibandingkan dengan mengambil abdi seseorang, akan lebih baik bila anda melatih abdi anda sendiri. Membuat sebuah ikatan saling percaya dan saling menyelamatkan hidup masing-masing adalah hal yang lebih baik.” Ucap Mattias, dia memberikan peringatan sekaligus menasehati.
“Orang yang selalu seperti itu justru statusnya lebih tinggi dariku, bukankah itu sesuatu yang sangat miris?” Duke Arganta melipat tangannya, orang yang dia maksud adalah Raja saat ini.
“Ayahku memang orang seperti itu,” Mattias tersenyum, seolah keduanya telah bertemu lama. Mattias dan Duke Arganta mulai terbuka satu sama lain. Mereka mulai membagi pengalaman mereka tentang cara berbisnis dan juga cara membuat seseorang memiliki Loyalitas.
.
.
.
Di tempat lain, sebuah Istana megah berdiri di tengah ibu kota. Di dalamnya terdapat beberapa Istana yang berbeda. Dan Istana paling strategis sekaligus ditinggali sang Raja bernama Istana Singa.
Seseorang tampak berjalan dengan amat cepat di koridor Istana itu, langkah kakinya yang tegas masih terdengar terburu-buru. Beberapa pengawal menunduk saat melihat orang itu melintas.
Brak!
Pintu dibuka dengan paksa, hingga nampak seorang pria di depan mejanya yang menatap orang yang membuka pintu itu dengan tatapan jengkel, pria itu kembali melangkah di tengah-tengah para petinggi Kerajaan.
“Yang Mulia, apa maksud anda tentang semua ini? Anda memberikan pernikahan pada Duke Mattias, padahal anda tahu sendiri bila saya telah meminta pernikahan itu lebih dahulu. Sikap pilih kasih macam apa yang anda berikan ini Yang Mulia!” Pekiknya tak terima, dia adalah Pangeran Mahkota, Raja menghela nafas para petinggi Kerajaan yang berada di sana ikut berbisik.
“Mereka telah menikah sekitar 4 bulan lalu, lalu sejak kapan mereka memiliki hubungan saya juga tidak tahu. Kuil memberikan pengumuman pagi ini karena Duke Mattias memang baru kembali dari tugasnya, tugas yang seharusnya anda emban.” Semua kian berbisik, Raja berdiri dari duduknya.
“Anda juga lupa pada etika sebagai seorang Pangeran, apa karena guru etika anda telah saya kembalikan ke kampung halaman?” Ucap Raja lagi, Pangeran Mahkota mengepalkan tangannya.
“Penjaga! Bawa Pangeran ke kamarnya, jangan biarkan dia keluar Istana selama 1 bulan sebagai hukuman!” Perintah Raja, beberapa penjaga datang dan mempersilahkan Pangeran Mahkota untuk kembali ke kamarnya.
Pangeran Mahkota menggerakkan giginya dengan amarah, namun dia tak dapat melakukan apapun dan memilih pergi. Raja kembali duduk di tempatnya dan melihat beberapa orang di antara mereka yang terus berbisik.
“Apa yang membuat anda tidak senang?” Tanya Raja, tak sepantasnya dirinya harus meminta maaf. Karena para Bangsawan itu juga seharusnya mengerti tentang kejadian tersebut.
“Baginda, maaf atas kelancangan saya. Namun, akankah anda tidak salah mengambil Pangeran Mahkota? M-maafkan saya, maksud saya apakah Pangeran Mattias tidak bisa kembali ke Istana?” Tanya salah satu Bangsawan, dia memang sudah geram melihat tingkah Pangeran Mahkota yang tak mencerminkan dirinya dengan mahkota yang dia miliki.