Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membeli Waktu dengan Harga Diri
Yasmeen menatap tajam ke arah utusan itu. Di balik dada mungilnya, detak jantungnya berirama kacau. Harith. Sang Emir muda yang pernah ia nikahi, yang ia layani dengan kesetiaan buta, dan yang entah bagaimana, telah memberinya hidup penuh derita politik sebelum kematian dini mereka berdua. Nama itu saja sudah cukup memicu rasa sakit yang familiar.
Tiga puluh hari.
Itu waktu kritis. Itu adalah waktu yang cukup bagi Permaisuri Hazarah untuk mempersiapkan seluruh pasukan jika Yasmeen menunjukkan sedikit saja kelemahan.
Tiga puluh hari. Itu waktu yang sama dengan waktu ia jatuh sakit di kehidupan lalu, tak lama sebelum Harith datang mengambilnya. Ini bukan tenggat waktu, ini adalah waktu yang ia berikan pada Permaisuri untuk menghancurkannya dari dalam.
Yasmeen memaksakan senyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. Kosong dan dingin.
“Sampaikan terima kasih saya yang tulus kepada Permaisuri Hazarah atas kemurahan hatinya memberikan waktu luang ini, Al-Sharif. Nayyirah akan siap. Kami akan menjadi tuan rumah yang sempurna untuk Emir Al-Qaim,” katanya dengan nada manis yang memuakkan. “Tolong pastikan kau memberinya detail lengkap tentang keindahan padang gurun yang akan ia warisi.”
Al-Mustafa membungkuk dangkal, mengambil janji itu sebagai penyerahan diri total. Ia melangkah keluar dengan langkah besar, diikuti oleh para pengawalnya yang kewalahan membawa kotak-kotak rampasan yang mahal.
Yasmeen sudah berhasil. Penolakan halus Yasmeen atas kompensasi Zahir dan pemaksaan mereka menerima hadiah Nayyirah telah menciptakan kesan yang rumit—dia tidak lemah, tapi bersedia memberi kompensasi.
Saat pintu tertutup di belakang Al-Mustafa, Tariq menggebrak meja marmer di samping Yasmeen. Suara dentumannya tajam dan memekakkan telinga, meluapkan frustrasi yang tertahan.
“Tiga puluh hari? Sayyidah! Kita berhasil menahan Zahir, kita menyelamatkan Oasis Azhar, tapi kita tidak bisa lolos dari cengkeraman Kesultanan? Kita baru saja menukar air kita dengan pernikahan yang sama sekali tidak kita inginkan!” Kemarahan Tariq murni, berasal dari loyalitas yang tersakiti dan keputusasaan.
Yasmeen bangkit dari kursinya, tangannya menggenggam tepi meja yang terbuat dari kayu aras tua. Kekalahan itu pahit, tapi kemenangan kecil Oasis Azhar masih bisa ia nikmati. Dia menoleh ke Tariq, matanya yang berwarna madu menunjukkan perhitungan yang cepat dan dingin.
“Kita telah berhasil menghancurkan fondasi kekuasaan Zahir. Kita membeli tiga puluh hari kedaulatan, Khalī Tariq. Kita tahu garis batasnya,” kata Yasmeen. “Harith akan datang, tetapi dia tidak akan datang untuk seorang anak kecil sakit-sakitan yang bisa ia nikahi begitu saja. Dia akan datang untuk seorang penguasa muda yang stabil... atau penguasa muda yang merepotkan.”
Tariq menggeleng. “Emir Harith datang untuk melihat kepatuhan, Sayyidah. Semua orang tahu dia ingin seorang permaisuri yang lemah agar kekuasaannya mutlak di Azhar.”
“Tepat. Dan di kehidupan lalu, itulah yang mereka dapatkan: aku adalah seorang istri yang penurut, terisolasi, dan lemah,” balas Yasmeen, melangkah ke jendela besar, menatap cakrawala yang membara. “Mereka berpikir Harith akan datang dan menguji aku dengan soal jahitan atau puisi. Kali ini, kita akan memberinya sesuatu yang berbeda untuk diuji.”
Ia menoleh, wajahnya tegas. “Tariq, Harith adalah orang yang membenci intrik, tetapi dia lebih benci kekacauan administratif yang dapat merusak citranya di mata pedagang. Kita harus menunjukkan bahwa aku bukan lagi milik Zahir atau boneka Permaisuri. Fokus kita kini adalah tiga hal. Satu: Menjaga diriku agar tetap hidup. Dua: Mengubah citra Nayyirah di mata rakyatnya. Tiga: Mempersiapkan sambutan yang tidak akan disukai Emir Harith, dengan menampilkan kekacauan yang terstruktur.”
