Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Ryan mendorong pintu Prestige Bar, aroma tembakau dan parfum mahal langsung menerpa indranya. Musik jazz mengalun lembut, menciptakan suasana remang-remang yang dramatis. Ia menemukan Axel di sudut bar, sosoknya tenggelam dalam bayangan, gelas wiski setengah penuh di depannya— pemandangan yang sangat kontras dengan citra Axel yang biasanya dingin dan kejam. Ryan nyaris tak percaya. Axel yang rapuh?
Ryan menarik kursi, duduk di hadapannya.
"Hei, Iceman, apa yang terjadi? Kau terlihat seperti baru saja kalah perang melawan pasukan beruang kutub," katanya, suaranya dipenuhi dengan nada mengejek yang ringan, berusaha memecah keheningan yang berat sekaligus mengusik sahabatnya.
Axel mengangkat gelasnya, meneguk wiski dalam diam. Sejenak, ia menatap Ryan, matanya berkaca-kaca.
"Lima tahun, Ryan. Lima tahun dia akan pergi." Suaranya terdengar parau, hampir seperti bisikan.
Ryan menahan senyum.
" Axel yang lemah lembut? Lima tahun? Itu waktu yang cukup lama untuk membangun sebuah kerajaan, atau menghancurkan satu hubungan," katanya, mencoba menyelipkan sedikit humor, meskipun ia tahu itu mungkin tidak akan sepenuhnya berhasil.
"Atau mungkin cukup waktu untuk menemukan seorang pengganti yang lebih… menarik?" Ia menambahkan dengan nada menggoda.
Axel tersenyum getir.
"Aku merasa seperti sedang membangun sebuah monumen untuk kesendirianku," katanya, suaranya penuh dengan kepedihan yang terselubung.
"Kau tahu, aku selalu berpikir aku cukup kuat untuk ini. Aku selalu berpikir aku bisa mendukung mimpinya, tanpa harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Tapi ternyata…" Ia terdiam, menggelengkan kepalanya pelan.
Ryan meletakkan tangannya di atas meja, dekat dengan tangan Axel.
"Oh, Iceman yang rapuh," katanya, masih dengan nada mengejek, tapi kali ini lebih lembut.
"Dia pergi bukan karena dia tidak mencintaimu. Dia pergi karena dia mencintaimu dan dia mencintai mimpinya. Dan terkadang, cinta itu berarti harus melepaskan… dan sedikit menangis secara diam-diam di bar mewah."
Axel menatap gelas wiski nya, jari-jarinya mengelus permukaan gelas itu dengan perlahan.
"Mudah bagimu untuk mengatakannya," katanya, suaranya masih parau.
"Kau tidak merasakan apa yang kurasakan. Rasa hampa ini… seperti ada bagian dari diriku yang ikut pergi bersamanya."
Ryan mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong. Ia tahu Axel butuh waktu untuk memproses perasaannya.
"Aku tahu," jawab Ryan,
"dan itu wajar. Tapi hei, Iceman yang tangguh, ingat, ini bukan akhir cerita. Ini hanya… bab baru. Bab yang mungkin sulit, tapi juga bab yang bisa kau tulis sendiri. Dan aku yakin, bab ini akan jauh lebih menarik daripada yang kau bayangkan."
Axel mengangkat wajahnya, menatap Ryan dengan tatapan yang sedikit lebih cerah.
"Mungkin kau benar," katanya, suaranya masih berat, tapi ada sedikit harapan yang mulai muncul. "Mungkin aku hanya perlu waktu… dan mungkin beberapa gelas wiski lagi."
Ryan tersenyum, sebuah senyum yang tulus dan penuh pengertian.
"Waktu, dan beberapa ejekan lagi dariku," katanya, sambil mengangkat gelasnya sendiri. "Untuk Emily, dan untuk bab baru yang penuh kejutan dari Iceman kita."
Mereka berdua bersulang, gelas mereka beradu dengan bunyi yang lembut, diiringi alunan musik jazz yang masih mengalun lembut di Prestige Bar. Malam itu, di tengah kesunyian dan bayangan, persahabatan mereka menjadi cahaya yang menerangi jalan yang gelap dan penuh ketidakpastian.
Axel dan Ryan, duduk di sudut Prestige Bar, menikmati wiski mereka. Suasana yang tadinya santai, tiba-tiba berubah tegang. Tatapan Axel terhenti pada dua sosok di dekat pintu— Elina dan Luna, bawahan mereka. Bukan sekadar pertemuan tak terduga, tetapi kemunculan mereka di sini, di tempat yang Axel sendiri telah menyelamatkan Elina dari cengkeraman Mr. Budi, memicu amarah yang membara di dalam hatinya.
Elina, biasanya ceria, tampak gelisah. Luna, biasanya tenang, tampak tegang. Ada sesuatu yang tidak beres. Axel merasakannya.
Axel berdiri mendadak, gelas wiski nya hampir terjatuh.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dingin, penuh amarah.
