Maya Cantika Putri, seorang wanita cantik dan sederhana. Yang kehidupan awalnya berasal dari sebuah panti asuhan. Karena kegigihannya Maya bisa menjadi seorang dokter spesialis. Setelah dewasa secara tidak sengaja ketemu dengan ayah kandungnya, berkat bantuan seorang CEO tampan yang tidak sengaja dikenalnya. Akankah Maya bahagia dengan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba ikhlas.
Maya sangat shock mendengar semua itu.
Apa benar orang tuanya adalah orang yang sudah ditemuinya. Tapi kenapa baru sekarang, kebenaran ingin diungkapkannya.
Mama Clara mendekati Maya
"Memang butuh waktu untuk menerimanya Nak" mama Clara mengelus kepala Maya. Maya sedikit merasa nyaman. Maya yang sedari kecil hanya merasakan kasih sayang pak Bowo dan bu Marsinah, bapak ibu panti yang sangat menyayangi anak-anak panti seperti dirinya merasakan sesuatu yang berbeda ketika dielus nyonya Clara.
"Prof, tuan Suryo dan semua yang ada di sini" Maya menatap Abraham beralih ke Tuan Suryo. "Apakah pertimbangan anda semua dengan begitu yakinnya kalau saya adalah anak prof. Abraham, apakah dengan kemiripan saya dengan almarhumah istri anda prof, atau hanya karena kalung ini????" tanya Maya. Ada sedikit gurat kekecewaan di wajah Maya.
Prof. Abraham menatap Maya dengan sendu, gurat kesedihan amat nampak di sana.
"Maya, boleh aku melanjutkan bicaraku tadi. Saat aku melihat kamu untuk pertama kalinya, aku juga mengira kamu adalah jelmaan Gayatri almarhum istriku. Tapi perasaan itu aku tepis, mana mungkin Gayatri yang sudah meninggal mempunyai saudara padahal istriku anak tunggal di keluarganya. Aku juga menepis kalau kau kemungkinan anakku. Anakku yang sudah dinyatakan meninggal satu jam pasca dilahirkan. Bahkan aku belum sempat untuk menggendongnya" Prof. Abraham sudah berkaca-kaca.
Maya terdiam mendengar semua perkataan prof. Abraham. Dalam hatinya juga bertanya, bagaimana bisa dirinya mirip dengan istri prof. Abraham padahal istrinya tidak mempunyai saudara, anaknya juga dinyatakan meninggal.
Mayong terdiam mendengar semuanya. Pasti ada yang terjadi yang tidak diketahui oleh papa Suryo dan om Abraham waktu itu, pikirnya. Aku harus berbuat sesuatu untuk mengurai benang yang terlanjur kusut ini.
"Maya semua di luar kuasa kita" ujar tuan Suryo. "Bagaimana kalau untuk memperjelas semuanya, kita lakukan tes DNA aja" usul papa Suryo dengan lugas.
"Hanya dengan itu kita bisa membuktikan kebenarannya, bukankah kamu juga sedang mencari keberadaan orang tua mu Maya?" tatapan papa Suryo tanpa beralih dari Maya.
"Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan?" tanya Bara menyela.
"Kalau Maya ternyata bukan anak kandung om Abraham, bukankah kamu mau jadi adik ipar Maya Bar???" Mama Clara menggoda Bara. Mayong dan Maya saling pandang.
"Tuh, liat reaksi kakak sama Maya" mama Clara menunjuk Mayong dan Maya dengan tatapan matanya.
"Ha..ha..ha..." Bara tertawa terbahak-bahak.
"Jadi kalau hasil tes DNA Maya keluar, hasilnya cocok ataupun tidak cocok dengan om Abraham Maya akan tetap jadi keluarga kita" mama Clara sedikit memaksa.
"Setuju Ma, mama memang terbaik" ujar Bara mengacungkan dua jempolnya. Papa Surya hanya tersenyum tipis tanda setuju dengan perjodohan itu. Maya yang seorang dokter kandungan, attitudenya juga baik. Kejadian Suryolaksono yang menikah tanpa direstui mertua, tidak akan diulangnya. Kalau memang anak-anak sudah cocok, tentu niat baik tidak boleh ditunda. Begitu menurut papa Suryo.
Maya masih menelaah kejadian barusan. Bahkan untuk membayangkan hasilnya aja dia tidak berani. Anak prof. Abraham, dosen dan juga dokter favoritnya, dijodohkan dengan tuan Mayong. Membayangkan aja, Maya geleng-geleng sendiri.
"Bagaimana May, setuju tidak melakukan tes DNA? tanya papa Suryo tegas.
