Saran author, sebelum membaca novel ini sebaiknya baca dulu "Gadis Bayaran Tuan Duren" ya kak. Biar ceritanya nyambung.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan putra dari Arhan Airlangga dan Aina Cecilia yaitu King Aksa Airlangga dan keempat adiknya.
Sejak tamat SMP, Aksa melanjutkan studinya di Korea karena satu kesalahan yang sudah dia lakukan. Di sana dia tinggal bersama Opa dan Oma nya. Sambil menyelesaikan kuliahnya, Aksa sempat membantu Airlangga mengurusi perusahaan mereka yang ada di sana.
Tak disangka sebelum dia kembali, sesuatu terjadi pada adiknya hingga menyebabkan sebuah perselisihan yang akhirnya membuat mereka berdua terjebak diantara perasaan yang seharusnya tidak ada.
Bagaimanakah kelanjutan ceritanya?
Jangan lupa dukungannya ya kak!
Semoga cerita ini berkenan di hati kakak semua.
Lope lope taroroh untuk kalian semua 😍😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPTG BAB 18.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tak terasa sudah tiga bulan saja Aksa menetap di kota itu. Seiring berjalannya waktu hubungan keduanya tampak semakin dekat meski Aksa sendiri sudah berusaha membatasi perasaannya.
Setiap pagi Inara selalu membuatkan sarapan untuk mereka berdua, sekilas terlihat seperti pasangan suami istri tapi hanya dari luarnya saja. Inara selalu melayani kebutuhan Aksa tapi tidak untuk masalah kamar. Aksa melarang keras Inara masuk ke dalam kamarnya karena tidak ingin Inara mencurigai dirinya.
"Tok Tok Tok"
"Akbar, sarapannya sudah siap. Keluarlah, aku pergi dulu. Pagi ini aku harus menangani pasien, aku tidak boleh telat." teriak Inara dari balik pintu yang tertutup dengan rapat.
Aksa yang baru saja selesai mandi langsung keluar dari kamar hanya menggunakan celana boxer penutup bagian sensitif nya. Dia kemudian menyusul Inara menuju pintu. "Ra, tunggu sebentar!"
Inara yang sudah tiba di teras rumah langsung berbalik sehingga manik mata keduanya saling bertemu dengan tatapan yang aneh. "Ada apa? Aku harus ke rumah sakit sekarang juga,"
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu. Kepalaku pusing sekali, bisakah kamu memeriksaku sebentar?" pinta Aksa dengan air muka yang terlihat sedikit pucat.
"Kau sakit?" Inara menautkan alisnya dan berjalan menghampiri Aksa, lalu menempelkan punggung tangannya di kening Aksa.
"Kepalaku pusing sekali Ra, perutku rasanya tidak enak. Apa aku akan mati?" lirih Aksa dengan wajah lusuh yang terlihat sangat menyedihkan.
"Hahahaha... Dasar bodoh! Kamu hanya demam, mana mungkin bisa mati. Kecuali kalau ajalmu sudah tiba." Inara tertawa terbahak-bahak hingga membuat Aksa merasa tidak dipedulikan.
"Senang ya? Ya sudah pergilah, tidak usah memikirkan aku!" Aksa langsung berbalik dan melengos pergi begitu saja. Dia kembali masuk ke dalam kamar dan memilih berbaring di atas kasur.
Inara yang melihat itu hanya tersenyum sambil mengangkat bahunya, lalu meninggalkan rumah karena merasa Aksa baik-baik saja. Lagian dia sudah dewasa pasti bisa menjaga dirinya sendiri.
Aksa memang jarang sekali sakit, tapi sekalinya demam dia bisa berubah seperti anak kucing yang selalu ingin dimanja. Sayangnya Inara tidak mengerti itu dan malah pergi meninggalkannya.
Sampai siang menjelang, Aksa tetap berbaring di atas kasur tanpa makan sedikit pun. Hal itu membuat tubuhnya semakin menggigil dan muntah-muntah beberapa kali. Kepalanya semakin pusing, dia memilih meringkuk di dalam selimut tanpa pergerakan sama sekali.
Pukul dua siang Inara sudah sampai di rumah setelah menyelesaikan tugasnya di rumah sakit. Saat memasuki rumah, matanya menggelinding liar menatap seluruh sudut tapi tak menemukan Aksa di mana-mana.
Inara kemudian berjalan ke arah meja makan dan mendapati makanan yang masih utuh di dalam tudung saji. Inara terperanjat dan mulai khawatir memikirkan keadaan Aksa. Apa dia salah karena sudah mengabaikan pria itu? Padahal dia sudah minta tolong pagi tadi.
Tanpa berpikir, Inara langsung berlari menuju pintu kamar Aksa dan membuang tasnya ke sembarang tempat.
