"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjatuh
Malam turun perlahan di pesantren itu. Lampu-lampu temaram menyala di sepanjang lorong, suara jangkrik bersahut-sahutan, dan ayat-ayat Al-Qur’an terdengar lirih dari beberapa kamar santri. Rania duduk di ranjang kecil kamar tamu Nafisah, punggungnya bersandar pada bantal, kedua tangannya bertaut di atas perutnya yang sudah membesar.
Di dalam rahimnya, bayinya bergerak pelan—seolah ikut merasakan gelisah yang tak terucap. Rania tersenyum kecil.
"Tenang ya, Nak… Sebentar lagi Mama akan memastikan kamu aman."
Nafisah memperhatikannya dari sudut ruangan. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sempit malam itu. Rania terlalu tenang. Terlalu pasrah.
“Kamu capek?” tanya Nafisah akhirnya.
Rania menggeleng. “Gak. Justru rasanya ringan.”
Kalimat itu membuat Nafisah tercekat. “Ran… kamu jangan ngomong gitu.”
Rania menoleh, matanya lembut. “Mbak, kamu percaya gak… kadang Allah ngasih perasaan tertentu bukan buat ditakuti, tapi buat disiapkan?”
Nafisah duduk di sampingnya. “Aku gak suka arah pembicaraan ini.”
Rania tersenyum. “Aku juga sebenernya. Tapi aku lebih gak suka kalau aku pergi tanpa ninggalin apa-apa.”
Nafisah memegang tangan Rania erat. “Kamu gak akan ke mana-mana.”
Rania tidak menjawab. Ia hanya mengusap perutnya pelan.
“Mbak,” ucapnya lirih, “kalau nanti anak ini lahir, pastikan dia tumbuh dengan cinta. Jangan biarkan dia kekurangan pelukan.”
Air mata Nafisah jatuh tanpa izin. “Kamu ngomong seolah-olah—”
“Aku cuma ibu yang lagi belajar ikhlas,” potong Rania lembut.
Malam semakin larut.
Zaki mengumandangkan doa-doa pendek di ruang tengah. Nafisah keluar sebentar, meninggalkan Rania sendirian.
Rania berdiri perlahan, melangkah ke jendela. Dari sana terlihat halaman pesantren yang sunyi. Langit gelap bertabur bintang.
Ia menempelkan telapak tangan ke kaca. "Ya Allah… Kalau memang besok bukan lagi milikku, jaga mereka yang aku cintai. Jaga suamiku. Jaga anakku. Dan jika Engkau izinkan, titipkan anakku pada perempuan yang Engkau pilihkan untuknya."
Bayangan Laras terlintas di benaknya. Perempuan yang kuat dalam diam. Perempuan yang tahu caranya mencintai tanpa banyak menuntut. Perempuan yang tidak akan membiarkan anaknya merasa sendirian.
Air mata Rania jatuh. Bukan karena takut mati. Melainkan karena cintanya terlalu besar untuk ditinggalkan begitu saja.
Tak lama, Bani mengetuk pintu.
“Sayang?”
Rania menoleh. Ia tersenyum—senyum paling utuh yang pernah ia berikan. “Iya, Mas.”
Bani mendekat, membantu Rania kembali ke ranjang. “Kamu kenapa senyum terus?” tanya Bani, mencoba bercanda meski hatinya gelisah.
Rania menatap wajah suaminya lama, menghafal setiap garisnya. “Mas…”
“Kalau nanti Mas bangun dan aku lagi gak di samping Mas—”
“Rania,” potong Bani cepat. “Jangan ngomong aneh-aneh.”
Rania menggeleng pelan. “Dengerin dulu.” Ia menggenggam tangan Bani, menempelkannya ke perutnya. “Anak kita kuat. Jangan ragu milih dia.”
Bani terdiam. Dadanya sesak tanpa tahu sebabnya. “Aku akan selalu ada,” lanjut Rania lirih. “Dalam doa. Dalam setiap napas anak kita.”
Bani memeluk Rania erat malam itu—terlalu erat, seolah takut kehilangan. Dan tanpa mereka sadari, malam itu adalah malam terakhir Rania menginap dengan nama dunia.
Besok, ia akan pulang— menuju takdir yang sudah ia terima dengan cinta.
