Sebuah Seni Dalam Meracik Rasa
Diajeng Batari Indira, teman-teman satu aliran lebih suka memanggilnya Indi, gadis Sunda yang lebih suka jadi bartender di club malam daripada duduk anteng di rumah nungguin jodoh datang. Bartender cantik dan seksi yang gak pernah pusing mikirin laki-laki, secara tak sengaja bertemu kedua kali dengan Raden Mas Galuh Suroyo dalam keadaan mabuk. Pertemuan ketiga, Raden Mas Galuh yang ternyata keturunan bangsawan tersebut mengajaknya menikah untuk menghindari perjodohan yang akan dilakukan keluarga untuknya.
Kenapa harus Ajeng? Karena Galuh yakin dia tidak akan jatuh cinta dengan gadis slengean yang katanya sama sekali bukan tipenya itu. Ajeng menerima tawaran itu karena di rasa cukup menguntungkan sebab dia juga sedang menghindari perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya di kampung. Sederet peraturan ala keraton di dalam rumah megah keluarga Galuh tak ayal membuat Ajeng pusing tujuh keliling. Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyai Gendeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kok Sakit?
Menurut kanjeng ibu, Ajeng itu adalah perempuan yang tidak suka mengerjakan tugas rumah. Kanjeng ibu sih maklum-maklum saja, sebab di rumahnya yang megah itu sudah banyak pelayan yang bisa mengerjakan itu semua. Namun, dalam rumah tangga, menurut kanjeng ibu lagi, seorang perempuan harus pandai memasak.
Karena itulah, beberapa hari Ajeng di rumah itu, dia nampak sibuk di dapur. Belajar cara memasak dan memulainya dengan pengenalan terhadap bumbu. Beberapa kali Ajeng salah menunjuk kunyit atau jahe atau bumbu yang lain.
Ya Ajeng mana bisa masak? Masak air saja hangus! Kalau diadu meracik minuman beralkohol, baru dia ratunya.
"Itu namanya lengkuas, bukan kencur." Kanjeng ibu geleng-geleng kepala melihat Ajeng yang sedari tadi selalu terbalik-balik menyebut dan menunjuk bumbu-bumbu dapur yang sudah bertebaran.
"Maaf, Kanjeng Ibu, Ajeng selama ini memang tidak pernah memasak."
"Jadi makan selalu beli di luar?" tanya kanjeng ibu.
"Iya, Kanjeng ibu." Ajeng nyengir kuda.
"Oalah, jadi perempuan minimal harus bisa memasak. Gak mau kan kalau suaminya nanti jajan di luar, makan di luar. Seorang istri harus bisa memuaskan suami baik di dapur maupun di kasur."
Muasin apaan? Dia sama Galuh saja tidak pernah tidur satu ranjang kok. Ajeng jadi cekikikan di dalam hati mendengar kata-kata kanjeng ibu barusan.
"Jadi sekarang, Ajeng belajar masak apa ya?" tanya Ajeng sambil celingukan.
"Narti, sini sebentar. Coba ajari menantuku ini memasak yang simpel-simpel saja dulu. Kasih tahu juga resep-resep yang sering dimasak dan jadi favorit di keluarga ini."
Pelayan dengan seragam batik itu mengangguk.
"Ajeng, sekarang ikuti saja apa kata Narti. Dia kepala dapur di sini."
Ajeng mengangguk saja lalu membiarkan kanjeng ibu berlalu ke depan. Ajeng mulai bereksperimen dengan segala macam bumbu dapur dengan kepala pelayan yang sudah pusing tujuh keliling mengajari Ajeng memasak.
Namun, lama kelamaan, Ajeng mulai menikmati perannya sebagai menantu di rumah itu. Semakin hari, ia semakin pandai mengolah masakannya. Bahkan kanjeng romo memuji ayam goreng Ajeng yang sedikit eksotis karena hangus.
Sekarwangi juga sudah nampak begitu akrab dengan adik iparnya itu. Di depan semua keluarga, Ajeng melayani Galuh dengan baik seperti seorang istri sesungguhnya. Dan tepat hari ini, sebulan sudah usia pernikahan mereka.
Setiap malam hari, Ajeng dan Galuh akan keluar dari pintu belakang, tentunya dengan menyuap satpam yang bertugas untuk tutup mulut.
"Lo gak bisa apa ngomong sama kanjeng ibu dan kanjeng romo supaya kita tuh pindah aja? Sumpah, gue gak nyaman kalo tiap malem mau kerja mesti ngendap-ngendap terus," protes Ajeng di suatu malam saat ia dan Galuh sudah berada di dalam mobil untuk pergi ke bar.
"Nanti gue omongin. Sementara biarin kayak gini dulu deh. Lo tahu sendiri, kita nikah tiga bulan aja belum."
"Masa kudu nunggu sampe tiga bulan sih?"
"Ajeng, gak semudah itu keluar dari rumah keluarga besar gue setelah kita menikah."
