Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siap bekerja
Winda melangkah cepat menuju mobil yang sudah menantinya di lobi. Ia menghela nafas lega begitu telah memasuki mobil itu.
"Jalan Pak," perintahnya pada sopir yang sudah siap di belakang kemudi.
"Baik Nyonya," balas sopir itu, kemudian melajukan mobil perlahan keluar dari area rumah sakit.
Winda menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil dengan perlahan. Matanya melihat ke arah luar jendela namun tatapannya terlihat kosong.
Pikirannya kembali teringat pada sosok gadis perawat bernama Amara itu lagi. Entah magis apa yang dia miliki hingga gadis itu berhasil membuat lidahnya terasa kelu.
Jangankan mengancam, untuk memperingatkan saja Winda tak sampai hati. Bola mata yang bening, senyuman tulus yang menghiasi wajah, serta perilaku ramah yang menghangatkan hatinya.
Gadis apa adanya yang selalu berbuat baik tanpa kepura-puraan, benar-benar sesuai dengan apa yang puteranya ceritakan.
Pertemuan mereka kali ini benar-benar merubah pandangan buruk Winda pada Amara. Ia semakin mengerti mengapa Juan tergila-gila dan tetap bertahan mencintai gadis itu meski hanya dalam diam.
Winda malah merasa dirinya sangat jahat karena membiarkan Gladys mengganggu gadis yatim piatu itu tanpa berusaha mencegahnya.
Namun dirinya juga tak memiliki keberanian untuk mengatakannya pada sang putera. Karena dia masih ingin selamat. Namun ia juga merasa lega, setidaknya ia meyakinkan sendiri gadis itu dalam keadaan baik-baik saja.
"Mama dari mana saja?" pertanyaan Juan menyambut kedatangan Winda yang baru saja melangkah memasuki rumah.
"Mama baru ada urusan sebentar." Winda menjawab hangat pertanyaan puteranya. Ia melangkah mendekati Juan yang tengah duduk dengan santai di sofa ruang tengah. "Kamu kok sudah di rumah? Nggak kerja?"
"Aku sengaja pulang cepat Ma, pengen istirahat. Kepalaku pusing." Juan menjawab sembari tersenyum. Namun pandangannya kembali fokus pada ponsel di tangannya.
"Emmm, Kasihan ,,," ujar Winda sambil memijat kepala putranya. "Kalau pusing kenapa nggak tidur? Sudah minum obat?"
"Belum," Juan menggeleng lemah. "Tapi ini aku mau hubungi Amara dulu, mau tanya obat yang harus aku minum itu apa."
Mendengar nama Amara disebut seketika membuat Winda terkejut takut. Tanpa sepatah kata, ia menarik diri memilih menjauh dari puteranya.
Dengan mengendap-ngendap Winda melangkah keluar dari sana, dan bersembunyi di balik tembok, sekiranya masih bisa mendengar suara Juan dari tempatnya.
Suara Juan bahkan terdengar jelas di telinganya. Entah apa yang dibicarakan, hingga Juan bahkan tersenyum, tertawa, bahkan mengejek gadis di seberang sana dengan begitu akrabnya. Sepertinya hanya obrolan ringan yang terjadi di antara mereka.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Winda yang tiba-tiba muncul sesaat setelah Juan memutuskan sambungan.
"Cuma tanya masalah obat," Jawab Juan singkat. Namun sedetik kemudian ia menoleh dan menatap sang mama dengan mata menyipit seperti menyelidik. "Tumben Mama kepo, biasanya kan nggak peduli?"
"Kamu ini maunya apa si? Mama bersikap acuh, salah. Kepo juga salah. Heran ,,," gerutu Winda dengan nada kesal, lantas berlalu pergi meninggalkan Juan.
Tak ingin berdebat, Juan hanya mengekori langkah sang mama melalui pandangan sambil berdecak heran.
Winda merebahkan tubuhnya diatas ranjang untuk melepaskan segala penat serta pening di kepala untuk sejenak. Menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali berputar pada kejadian tadi, serta rasa bersalah pada Juan yang tak berani ia akui.
Tubuh yang tengah terlentang itu langsung melenting bangun saat mengingat sesuatu. Tangannya bergerak meraih tas yang tegerletak di sisi sebelum kemudian mengeluarkan obat pemberian Amara. Ia hampir membuka obat itu andai saja tidak ingat akan pesan Amara agar meminumnya setelah makan.
Winda bergegas berhambur keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang makan. "Juan! Sudah makan belum? Makan bareng yuk!" teriakannya keras hingga membuat Juan terkejut.
"Apaan sih, Ma? Kenapa teriak-teriak!"
"Ayo makan siang bareng Mama! Sekalian Mama mau omongin hal penting sama kamu."
"Hal penting?" gumam Juan bertanya-tanya.
"Juan!"
"Iya, Ma, bentar!" balas Juan dengan nada tinggi, lantas beranjak menghampiri sang mama.