Mayong yang sedari tadi menyimak mulai angkat bicara " Kalau saya usul Om, sebaiknya dilakukan saja tes DNA nya. Dengan Om yang meyakini kalau putri Om meninggal sesaat setelah dilahirkan, mungkin ada kejadian yang terlewat yang tidak ketahui bersama. Barangkali saat itu ada orang yang iri atau tidak menyukai Om?" tanya Mayong penuh selidik.
Insting Mayong mengatakan kalau ada sesuatu yang terjadi saat itu.
Semua menoleh ke Maya, masih mengharapkan persetujuan Maya.
Maya akhirnya mengangguk tanda setuju. Maya tidak terlalu berharap tentang hasilnya. Tapi tetap mencoba, semoga dengan ini titik terang keberadaan keluarga kandungnya bisa ditemukan, doa Maya. Maya mencoba ikhlas apapun hasilnya.
"Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, boleh Maya pamit?" Maya pamitan karena sudah malam.
"Mayong anterin Maya" perintah mama Clara.
"Aku?" Mayong menunjuk dirinya sendiri.
"Tuh, liat Bara" Mayong menoleh ke Bara yang sudah melongo dengan mata terturup rapat, duduk di samping papa Suryo.
Mayong hanya bisa menggeleng melihat Bara, bisa-bisanya tertidur di saat-saat begini.
"Baiklah" Mayong pasrah.
"Saya pulang naik taksi online saja nyonya" Maya menyela, karena merasa tidak enak jika diantar Mayong. Mayong yang sudah kelihatan lelah, Maya tidak tega jika masih mengantarnya.
"Tidak baik anak gadis pulang sendiri malam-malam begini, ayo Mayong lekas anter Maya" mama Clara menimpali.
Mereka berdua akhirnya keluar. Maya pamitan ke ketiga orang tua di depannya, tanpa pamitan ke Bara yang tertidur duluan.
Di dalam mobil, suasana hening. Maya bingung memulai obrolan. Batang besi disampingku ini dingin sekali, batinnya. Terdengar Ed Shireen di tas Maya. "Halo, malam. Iya ada apaan mba? tanya Maya begitu membuka telpon.
"Malam dokter, mau konsul pasien baru dengan...bla...bla....." suara di seberang menjelaskan kondisi pasiennya.
"Baiklah, observasi dulu 4 jam, jangan lupa monitor denyut jantung bayi, kontraksi serta penurunan kepalanya. Jika belum ada kemajuan lapor lagi ya mba" advis Maya.
"Siap dokter" suara di seberang menutup telpon.
Mayong hanya menyimak apa yang dilakukan Maya.
"Maaf tuan Mayong, jadi merepotkan anda" Maya mulai menyapa Mayong.
"Nggak repot kok May, santai aja" ujar Mayong tanpa menoleh karena fokus menyetir.
"Emang gitu ya May, kalau dokter kandungan?" Mayong sedikit menoleh.
"Kenapa dengan dokter kandungan?" Maya heran dengan pertanyaan Mayong.
"Kalau setiap saat kamu nerima konsulan pasien berarti juga setiap saat kamu ngelonin ponsel kamu dong?" Mayong nyoba becandain Maya, tapi garing.
"Emang kamu gak capek, setiap saat ngurusin pasien. Kapan ngurusin diri sendiri? Mayong coba ngusilin Maya. Si batang besi mulai sedikit meleleh kelihatannya.
"Itu sudah panggilan jiwa, dari kecil aku memang bercita-cita jadi dokter kandungan. Melihat bayi lahir, itu sebuah keajaiban" terang Maya.
"Perempatan depan belok kanan Tuan" Maya menjelaskan karena Mayong belum pernah ke kos nya.
"Nanti turunkan aku di depan gang aja Tuan, abis itu aku jalan aja. Deket kok tempat kos ku dari ujung gang itu"
Maya tetap memanggil tuan, karena belum akrab dengan Mayong. Kecuali bersama Bara, Maya mencoba akrab dengan Mayong. Kalau ada Bara suasana akan berbeda, tidak ada kecanggungan.
"Oke, hati-hati May" Mayong menurunkan Maya sesuai permintaan Maya.
"Terima kasih tuan" Maya menutup pintu mobil hati-hati. Mayong melaju.
Maya berjalan di gang menuju kos nya. Di tengah-tengah gang, lampu yang biasanya menyala, saat itu mati. Tiba-tiba ada yang menutup hidung Maya dengan sapu tangan, beberapa detik kemudian Maya lemas tidak sadarkan diri.
#to be continued# jangan lupa tinggalin jejak yaaa..makaacihh 😊😊👌👍