***
Angin berdesir di antara pohon-pohon tua, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di kamar sederhana yang diterangi lampu temaram, Nafisah duduk bersila menghadap sajadah.
Tangannya terangkat. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Ya Allah…” bisiknya gemetar, “Jika semua ini hanya ketakutan seorang hamba, jauhkanlah.” Ia menghela napas panjang. “Tapi jika ini firasat…” suaranya nyaris tak terdengar, “maka kuatkanlah hati kami. Lindungilah Rania. Jangan Engkau ambil ia sebelum anaknya lahir dengan selamat.”
Nafisah terdiam lama. Dadanya sesak. “Dan jika takdir-Mu berbeda dari doa kami,” lanjutnya lirih, “jangan Engkau biarkan anak itu tumbuh tanpa cinta. Jangan biarkan Bani kehilangan arah. Jangan biarkan Laras menanggung beban yang tak ia minta.”
Tangannya gemetar saat menutup doa. “Aamiin.”
Di luar kamar, Bani berdiri sendirian di serambi pesantren.
Langit gelap tanpa bintang.
Ia bersandar pada tiang kayu, menatap halaman yang sepi. Dadanya terasa tidak tenang sejak tadi—seperti ada sesuatu yang hendak direnggut darinya, tapi ia tidak tahu apa. Ia menekan dadanya sendiri. “Kenapa rasanya begini…” gumamnya.
Bani bukan orang yang mudah takut. Tapi malam itu, ketenangannya runtuh perlahan.
Bayangan Rania tersenyum, mengusap perutnya, tertawa kecil—semua itu datang silih berganti seperti perpisahan yang belum terjadi, tapi sudah terasa. “Jangan bercanda, Tuhan,” bisiknya. “Aku belum siap.”
Ia mengangkat wajahnya ke langit. “Jangan ambil istri aku. Jangan ambil ibu dari anak aku.”
Angin berdesir lebih kencang. Entah doa siapa yang lebih berat malam itu—Nafisah yang menangis dalam sujud,
atau Bani yang berdiri kaku dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.
Yang pasti, malam itu… tak satu pun dari mereka tidur dengan tenang. Dan tanpa mereka sadari, takdir sedang berjalan pelan—menuju hari yang akan mengubah segalanya.
***
Subuh di pesantren terasa lebih hening dari biasanya. Usai salat, Rania tidak langsung kembali ke kamar. Ia berdiri sejenak di serambi masjid, menghirup udara pagi yang dingin. Tangannya refleks mengusap perutnya yang sudah membesar.
Ada rasa hangat.
Dan juga… rasa pamit.
Tak lama, dua sosok kecil berlari menghampirinya.
“Tante Rania!”
“Atheef! Hanifa!”
Rania tersenyum lebar. Ia berjongkok pelan, membuka kedua tangannya. Atheef dan Hanifa langsung memeluknya erat.
“Kita jalan-jalan ke taman yuk,” ajak Rania lembut.
“Sekarang?” tanya Hanifa polos.
“Iya. Sekarang.”
Mereka berjalan menyusuri taman pesantren yang masih basah oleh embun. Burung-burung berkicau pelan. Matahari baru naik, sinarnya lembut, tidak menyilaukan. Rania duduk di bangku taman. Atheef di sebelah kanan, Hanifa di kiri. Tangannya merangkul mereka berdua.
“Kalian sayang tante?” tanya Rania tiba-tiba.
“Iya!” jawab mereka serempak, nyaring.
Rania tersenyum, matanya berkaca. “Kalau nanti anak tante sudah lahir, kalian mau kan jaga dia?"
“Atheef mau!”
“Hanifa juga mau!”
“Kami jaga adeknya,” tambah Atheef serius, seperti anak kecil yang sedang membuat janji besar.
Rania tertawa kecil, tapi air matanya jatuh. “Kalau suatu hari tante gak bisa sering ketemu kalian…” suaranya bergetar, “…kalian tetap jaga adik tante, ya.”
Hanifa memeluk perut Rania. “Adiknya di sini kan, Tante?”
“Iya,” jawab Rania pelan.
“Atheef nanti ajarin ngaji,” kata Atheef bangga.
