Mungkin ada banyak sekali gadis seusianya yang sudah menikah, begitulah yang ada dibenak Rumi saat ini. Apalagi adiknya terus saja bertanya kapan gerangan ia akan dilamar oleh sang kekasih yang sudah menjalin hubungan bersama dengan dirinya selama lima tahun lamanya.
Namun ternyata, bukan pernikahan yang Rumi dapatkan melainkan sebuah pengkhianatan yang membuatnya semakin terpuruk dan terus meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan. Di masa patah hatinya ini, sang Ibu malah ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang ternyata adalah anak dari salah satu temannya.
Tristan, pewaris tunggal yang harus menyandang status sebagai seorang duda diusianya yang terbilang masih duda. Dialah orang yang dipilihkan langsung oleh Ibunya Rumi. Lantas bagaimana? Apakah Rumi akan menerimanya atau malah memberontak dan menolak perjodohan tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
Tidak ada yang Rumi lakukan selain memberikan tatapan datar ke arah Digo yang kini sedang berjalan mendekat pada dirinya. Bahkan Rumi kini total abai sengan layar ponselnya yang masih menyala, padahal ia hanya tinggal mengkonfirmasi untuk dijemput oleh si pengemudi ojek.
"Aku udah nyariin kamu dari beberapa hari yang lalu, tapi ternyata kamu malah nggak masuk kerja." Ternyata benar apa yang dikatakan oleh salah satu rekan kerjanya kemarin, Digo benar-benar datang untuk mencari keberadaannya.
"Ngapain nyari aku sampe ke sini segala? Urusan kita udah selesai malam itu kalo kamu lupa." Suara Rumi yang biasanya begitu mendayu dan lembut, kini telah hilang entah kemana.
Digo seolah bukan tengah berbicara dengan Ruminya, apalagi saat melihat bagaimana Rumi tengah menatap ke arah dirinya sekarang. Kesedihan, kebencian dan perasaan muak lah yang justru Digo dapatkan di kedua netra kesukaannya itu.
"Aku mau jelasin semuanya ke kamu, Rum. Tolong kasih aku kesempatan buat ngomong, sebentar aja." Setelah mengetahui kalau Digo mencari dirinya waktu itu, Rumi memang sudah mempersiapkan diri kalau-kalau pria yang sudah berganti status menjadi mantan kekasihnya ini kembali mencari dirinya.
"Di sini aja, aku kasih sepuluh menit buat kamu ngomong. Enggak lebih dari itu." Kalau boleh jujur, Digo sangat tidak menyukai saat Rumi bersikap seperti ini. Karena gadis itu berhasil membuatnya merasa kecil dan juga tersudutkan.
"Jangan di sini, kita cari cafe terdekat aja supaya lebih enak ngobrolnya." Permintaan itu tentu saja Rumi tolak dengan cara menaikkan sebelah alisnya seolah ia tengah mengatakan kalau Rumi tidak mau melakukan hal itu.
"Ayolah Rum, atau kamu mau ngobrol di cafe yang biasa kita datangi? Kalau gitu ayo kita ke—" Digo belum menyelesaikan kalimatnya, namun kini tubuhnya sudah jatuh terjerembab ke atas trotoar sana.
Sejak tadi Rumi memang sedang memperhatikan setiap gerak gerik Digo sekaligus berjaga-jaga siapa tau pria itu akan melakukan sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Namun ternyata yang Rumi temukan setelahnya adalah Digo yang terjatuh tanpa aba-aba sama sekali.
Tubuh mantan kekasihnya itu ditendang dengan sangat keras dari arah kiri dari seseorang yang ternyata adalah Rafka—adiknya sendiri. Entah kapan lelaki muda itu tiba di sana, Rumi pun tidak mengetahuinya.
"Seenaknya lo mau nyentuh Mba gue sama tangan kotor lo itu." Ah, rupanya tadi Rafka sempat melihat saat Digo akan meraih kedua tangan Rumi makanya ia segera mendekat dan langsung menendang pria itu.
"Mas cuma mau ngajak Rumi ngobrol, Raf." Karena tendangan yang Rafka berikan cukup keras, Digo merasakan rasa sakit yang teramat besar di bagian kiri tubuhnya. Sepertinya tendangan itu akan meninggalkan bekas memar nantinya.
"Iya memang kaya gitu, Mba maunya ngobrol di sini aja tapi dianya malah mau ngobrol di cafe deket sini." Hanya dengan sekali tatap saja Rumi sudah mengerti kalau Digo membutuhkan penjelasan darinya, dan itu pula yang membuat Rumi segera mengeluarkan suaranya.
"Lo boleh ngajak Mba gue buat ngobrol di cafe, tapi gue ikut." Rafka tidak akan pernah meninggalkan Rumi sendirian apalagi ia sudah mengetahui bagaimana buruknya sifat yang Digo sembunyikan selama ini dari kakaknya.
"Mas cuma mau ngobrol berdua aja sama Rumi, Raf. Kan yang punya masalah cuma Mas sama Rumi, kita bisa selesaiin ini kok jadi kamu nggak perlu sampai turun tangan segala. Mas juga nggak akan apa-apakan Rumi." Tentu saja Rafka akan memberikan penolakan dengan keras, yang benar saja ia melepaskan Rumi begitu saja ke tangan si brengsek ini. Rafka tidak mau sesuatu yang buruk menimpa kakaknya nanti.
Dan lagi, meskipun Digo sudah berjanji kalau mereka hanya akan berbicara saja tanpa melakukan apapun lagi, Rafka tetap tidak akan percaya begitu saja.