***
Pagi ini entah kenapa Amara merasa malas untuk bangun. Tak seperti pagi-pagi biasanya, gadis itu bahkan kembali tarik selimut usai menunaikan shalat subuh. Bukan untuk kembali tidur, tapi hanya sekedar bermalas-malasan di bawah gulungan selimut hangat. Rasa lelah dan lemas akibat kurang tidur membuatnya tak bersemangat memulai hari ini.
Semua persiapan telah selesai ia lakukan. Ia hanya perlu mandi dan bersiap, lalu menunggu seorang sopir yang akan datang untuk menjemput. Amara sudah mengetahui hal ini, sebab Dokter Khanza telah memberitahunya kemarin saat memanggil untuk mempertanyakan keputusan.
Ia betul-betul harus mempersiapkan mental dan fisiknya untuk menghadapi tantangan ini. Entah siapa dan bagaimana orang yang akan ia rawat nanti, sebab Dokter Khanza benar-benar tak mau memberi sedikitpun gambaran mengenai pasien itu.
Baru membayangkan akan berhadapan dengan pasien gangguan mental sudah membuatnya merasa down duluan, lalu bagaimana nanti setelah berhadapan? Bayangan fisik yang menyeramkan bahkan sudah memenuhi isi kepalanya. Ia bahkan tak yakin bisa bertahan lama bekerja di sana. Namun bukankan untuk bisa tahu seseorang perlu mencobanya dulu?
Suara klakson mobil membuyarkan lamunan. Ia bergegas bangkit dan menarik koper berisi barang-barangnya, kemudian melangkah mendekati mobil mewah berwarna hitam itu.
"Selamat pagi. Dengan Nona Amara, ya?" Lelaki paruh baya yang keluar dari mibil itu pun bertanya dengan ramah.
"Betul Pak, saya Amara," jawab Amara sembari tersenyum.
"Saya sopir yang ditugaskan menjemput Nona. Mari silakan masuk," sopir itu tersenyum, tangannya mengarahkan Amara pada pintu mobil yang sudah terbuka lebar.
"Terimakasih, Pak," Amara menganggukkan kepala sebelum akhirnya masuk kedalam mobil.
Sopir itu menutup pintu mobil lalu berjalan menuju bagasi untuk memasukan koper Amara di sana. Setelahnya ia berjalan menuju sisi pintu pengemudi dan masuk.
"Nama bapak siapa? Biar saya enak manggilnya," tanya Amara saat mobil mulai melaju.
"Nama saya Muhammad Ibrahim Al Idrus Bin Jailani Al Musthofa, Non."
Itu beneran nama Bapak sendiri? Nggak ada yang nyewa nama tetangga, gitu? Kalau ada yang manggil dengan nama lengkap diaminin saja ya, Pak. Pasti orang tua Bapak memberi nama baik itu bukan tanpa sebab, tapi demi kebaikan putranya, batin Amara.
"Hehe, panjang amat ya pak," Amara tersenyum geli. "Jadi manggilnya harus lengkap, ni?"
"Orang-orang biasanya manggil dengan Mamad saja, Non. Kalau lengkap banyakan lupanya," sahut Mamad sambil tertawa geli.
Amarapun tertawa kecil menanggapi. "Kalau gitu saya panggilnya Pak Mamad juga, ya. Biar sama dengan yang lain."
"Iya Non."
"Bapak manggil saya Amara saja. Jangan pakai Nona ya, sayanya jadi nggak nyaman." Jelas Amara kemudian.
"Iya Mbak Amara."
"Bagus," balas Amara sambil tersenyum senang.
***
Setelah beberapa lama menempuh perjalanan, akhirnya mobilpun berbelok memasuki gerbang besar sebuah rumah yang sangat mewah.
Rumah berlantai tiga itu dikelilingi tembok tinggi sebagai pembatas dengan area luar. Halamannya juga luas dengan taman bunga yang kian memperindah.
Beberapa kolam ikan mini yang yang rancang dengan apik yang kian mempercantik taman itu sendiri. Yang dihuni oleh ratusan ekor ikan koi berwarna-warni.
"Mari masuk Mbak Amara," ajak Pak Mamad sembari melangkah mendahului Amara menuju pintu masuk utama. Amara pun mengikutinya di belakang.
Seorang wanita paruh baya yang sepertinya sudah tak asing bagi Amara datang menyambut mereka.
"Selamat datang Nona Perawat," sapa Eli sambil mengulurkan tangannya untuk menyalami.
"Assalamualaikum Bi Eli," Amara mengucapkan salam sambil tersenyum. Sementara tangannya bergerak menyambut uluran tangan Bi Eli.
"Waalaikumsalam. Udah siap bekerja?" tanya wanita dengan celemek terpasang di badan itu untuk memastikan.
Amara tersenyum. "Insyaallah siap," jawabnya mantap.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