“Hanifa ajarin doa sebelum tidur,” sambung Hanifa.
Rania memejamkan mata. Dadanya sesak oleh rasa haru yang tak mampu ia jelaskan. “Terima kasih, ya,” bisiknya. “Tante titip.”
“Tante jangan nangis,” ujar Hanifa polos.
“Kami di sini,” tambah Atheef.
Rania mengangguk. Ia mengusap rambut mereka satu per satu, seakan menghafalkan sentuhan itu.
Di taman pesantren yang tenang, di pagi yang terlalu indah untuk sebuah perpisahan, Rania menitipkan sesuatu yang paling berharga—bukan hanya anak yang belum lahir, melainkan harapan, bahwa cintanya tidak akan ikut pergi bersamanya. Dan tanpa mereka sadari, pagi itu adalah salam terakhir Rania sebagai seorang calon ibu yang masih utuh.
***
Mobil Bani berhenti di halaman rumah menjelang sore.
Rania turun pelan, satu tangannya menahan perutnya yang semakin besar, satu tangannya lagi menggenggam lengan Bani.
“Hati-hati,” ucap Bani seperti biasa.
Rania tersenyum. “Iya, Mas.”
Rumah itu terasa sama, tapi entah mengapa Rania merasa asing. Seperti sedang pulang ke tempat yang sebentar lagi akan ia tinggalkan.
Malamnya, selepas maghrib, Rania keluar dari kamar dengan gaun sederhana berwarna krem. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya pucat tapi cantik.
“Mas,” panggilnya lembut.
Bani menoleh dari sofa. Seketika ia berdiri.
“Kamu kenapa dandan?”
Rania tersenyum kecil. “Aku pengen makan malam di luar.”
Bani mengernyit. “Sekarang? Kamu gak capek, sayang?"
“Aku gak capek,” sahut Rania cepat. “Aku cuma… pengen berdua sama kamu.”
Nada suaranya terlalu halus. Terlalu hati-hati. Seperti sedang mengumpulkan kenangan.
Bani mendekat, meraih wajah Rania. “Kalau kamu kenapa-napa—”
“Aku baik-baik saja,” potong Rania sambil tersenyum. “Aku cuma ingin malam ini… jadi malam kita.”
Bani mengangguk, walau hatinya tak sepenuhnya tenang.
“Aku tunggu di bawah ya,” kata Rania. “Aku ambil tas dulu.”
Bani mengiyakan.
Rania melangkah keluar kamar, menuruni tangga dengan langkah pelan. Satu tangannya memegang pagar kayu, langkahnya hati-hati seperti biasa. Dan entah bagaimana—
Kakinya terpeleset.
“Mas—!”
Suara itu terputus oleh bunyi tubuh yang jatuh menghantam anak tangga.
Tubuh Rania terguling, perutnya terbentur, kepalanya menghantam sisi tangga. Gaun krem itu seketika ternoda merah.
“RANIA!”
Bani berlari, dunia di sekitarnya runtuh.
Ia berlutut, mengangkat tubuh istrinya yang sudah lemas. “Ran… Ran, lihat Mas… Ran!”
Darah mengalir deras.
Rania membuka mata dengan susah payah. Tangannya meraih baju Bani, mencengkeram lemah.
“Mas…” suaranya nyaris tak terdengar.
“Iya, sayang. Mas di sini. Tahan ya. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Bani gemetar, tangannya penuh darah istrinya.
“Mas…” Rania menarik napas berat. “Kalau… kalau terjadi apa-apa…”
“Jangan ngomong gitu!” bentak Bani, suaranya pecah.
Rania tersenyum tipis—senyum yang penuh pasrah. “Pilih anak kita…”
Air mata Bani jatuh. “Jangan tinggalin Mas, Ran… Aku mohon…”
Rania menatapnya lama, seolah ingin menghafal wajah itu untuk terakhir kali. “Titip Naura…” bisiknya. "Itu nama anak kita yang aku pilih."
Kelopak matanya perlahan menutup. “RANIAAA!”
Bani berteriak, suaranya menggema di rumah yang mendadak terasa kosong.
Malam yang seharusnya menjadi makan malam sederhana, berubah menjadi malam yang memisahkan hidup dan mati.