Hangga menatap gadis kecil di hadapannya,
" bunda sedang tidak ada dirumah om.. ada pesan? nanti Tiara sampaikan.." ujar gadis kecil itu polos,
Hangga menatapnya tidak seperti biasanya, perasaan sedih dan bersalah menyeruak begitu saja, mendesak desak di dalam dadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kesedihan Yudi
Rani menyelimuti Tiara yang sudah tertidur lelap,
" Ayo bicara sebentar Ran.." suara Yudi dari balik pintu.
Mendengar suara kakaknya Rani turun dari tempat tidur dan berjalan keluar.
" Aku tidak tau mas, ternyata pemilik villa itu selama ini Hangga.." ujar Rani menjelaskan pada Yudi bagaimana bisa hangga menemukan keberadaannya.
" Tadi saja dia mengikutiku, naik bis.." imbuh Rani dengan wajah khawatir,
" Karena itu aku terpaksa berbohong, aku mengakui tiara sebagai keponakanku mas.. Terpaksa.. dari pada dia tau.."
Yudi diam, ia membakar rokok lagi.
" Lalu aku harus bagaimana mas? Masa aku harus pindah rumah?"
" tergantung," jawab Yudi setelah sedari tadi diam,
" tergantung?" tanya Rani mengerutkan dahi.
" Kalau kau masih mau menyembunyikan Tiara, kau harus terus berlari," ujar Yudi sembari menatap halaman depan rumahnya.
" Aku mau lari kemana lagi mas.. Katakan, aku harus pindah kemana lagi..?"
Suasana hening sejenak,
" mas bilang kalau kau mau terus sembunyi larilah..
tapi jika kau lelah, biarkan semua berjalan apa adanya.."
" Maksud mas?"
" Kau tidak kasihan tiara memangnya? Biarkanlah semua terbuka seiring waktu..
dia juga berhak tau siapa bapaknya.." kata kata Yudi membuat Rani tidak habis pikir, kenapa kakaknya itu tiba tiba bersikap lembek dan pasrah.
" Jujur saja.. Hari hari yang kujalani dengan tia, membuatku banyak berpikir..
sedih.. Nelangsa.. tidak bisa ku gambarkan..
umur sekian, senang senangnya bermain dengan sosok bapak..
meski Hangga tidak mau mengakuinya, setidaknya kau tunjukkan sosok bapaknya, sehingga dia mempunyai gambaran..
Ketakutanmu sama dengan ketakutanku,
Takut dia tidak di akui, tidak di harapkan, atau justru di abaikan..
tapi kau tetap tidak bisa menyembunyikan hal ini selamanya.."
" Aku tau mas, jangan kan mas, aku saja sering merasa nelangsa..
hampir setiap malam kutangisi keadaan ini..
andai dia tidak tumbuh dan lahir, mungkin hidupnya lebih bahagia.."
" kau harus rela dan pasrah.."
" tentang apa mas? tentang kenyataan hidup? Bukankah aku sudah menerima semuanya?
apa yang tidak kurelakan mas, dari aku ditinggalkan,
di nikahkan dengan orang lain, hingga aku diceraikan dalam kondisi hamil..
apa mas kira hatiku sekuat itu?
hatiku sesungguhnya sudah lama remuk mas.." air mata yang di tahan selama ini turun.
" aku sudah menerima segala keputusan mereka,
jadi, jika sekarang aku memutuskan untuk membesarkan Tiara sendiri tanpa sepengetahuan mereka,
ini adalah giliran mereka yang harus menerima.
Apalah aku dan tiara bagi mereka mas..
kami bukan sesuatu yang pantas mereka perjuangkan atau ributkan,
jadi bagiku tidak ada gunanya Hangga tau kalau dia memiliki seorang putri." ujar Rani sembari menghapus air matanya.
Yudi terdiam, ia tidak ingin membantah Rani, ia tau dengan benar betapa sulit kehidupannya setelah bercerai,
setiap malam dia selalu terisak pilu dengan perutnya yang besar.
Sebagai seorang kakak, hati Yudi lebih sakit, lebih teriris iris..
tapi melihat Tiara selama hampir dua minggu ini..
hatinya lebih teriris iris, lebih nelangsa.
Anak itu bahkan tidak tau siapa yang harus ia panggil ayah, tidak mengenal sosok seorang bapak sedikitpun.
Sehari harinya hanya dengan rani dan pengasuhnya, tidak ada satu sosok laki lakipun dalam rumah mereka.
" Baiklah.. Bagaimana kau saja yang mengaturnya,
tapi satu permintaanku, jangan mencegah, jika memang Hangga ingin dekat dengan anak itu, meskipun hangga mengenalnya sebagai anakku, tapi jangan halangi kedekatan mereka,
bukan mas membela hangga,
tapi kasihani putrimu sedikit saja.." ujar Yudi terdengar benar benar serius meminta janji Rani.
Semua keluarga sedang berkumpul untuk makan malam, termasuk Genta dan istrinya.
Laki laki yang tidak kalah ganteng, namun berpostur tubuh lebih pendek dan gemuk itu memperhatikan Hangga sedari tadi.
" Wajahku bisa berlubang jika terus di pandangi begitu." ucap hangga yang sadar sedari tadi di pandangi.
" Kau terlihat lebih kurus, makan tidak teratur?" tanya Genta,
" wah, sejak kapan mas memperhatikanku?" ejek Hangga sembari mengunyah makanannya.
" aku ini kakakmu?"
" semua orang dirumah ini tau," jawab Hangga masih enggan menjawab dengan baik dan serius.
" Sudah, makan saja, tidak usah ngobrol..!" ujar Hermawan takut anaknya ribut.
" Aku kan lama tidak bertemu hangga pa? Apa salah aku bertanya tentang kabarnya dan lainnya?" protes Genta.
" boleh, asal jangan ujung ujungnya ribut." jawab hermawan.
" Makan yang banyak mbak Santi.." hanum menjatuhkan pandangannya pada santi yang masih saja kikuk di pertemuan keluarga.
Bagaimana tidak, dia adalah perempuan yang di bawa pulang oleh Genta setelah melarikan diri dari pernikahan.
" terimakasih num.." jawab Santi tersenyum, sementara anak Genta dan Santi sibuk bermain di depan TV.
" Apa kabar mbak santi?" entah ada angin apa, Hangga yang tidak pernah menyapa itu akhirnya menyapa,
" baik.." jawab Santi.
" Wah.. Tumben kau menyapa istriku dengan akrab?" ujar Genta,
" apa salahnya menyapa kakak ipar sekali kali.." jawab Hangga santai.
" Bagaimana kabar mu sendiri ngga?" santi kembali bertanya,
" aku begini begini saja, semakin kurus dan hitam karena aku sibuk bertani.."
" kau menanam apa saja? Kenapa tidak membawa oleh oleh hasil kebunmu?" sambar Genta,
" mas mana doyan dengan buah buahan kampung.."
" menghina kau ini.. Aku suka buah buahan, apalagi jika itu yang kau tanam,"
" wah, sayang sekali rupanya mas denganku..?" lagi lagi nada Hangga tidak enak di dengar.
.....