"Yaudah, kalo gitu lupain aja niat lo buat ngobrol sama Mba gue. Ayo Mba, pulang." Tanpa basa basi sama sekali, Rafka langsung menggandeng tangan Rumi dan bersiap untuk pergi meninggalkan Digo yang masih kesakitan di sana.
"Oke oke, kamu boleh ikut. Ayo kita ngobrol di cafe dekat sini." Pada akhirnya Digo menyerah dan memilih untuk menuruti inginnya Rafka, yang terpenting baginya saat ini adalah menyelesaikan masalah yang sangat fatal ini karena Digo pun tidak mau berpisah dengan Rumi sama sekali.
"Lo duluan aja, ntar gue sama Mba ngikutin dari belakang." Setelah mendengar apa yang Rafka ucapkan sebelumnya, Digo melemparkan tatapan tidak terimanya pada pemuda itu.
Ini maksudnya Rumi akan pergi bersama dengan Rafka dan dia akan pergi seorang diri sembari memandu di depan? Kenapa harus seperti itu? Kan yang kekasihnya Rumi di sini adalah Digo, bukannya Rafka.
"Buruan elah, sebelum gue berubah pikiran." Gertakan itu nyatanya berhasil membuat Digo langsung beranjak memasuki mobilnya kembali dan memperhatikan setiap pergerakan Rafka dan Rumi melalui kaca spionnya.
Sejujurnya Rumi sangat terkejut melihat bagaimana perlakuan yang adiknya berikan pada Digo. Pasalnya, dulu itu Rafka sangat menyukai mantan kekasihnya itu sampai-sampai tak jarang memberikan pujian secara gamblang di depan wajahnya.
Namun lihatlah apa yang terjadi sekarang, Rumi malah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kerasnya Rafka menendang pria yang sempat ia jadikan idola itu dan juga bagaimana cara Rafka berbicara pada Digo tadi. Adiknya ini seolah memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang.
Kalau kalian pikir Rumi lah yang telah mendoktrin Rafka agar membenci Digo, maka dugaan kalian salah besar. Rumi hanya bercerita pada keluarganya tentang Digo yang berselingkuh tanpa menambahkan bumbu kebencian apapun meskipun kenyataannya Rumi sudah sangat membencinya.
"Mba? Kok malah ngelamun sih, ini kita udah nyampe loh. Apa Mba mau pulang aja? Kalo iya biar aku anterin sampe rumah." Ah, rupanya mereka sudah tiba di salah satu cafe yang Digo pilih. Di sebelah mobil mereka pun sudah terlihat Digo yang sepertinya tengah menunggu.
"Eh maaf, Mba nggak denger tadi pas adek panggil. Ayo turun sekarang biar masalahnya cepat selesai." Anggukan Rafka berikan sebelum akhirnya ia turun dan berjalan di depan Rumi. Lelaki muda itu seolah enggan membiarkan sang kakak untuk terlalu dekat dengan Digo.
Untungnya cafe ini cukup sepi, jadi mereka bisa mengobrol dengan lebih nyaman lagi tanpa perlu merasa takut kalau akan mengganggu pelanggan lainnya.
Sebelum pembicaraan dimulai, Rafka mengambil inisiatif untuk memesankan minuman kesukaannya Rumi dan juga untuk dirinya sendiri. Jangan harap kalau Rafka mau melakukannya juga untuk Digo, ia tidak sudi sama sekali.
"Buruan." Sekali lagi, Rafka memaksa Digo untuk memulai pembicaraan ini karena ia sudah muak sekali melihat wajah si bajingan ini, jadi daripada nanti ia melayangkan pukulan lainnya lebih baik Digo berbicara sekarang juga.
"Aku mau minta maaf, dan aku mengaku salah udah ngelakuin hal itu sama rekan kerjaku sendiri. Tapi aku berani sumpah kalo aku nggak selingkuh, Rum." Sampah, ternyata Digo ini tidak lebih dari sampah. Bisa-bisanya ia mengaku kalau apa yang Rumi lihat kemarin tidak termasuk ke dalam tindakan perselingkuhan.
"Aku nggak mau putus, aku bener-bener cinta sama kamu Rum. Kamu juga tau kan kalo sekarang ini aku lagi nabung buat modal nikah kita." Tahu, tentu saja Rumi mengetahuinya karena Digo yang mengatakannya sendiri beberapa waktu yang lalu. Tapi apalah arti dari niat baik Digo kalau ternyata ia malah mengidamkan wanita lainnya.
Kalau saja Digo melakukan kesalahan lain, mungkin Rumi akan memaafkannya dengan mudah. Namun tidak dengan perselingkuhan karena Rumi tidak bisa mentolerir yang satu itu sama sekali.
Bagi Rumi, lelaki yang sudah pernah selingkuh itu tidak akan bisa sembuh begitu saja. Ia pasti akan mengulangi hal yang sama meskipun mereka telah menikah nantinya, dan Rumi hanya tidak mau hal itu terjadi padanya.
"Orang tolol mana yang bilangnya cinta tapi taunya selingkuh." Digo berhasil dibungkam oleh Rafka yang sejak mula tadi sudah mengetatkan rahangnya di sana sebagai petunjuk kalau dirinya benar-benar merasa muak.
"Mas berani bersumpah kalo Mas itu cuma cinta sama Mbamu aja, Raf." Bukannya memberikan rasa simpatinya pada Digo, Rafka justru semakin memberikan tatapan jijiknya pada pria itu. Hah, entah kapan obrolan tak berbobot ini akan berakhir.
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih