NovelToon NovelToon
Pengantin Dunia Lain

Pengantin Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:749
Nilai: 5
Nama Author: BI STORY

Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jelang Pernikahan

Pagi hari yang cerah di pelataran depan SMA Harapan Bangsa. Suasana ramai dan penuh sukacita.

​Sebuah spanduk besar bertuliskan "SELAMAT ATAS KELULUSAN ANGKATAN XII" terbentang di atas gerbang sekolah.

Beberapa guru berkumpul di dekat pintu masuk, wajah mereka berseri-seri, menyalami para murid yang baru saja menyelesaikan acara kelulusan. Bunga, balon, dan tawa bertebaran di udara.

Dimas, 19 tahun, tinggi, rapi dengan toga yang masih dikenakan, menatap keramaian.

Di matanya terpancar kebahagiaan bercampur keharuan. Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan di punggungnya. Ia berbalik

​Alice, 19 tahun, cantik, rambut panjang tergerai, juga mengenakan toga. Matanya berkaca-kaca, memancarkan perasaan yang sama.

​Alice dengan suaranya yang sedikit bergetar berkata,

"Dimas... Kita lulus."

Dimas tersenyum lebar. Ia membuka tangannya, dan Alice langsung menyambutnya. Mereka berpelukan erat, melupakan keramaian di sekitar mereka.

​Dimas membisik di rambut Alice,

"Kita berhasil, yank. Tiga tahun. Akhirnya"

​Alice mengeratkan pelukan.

"Aku bangga sama kamu. Aku enggak nyangka, waktu terasa cepet banget. Dulu kita cuma pacaran sembunyi-sembunyi di perpus, sekarang..."

​Mereka melepaskan pelukan, tetapi tangan Dimas masih memegang erat kedua bahu Alice. Mereka saling menatap, mata mereka penuh makna.

Dimas mengusap lembut air mata haru di pipi Alice dengan ibu jarinya.

"Sekarang, enggak ada lagi yang perlu disembunyiin. Enggak ada lagi PR, enggak ada lagi ujian. Tinggal rencana kita." ucap Dimas.

​Seorang guru senior, Bapak Rudi, lewat di dekat mereka sambil tersenyum tulus.

​Pak Rudi dengan sedikit teriak berkata,

"Selamat ya, Dimas, Alice! Kalian berdua memang pasangan teladan! Semoga kalian sukses di jenjang berikutnya!

​Dimas & Alice."

"Terima kasih, Pak!" serentak Dimas & Alice membalas.

​Dimas kembali fokus pada Alice. Ia menggenggam tangan Alice, lalu mencium punggung tangan itu.

​Dimas berkata,

"Aku enggak sabar."

​Alice menarik napas dalam-dalam.

"Aku juga. Aku masih enggak percaya, kita akan serius secepat ini. Aku ingat kamu bilang, lulus, langsung nikah." Aku kira kamu cuman canda." kata Alice.

​Dimas tertawa kecil

"Aku enggak pernah bercanda soal kita. Secepatnya. Beberapa bulan lagi. Kita urus semua dan setelah ini aku mau kamu jadi yang pertama dan terakhir. Nyonya Dimas."

​Alice senyumnya mengembang, matanya berbinar-binar.

"Aku mau. Aku janji, aku akan jadi istri terbaik buat kamu. Aku enggak akan berhenti bersyukur bisa ketemu kamu di sekolah ini."

​Dimas memegang dagu Alice, lalu menunduk, mencium keningnya lama.

"Aku cinta kamu, calon istriku. Ayo kita rayakan kelulusan terakhir kita sebagai pacar. Setelah ini, kita akan merayakan hidup kita sebagai suami istri."

​Dimas merangkul Alice, dan mereka berjalan menjauhi gerbang sekolah, berbaur dengan keramaian, namun dunia terasa milik mereka berdua. Di belakang mereka, para guru masih melambaikan tangan dengan wajah penuh kebanggaan.