"Galuh, bukan itu aja. Gue mulai risih dengan pertanyaan kanjeng ibu yang selalu nanya kenapa perut gue belum gede juga padahal umur kandungan gue harusnya udah tiga bulan dong."
Nah, kali ini Galuh diam seribu bahasa. Dia juga bingung musti jawab apa.
"Beberapa minggu lagi, lo pura-pura keguguran ya."
Ajeng menggigit bibirnya, nampak berpikir tapi kemudian dia mengangguk. Sungguh Ajeng jadi merasa bersalah karena sudah mempermainkan pernikahan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah terlanjur jauh dalam sandiwara yang harus segera dituntaskan itu.
"Malam ini, gue gak bisa nungguin lo di bar. Ada kerjaan gue."
Ajeng hanya mengangguk.
"Terus tar gue balik gimana?" tanya Ajeng.
"Kalo balik tar gue jemput."
Ajeng mengangguk juga. Malam ini berdasarkan meeting , akan sangat ramai karena club malam itu akan merayakan ulang tahun yang ke delapan tahun. Ajeng mungkin akan kewalahan melayani para tamu yang ingin mabuk atau sekedar minum.
Benar saja, setelah ia sampai, ia melihat club malam itu sudah sangat ramai dengan para pengunjung. Ajeng segera turun dari mobil Galuh.
Sesampainya di loker, Ajeng lupa bahwa ponselnya tertinggal di mobil suaminya itu. Ajeng bergegas keluar lagi, ia berharap Galuh belum pergi. Benar, mobil Galuh masih terparkir rapi di tempat tadi tetapi ada pemandangan yang tiba-tiba membuat Ajeng membeku.
Di dalam mobil itu, ada sekelebat bayangan perempuan dan laki-laki yang sedang berciuman panas. Ajeng bisa merasakan tiba-tiba kakinya gemetar. Ia tahu pasti itu adalah Galuh. Jadi itukah alasan Galuh tak mau menemaninya di bar malam ini?
Ajeng memberanikan diri mendekat ke mobil. Nampak Galuh melepaskan pelukan dan ciumannya kepada perempuan tadi.
"Hape gue ketinggalan," ujar Ajeng dengan suara tercekat tapi tetap diusahakan sebisanya untuk tenang.
Galuh juga sepertinya nampak gugup, ia tahu Ajeng sudah memergokinya dengan perempuan lain yang artinya dia sudah melanggar kesepakatan mereka.
"Ini." Perempuan tadi yang menyerahkan ponsel Ajeng.
"Have fun ya, gue ke dalem dulu." Ajeng berkata dengan tetap memberikan senyuman.
Galuh terpaku sesaat, ia tiba-tiba saja merasa bersalah kepada Ajeng. Ajeng sendiri masuk ke dalam bar dengan hati yang entah mengapa jadi hancur berantakan.
Dia tidak mengerti, mengapa dia harus terluka melihat Galuh bermesraan bersama perempuan lain padahal hubungan mereka sendiri jelas palsu.
Tak mau terus memikirkan Galuh akhirnya Ajeng mulai menenggelamkan diri dengan botol-botol minuman. Eh, Ajeng sempat menitikkan air mata, tapi secepatnya dia hapus sebelum orang lain melihat dan menyadarinya.
"Hai, Indi." Ajeng mengangkat wajah. Arjuna duduk tepat di depannya saat ini. Ajeng tersenyum. Sudah lama mereka tidak bertemu setelah Arjuna datang ke acara pernikahannya dengan Galuh.
"Juna, tumben lo nongol lagi." Ajeng tertawa lalu mulai meracik minuman untuk Arjuna.
"Ada yang pengen gue omongin sama lo, Ndi."
"Tentang apa, Jun?" tanya Ajeng sembari masih sibuk dengan botol-botol minuman.
"Tentang lo dan Galuh."
Ajeng menghentikan kegiatannya sebentar. "Apa yang menarik dari cerita tentang gue dan dia?" Ajeng tersenyum miris.
"Tentu aja menarik, sebab gue berapa kali lihat Galuh jalan sama perempuan lain dan lo masa bodoh dengan hal itu."
Kali ini, Ajeng benar-benar menghentikan kegitannya. Ia memandang Arjuna lekat. Apa Arjuna sudah mulai bisa mencium gelagat kepalsuannya dan Galuh selama ini.
Ajeng menarik nafas panjang lalu keluar dari meja bar.
"Ikut gue yuk, gak enak ngomonginnya di sini."
Arjuna mengangguk lalu mengikuti langkah Ajeng menuju room kosong. Di dalam sana, untuk beberapa menit pertama, ia dan Arjuna diam membisu. Teringat dengan apa yang dilihatnya di mobil beberapa saat yang lalu, Ajeng jadi mantap untuk menceritakan semuanya kepada Arjuna. Kalau Galuh bisa melakukannya dengan orang lain, kenapa dia tidak?