"Bukankah aku sudah memperingatkan mu? Jangan pernah kembali ke tempat ini!"
Elina tersentak, wajahnya pucat. Luna mencoba menenangkan Elina, tetapi Elina tetap terdiam, ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Ryan, memperhatikan situasi yang semakin tegang, mencoba menengahi.
"Axel, tenanglah," kata Ryan, suaranya lembut.
Axel menatap Elina dengan tajam.
"Setelah aku menyelamatkanmu dari Mr. Budi, kau malah kembali ke sarangnya?" Amarahnya memuncak. Ia ingat jelas bagaimana ia harus berjuang keras untuk menyelamatkan Elina dari cengkeraman Mr. Budi, bagaimana ia harus menghadapi ancaman dan bahaya demi menyelamatkan Elina, dan bagaimana ia telah memperingatkan Elina untuk tidak pernah kembali ke tempat itu.
Luna akhirnya angkat bicara, suaranya bergetar. "Tuan ini soal Sophia… adik Elina…"
Elina, yang sebelumnya terdiam, akhirnya angkat bicara, suaranya terisak.
"Ayahku… dia terlilit hutang… dia menjual Sophia ke Mr. Budi…"
Sophia, adik Elina yang masih muda dan polos, menjadi korban dari hutang ayahnya yang tak terbayarkan. Axel tahu, ia harus bertindak. Ini bukan soal Elina yang kembali ke Prestige Bar, tetapi soal menyelamatkan nyawa seorang gadis muda.
Ryan, yang telah memahami situasi, berkata,
"Kita perlu menyelamatkan Sophia. Mr. Budi tak akan pernah melepaskannya begitu saja."
Axel menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan amarahnya. Ia menatap Elina, matanya masih tajam, tetapi ada sedikit kelembutan yang mulai muncul.
"Baiklah," katanya, suaranya masih dingin, tetapi ada tekad yang kuat di baliknya.
"Kita akan menyelamatkan adikmu. Tapi setelah ini,aku tidak ingin melihatmu di tempat ini lagi."
Malam itu, di Prestige Bar, amarah Axel bercampur dengan tekad untuk menyelamatkan Sophia. Pertempuran melawan Mr. Budi, dan juga pertempuran batin Axel sendiri, baru saja dimulai.
Axel dan Ryan, Elina dan Luna, berhasil menyusup ke sebuah ruangan. Mereka menemukan Sophia, terkurung dan ketakutan. Ryan, dengan keahlian bertarungnya, mengalihkan perhatian para pengawal Mr. Budi, sementara Axel dan Elina mendekati Sophia.
Saat Axel hendak meraih Sophia, Mr. Budi muncul, pistol terarah. Namun, sebelum peluru melesat, Elina bergerak cepat, mengadang peluru yang ditujukan untuk Axel. Suara tembakan menggema. Elina jatuh, terkapar di lantai, darah membasahi gaunnya. Ia jatuh tepat di depan Axel, yang terpaku kaget.
Axel menunduk, melihat Elina yang terluka parah. Amarah dan kepedihan bercampur aduk dalam dirinya. Elina, bawahannya, telah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan dia. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia adalah atasan Elina, seharusnya ia yang melindungi Elina, bukan sebaliknya.
Luna, yang berhasil mengendalikan para pengawal bersama Ryan, berlari menghampiri mereka. Ryan memeriksa luka Elina, sementara Luna menenangkan Sophia yang histeris. Situasi kacau.
Axel menggendong Elina, matanya berkaca-kaca. Ia membawa Elina keluar dari ruangan itu, melewati lorong-lorong yang kini sunyi dan gelap. Ryan dan Luna mengikuti di belakangnya, membawa Sophia yang masih menangis ketakutan.
Di luar Prestige Bar, di bawah langit malam yang gelap, Axel merasakan beban yang sangat berat. Ia berhasil menyelamatkan Sophia, tetapi dengan harga yang sangat mahal. Elina, bawahannya, telah terluka parah karena menyelamatkannya. Ini bukan hanya soal tanggung jawab profesional, tetapi juga soal rasa bersalah dan kepedihan pribadi.
Ryan segera menghubungi ambulans. Axel memeluk Elina erat-erat, bisikan maaf dan rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia telah gagal melindungi bawahannya. Kegagalan ini akan menjadi beban berat dalam hidupnya. Keberhasilan menyelamatkan Sophia terasa hampa karena dibayar dengan pengorbanan Elina. Malam itu, di bawah langit gelap, Axel merasakan konsekuensi dari tindakannya, konsekuensi yang jauh lebih berat daripada yang pernah ia bayangkan. Ia telah menyelamatkan satu nyawa, tetapi kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan yang lain.
(mungkinkah Axel memiliki trauma dimasa lalu? sehingga membuat kepribadiannya selalu ber ubah ubah)
.
.
Lanjut yah
See you 😍