Sore harinya di rumah Alice.

Kamar yang didominasi warna lembut dan tertata rapi. Ada dua ranjang single yang saling berdekatan. Alice sedang duduk di tepi ranjangnya, mengeluarkan beberapa barang kenangan dari tasnya, kartu ucapan dari guru, sebuah boneka kecil dari Dimas.

Aline 19 tahun, saudara kembar Alice, sedang menyisir rambut di depan cermin, tampak lebih tenang namun ada gurat sedih samar di wajahnya.

Alice tersenyum penuh arti sambil memegang cincin tipis yang diberikan Dimas dulu, bukan cincin lamaran sungguhan, melainkan janji.

​Alice bersemangat lalu berucap,

"Aku sudah bilang ke Dimas, kita harus cari vendor katering yang enak. Bukan yang cuma kelihatan mewah tapi rasanya standar. Aku mau resepsi kita nanti berkesan."

Aline tanpa menoleh, suaranya pelan menyahut

"Resepsi, ya... Secepat itu?"

​Alice menoleh ke Aline, raut wajahnya agak heran,

"Iya, Lin. Kenapa? Tadi kamu di sekolah biasa aja. Kan kita sudah pernah bahas ini. Dimas sudah janji. Setelah lulus, kita menikah."

​Aline meletakkan sisirnya, membalikkan badan, menatap Alice dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku tahu. Aku cuma... enggak menyangka bakal secepat itu. Baru tadi pagi kita pakai seragam. Baru tadi siang kita berdua dinyatakan lulus. Dan beberapa bulan lagi, kamu akan pindah rumah."

​Alice berjalan mendekati Aline, memegang tangan saudari kembarnya.

"Hellouw! Lin, kamu bicara seperti aku mau pindah ke planet lain. Aku cuma pindah ke rumah Dimas. Kita masih bisa ketemu setiap hari, kok."

​Air matanya Aline mulai menggenang, ia menggeleng pelan,

"Bukan itu masalahnya, Alice. Masalahnya adalah, kita. Kita selalu berdua, sejak kecil. Kita kembar. Aku gak pernah bangun tidur tanpa melihat kamu di sebelahku. Aku gak pernah merayakan ulang tahun tanpa meniup lilin bareng kamu."

​Alice membawa Aline duduk di tepi ranjang, merangkulnya erat.

"Oh, dear. Aku tahu. Aku juga sedih, tahu? Aku juga takut. Tapi ini kan hidup, Lin. Kita enggak bisa selamanya jadi anak SMA yang manja dan selalu berdua."

​Aline meredam tangisnya.

"Aku cuma... aku gak siap melihat kamu dewasa secepat ini. Kamu duluan yang akan menikah. Bagaimana kalau setelah ini kita jadi punya rahasia? Bagaimana kalau kita tidak lagi punya waktu buat cerita semua hal kecil?"

​Alice melepaskan rangkulan, menangkup wajah Aline.

"Dengar aku. Kita enggak akan pernah punya rahasia. Dan aku janji, kita akan selalu punya waktu. Kamu akan jadi maid of hlonor aku! Kamu akan jadi orang pertama yang aku curhati kalau nanti aku bertengkar sama Dimas, which is semoga enggak akan pernah pertengkaran itu terjadi."

​Aline sedikit tersenyum, hidungnya memerah

"Kamu janji?" tanya Aline.

Alice mengangguk yakin.

"Aku janji. Aku menikah dengan Dimas, bukan memutuskan hubungan dengan kembaranku yang paling bawel. Aku butuh kamu. Aku butuh kamu bantu pilih gaun pengantin. Jadi, jangan sedih. Harusnya kamu senang, aku enggak akan jomblo lagi, kan?"

​Aline memeluk Alice erat, kali ini pelukan haru yang lebih menerima. Rasa sedihnya masih ada, tapi ia berusaha ikhlas.

​Aline terdengar lebih tenang.