Tariq mengerti. Jika Harith yakin Nayyirah adalah ladang masalah finansial dan militer yang rumit, dia akan membatalkan pernikahan demi menjaga stabilitas kekaisaran.
“Kita harus mengubah Emirat ini dalam tiga puluh hari, Khalī Tariq,” tuntut Yasmeen. “Aku harus mempelajari setiap arsip perdagangan, setiap kasus pajak yang belum selesai, setiap perjanjian air yang tersembunyi. Kita akan mengubah struktur pajak yang mencekik pedagang kecil. Aku ingin orang-orang melihat perubahan di sini, dan perubahan itu datang dariku.”
“Baik, Sayyidah,” jawab Tariq, mengangguk penuh tekad. “Di mana kita memulai pertunjukan kekuatan ini?”
Yasmeen mengambil perkamen tua dan pena dari meja. Ia menulis cepat, tangannya yang mungil menulis kaligrafi yang indah dan jelas, gaya tulisan yang persis seperti mendiang Kakeknya.
“Kita akan mulai dengan yang paling terbuka. Kirim surat rahasia kepada Kabilah Al-Jarrah di perbatasan selatan. Katakan bahwa pewaris sejati Nayyirah memanggil janji Jaddī kami. Katakan aku butuh kehadiran mereka, dan mereka harus datang tanpa pemberitahuan resmi. Mereka harus berada di sini sebelum lima belas hari,” perintah Yasmeen.
Memanggil Kabilah Al-Jarrah—kabilah purba yang secara terbuka menolak kekuasaan Kesultanan—adalah provokasi militer yang berani dan gila.
Tariq sedikit ragu. “Memanggil Al-Jarrah... bukankah itu terlalu terbuka? Harith akan melihatnya sebagai ancaman perang.”
“Justru itu tujuannya, Tariq. Aku harus menakutinya,” balas Yasmeen. “Al-Jarrah adalah pedang yang harus aku tunjukkan. Aku harus menunjukkan bahwa mengambil alih Nayyirah bukan hanya tentang sebidang tanah gurun, tapi tentang konflik berdarah dengan kabilah fanatik. Ini bukan hadiah, ini adalah beban militer.”
“Aku akan mengurus Al-Jarrah. Dan masalah Zain, Sayyidah? Apakah dia akan dibiarkan pergi begitu saja dengan ide-ide Zahir di benaknya?” tanya Tariq.
Yasmeen meremas tangannya di dada, rasa sakit atas trauma masa lalu kembali menyeruak. Tidak. Zain harus dihancurkan.
“Mehra dan Zahir telah diasingkan, tetapi kita tidak bisa melupakan Zain. Dia akan tumbuh menjadi ancaman besar, jika aku tidak menghancurkan fondasi kepercayaannya sekarang.”
“Kita akan mengadakan satu pertemuan publik kecil. Aku harus memastikan dia tahu persis siapa dia di Nayyirah yang baru ini,” putus Yasmeen. Ini adalah penghancuran mimpi yang disengaja, sebuah tindakan pencegahan kejam demi keselamatannya sendiri dan masa depan Emirat.
Lima hari berlalu seperti hembusan angin badai. Arsip menumpuk, lilin terbakar hingga larut malam. Wazir Khalid terkejut dengan kecepatan Yasmeen mencerna dokumen pajak dan memahami skema administrasi yang rumit.
Pada hari keenam, sebuah surat dari Syekh Al-Jarrah tiba melalui pembawa pesan rahasia: "Kami akan tiba pada hari kesebelas, dengan seribu pedang dan loyalitas darah." Yasmeen memiliki lima hari tersisa untuk mengurus urusan internal.
Ia telah mengatur pertemuan dengan Zain, yang diminta dengan sangat sopan oleh Mehra agar anak itu ‘berpamitan’ sebelum pengasingan ke perbatasan gurun. Yasmeen menyetujuinya, dengan syarat publik, di taman utama, disaksikan oleh pengawal.
Di bawah naungan pohon zaitun tua—tempat yang konon pernah digunakan kakeknya untuk menghukum pengkhianat—Zain datang, ditemani Mehra dan Ruqayyah yang tampak lemah. Zain, meski baru lima tahun, membalas tatapan Yasmeen dengan keberanian yang terinspirasi oleh kebohongan ayahnya.
“Aku dengar kau anak yang cerdas. Katakan padaku, siapa kau di rumah ini?” panggil Yasmeen, suaranya tenang namun formal, menghukum.