"Tok Tok Tok"
"Akbar, buka pintunya! Ini aku," teriak Inara sambil menggedor pintu, air mukanya terlihat sangat panik.
Aksa yang masih meringkuk di atas kasur mencoba menyahut tapi suaranya tidak bisa dikeluarkan. Dia berusaha turun dari tempat tidur dan mencari dinding untuk berpegang mencapai pintu.
Setelah berhasil meraih kenop pintu, Aksa membukanya dan merebahkan tubuhnya ke pelukan Inara. "Ra..."
Inara tidak kuat menopang tubuh Aksa hingga keduanya tersungkur di dasar lantai. "Aww... Sakit sekali,"
Inara mengusap bokongnya yang baru saja membentur lantai. Sementara Aksa sendiri sudah terdiam di dalam pelukannya.
Inara menepuk-nepuk pipi Aksa tapi pria itu tak menyahut lagi. Tentu saja Inara semakin panik dibuatnya. "Akbar, kau kenapa? Bangun, jangan menakuti ku!" Sayang sekali Aksa masih tak merespon sama sekali.
Inara kemudian mencoba bangkit dan membaringkan Aksa di dasar lantai. Dia menempelkan punggung tangannya di kening Aksa dan membulatkan matanya dengan sempurna. Suhu tubuh Aksa benar-benar panas hingga membuat sekujur tubuh Inara menggigil ketakutan. "Akbar, kau baik-baik saja kan? Buka matamu! Ini aku,"
Karena Aksa tak merespon, Inara kemudian berlari menuju dapur dan mengambil kotak P3K. Tak lupa pula Inara mengambil handuk kecil dan merendamnya di dalam baskom.
Inara kembali menghampiri Aksa dan mengompres keningnya, lalu mengambil obat penurun panas dan memasukkannya ke mulut Aksa. Sayang sekali Aksa tidak bisa menelannya dalam kondisi seperti itu.
Mau tidak mau Inara terpaksa membantunya. Inara mengisi mulutnya dengan air dan membuka mulut Aksa, lalu menempelkan bibirnya dan mentransfer air tersebut ke mulut Aksa hingga berserakan ke mana-mana.
"Akbar, jangan membuatku takut! Telan obatnya!" lirih Inara dengan mata berkaca. Dia tidak sanggup melihat pria yang mengaku kekasihnya itu terbaring lemah tak berdaya seperti ini.
Lalu Inara kembali menempelkan bibirnya ke mulut Aksa, Inara menyelami rongga mulut kakaknya itu dan menekan obat itu dengan lidahnya. "Telan Akbar, telan!" batin Inara yang masih berusaha membantu Aksa menelan obatnya.
"Glug!"
Aksa terbatuk-batuk saat obat itu berhasil tertelan olehnya. Matanya terbuka perlahan dan membulat mendapati Inara yang seakan tengah melu*mati bibirnya.
"Akbar, kamu sudah sadar? Kamu menakuti ku, kamu hampir saja membuatku jantungan." Inara memukul dada Aksa dan merebahkan kepalanya di dada bidang kakaknya itu. "Hiks... Kamu jahat, aku pikir kamu benar-benar mati." Inara terisak di atas dada Aksa, hal itu membuat jantung Aksa berdegup kencang seakan ingin melompat dari tempatnya.
"Tidak sayang, aku belum mati. Aku masih ingin melihatmu," gumam Aksa sambil mendekap erat tubuh Inara.
Inara yang mendengar itu langsung meraung sejadi-jadinya. Tangisannya pecah memenuhi seisi ruangan. "Jangan seperti ini lagi! Aku tidak mau kehilangan kamu, aku hanya punya kamu di sini."
"Deg!"
Jantung Aksa kembali berdegup kencang seperti tengah lari maraton. Apa maksud ucapan Inara barusan? Apa gadis itu benar-benar tidak ingin kehilangan dirinya? Apa mungkin Inara kini sudah mencintainya?
Tidak mungkin. Meski Aksa menginginkan itu, tapi Inara tidak boleh mencintainya. Jika hal itu sampai terjadi, apa yang akan terjadi dengan hubungan mereka setelah ini? Aksa tidak ingin menyakiti perasaan Inara. Aksa juga tidak mungkin merusak kepercayaan yang sudah diberikan keluarganya.
Seketika bongkahan bening itu menetes di sudut mata Aksa. Dia senang jika memang Inara menaruh perasaan yang sama terhadap dirinya, tapi dia juga sedih karena takut hubungan mereka tidak akan mendapatkan restu dari orang tua mereka.
Apa yang harus Aksa lakukan? Dia bisa menahan perasaannya sendiri, tapi bagaimana dengan Inara? Gadis itu akan terluka jika tau identitas Aksa yang sebenarnya. Aksa tau Inara membenci dirinya, mana mungkin Inara sanggup menerima kenyataan ini?
Bersambung...