"Baiklah. Aku akan bantu kamu. Tapi kamu harus janji, gaun pengantinnya nanti harus yang terbaik dan aku mau Dimas sering-sering traktir aku makanan."

​Alice tertawa lega,

"Deal! Dimas enggak akan keberatan. Dia tahu, kalau mau dapat aku, dia harus dapat kamu juga."

Mereka berdua tertawa, tawa yang meredakan ketegangan dan menguatkan ikatan mereka di tengah rencana masa depan yang berbeda.

Satu Jam Kemudian

​Cahaya matahari sore masuk melalui jendela dapur yang besar. Alice, mengenakan kaos putih sederhana, sedang menyusun piring-piring bersih ke dalam lemari.

Ada senyuman samar di wajahnya, namun matanya sesekali melirik ke luar jendela.

​Dari jendela, bisa melihat taman belakang rumah yang rimbun. Sebuah bangku taman kayu tua terletak di bawah pohon mangga yang rindang.

Aline duduk menyendiri di bangku taman itu. Ia mengenakan kaos dengan warna yang sama. Rambut panjangnya tergerai tak beraturan, dan matanya memandang kosong ke arah bunga-bunga yang bermekaran di sekelilingnya.

Ada kesedihan yang mendalam terpancar dari raut wajahnya. Ia memeluk lututnya, seolah mencari kenyamanan dari dirinya sendiri.

​Alice menghela napas panjang. Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi khawatir. Ia tahu persis apa yang dirasakan kembarannya.

Pernikahannya yang semakin dekat, alih-alih membawa kebahagiaan penuh, justru meninggalkan jejak melankolis pada Aline.

​Alice meletakkan piring terakhir, lalu mendekat ke jendela, memegang bingkainya. Ia memperhatikan Aline dengan tatapan penuh kasih sayang, namun juga dilema. Ia ingin menghibur Aline, tetapi ia tahu ada batasan yang sulit ditembus.

​Seekor kupu-kupu hinggap di bahu Aline, namun ia tidak bereaksi. Pikirannya jauh melayang. Ia teringat masa kecilnya bersama Alice, selalu berdua dalam segala hal. Bermain, belajar, bahkan bermimpi.

Ide bahwa ikatan tak terpisahkan itu akan berubah, membuat hatinya sakit.

​Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menahan air mata yang mendesak.

Terlalu banyak kenangan yang berputar di benaknya. Kenangan indah yang kini terasa pahat.

​Alice menyentuh kaca jendela, seolah ingin meraih Aline. Ada rasa bersalah yang menggerogoti. Ia bahagia akan pernikahannya, tentu saja.

Calon suaminya adalah pria baik yang sangat ia cintai. Tapi ia tidak pernah membayangkan kebahagiaannya akan membawa kesedihan bagi saudara kembarnya.

​Ia berbalik dari jendela, mengambil ponselnya di meja, lalu mengetik pesan singkat. Ia ragu sejenak, lalu menekan tombol kirim.

​Ponsel Aline yang tergeletak di sampingnya bergetar pelan. Ia membuka matanya, melirik ponsel itu, namun tidak langsung mengambilnya. Setelah beberapa saat, ia meraihnya dengan malas.

​Membaca pesan dari Alice

"Aku membuatkan teh chamomile hangat. Masuk gih ke dalam?"

​Aline menatap layar ponsel, lalu mengangkat pandangannya ke arah jendela dapur. Ia melihat Alice masih berdiri di sana, menatapnya dengan senyum tipis yang getir.

​Aline mencoba membalas senyuman itu, namun bibirnya terasa kaku. Sebuah pertarungan batin terjadi di dalam dirinya.

Antara keinginan untuk tetap sendiri dalam kesedihan, atau bangkit dan berbagi momen dengan Alice, meskipun itu berarti menghadapi kenyataan yang sulit bahwa sebenarnya Aline juga jatuh cinta pada Dimas.

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!