Zain menegakkan dirinya. “Aku adalah putra Sayyid Zahir, dan aku adalah Sayyid yang akan belajar darimu, Sayyidah. Abī bilang, aku adalah cahaya berikutnya setelah kau meninggalkan kami.”
Tariq mengeras di samping Yasmeen, bersiap untuk segalanya. Para pengawal menyaksikan drama kejam ini dalam keheningan total.
“Zain, kau adalah seorang bocah laki-laki yang lahir di Sayap Barat,” ujar Yasmeen, suaranya menembus seperti bilah pisau gurun. “Kau adalah putra Sayyid Zahir, pengkhianat yang diasingkan, dan ibumu adalah selir yang telah melanggar kesetiaan. Di istana ini, tidak ada gelar yang lebih besar dariku. Aku adalah darah Nayyirah yang Murni. Aku adalah masa depan, dan kau… kau tidak punya tempat. Kau hanya seorang Tamu.”
Wajah Zain yang berusia lima tahun memucat total. Ia mulai menangis, air mata kebencian dan rasa malu yang mendalam. Itu adalah bibit kebencian masa depan yang familiar bagi Yasmeen. Mehra menjerit dan memeluk putranya, menuduh Yasmeen kejam.
“Dia harus mengerti bahwa ilusi Zahir sudah berakhir. Nayyirah tidak memiliki Sayyid atau Pangeran yang disiapkan. Hanya ada seorang Emirah,” tegas Yasmeen. “Tariq, pastikan mereka dikawal dengan hormat, tapi cepat. Dan berikan perintah yang tegas kepada para pengawal di perbatasan: Jika Zain pernah mencoba menulis atau mengirim pesan yang mengganggu stabilitas Emirat, segera putuskan jari yang menulis.”
Tariq membungkuk. Zain memandang balik, tatapannya membara penuh kebencian. Misinya berhasil: dia telah menanamkan jarak yang mematikan.
Di hari ketujuh, tiga hari sebelum Kabilah Al-Jarrah dijadwalkan tiba, Yasmeen tenggelam dalam dokumen hutang Kesultanan ketika sebuah ketukan mendesak terdengar di pintu.
Tariq membuka pintu. Itu adalah seorang prajurit Kabilah Al-Jarrah yang tiba tergesa-gesa. Dia tampak sangat lelah, debu gurun tebal menutupi jubahnya.
“Apa yang terjadi? Kau datang sendiri?” tanya Tariq.
“Syekh memerintahkan aku datang dengan tergesa-gesa,” kata prajurit itu, wajahnya menunjukkan ketegangan. Dia membungkuk pada Yasmeen, menyerahkan sebuah gulungan perkamen yang baru.
“Surat apa ini?” tanya Yasmeen, meraih gulungan itu.
“Bukan dari kami, Yang Mulia. Ini adalah dokumen yang kami sita dari seorang Kurir yang hendak melewati wilayah kami menuju ke Kota Agung. Kurir itu berasal dari istana, mengenakan lambang Zahir,” jelas prajurit itu. “Syekh khawatir, surat ini mungkin mengancam kedatangan kami.”
Tariq segera memeriksa gulungan itu. “Lambang Faris, Sayyidah. Bukannya dia masih kritis?”
Yasmeen merobek segel dan membaca isinya. Itu adalah laporan detail yang ditujukan kepada Permaisuri Hazarah. Surat itu menjelaskan penahanan Zahir, pengasingan Zain, dan yang paling penting, surat itu menyebutkan tentang kabilah liar Al-Jarrah yang diundang ke Nayyirah untuk menimbulkan kerusuhan militer, yang mana akan melanggar perjanjian perdamaian lama antara Kesultanan dan Nayyirah.
Waktu yang ia beli telah direnggut kembali. Jika Hazarah menerima informasi ini, dia akan mengirim Emir Harith untuk 'menstabilkan' Nayyirah jauh sebelum 30 hari berakhir.
“Siapa yang mengirim surat ini?” tanya Yasmeen, suaranya rendah dan berbahaya.
“Kami menginterogasi kurir itu, Sayyidah. Dia berkata bahwa ia hanya diutus oleh…” Prajurit itu menelan ludah, takut oleh intensitas mata gadis kecil itu.
“Oleh siapa, Khalī? Katakan!” bisik Yasmeen.
Prajurit itu menggigil, lalu berbisik: “Oleh Faris. Dia sudah bangun, dan dia mengirim pesan dari penjara istanamu.”
Faris, anjing setia Zahir. Mata yang berhasil menembus jantung pengamanannya, bahkan dari balik jeruji besi.