Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJW 14 Dinner
Luna memperhatikan wajah Hasan yang sedang meneguk minuman darinya. Ada butiran butiran keringat di kening laki laki itu.
Reflek Luna mengambil sapu tangan di saku kemeja dan mengusap kening laki laki itu. Mengeringkan keringatnya.
Panas, batinnya ketika kulit tangannya bersentuhan dengan kening laki laki itu.
Hasan yang baru saja menghabiskan minumannya, terpaku dan perlahan meletakkan botol itu di sampingnya.
"Sorry, haram, ya," sarkas Luna sambil bermaksud menarik tangannya. Tapi dia terkejut karena Hasan menahannya.
"Kalo kamu.... ngga apa apa. Terimakasih," jawab Hasan membuat Luna ganti terpaku.
Luna jadi teringat lagi kata kata Laila.
"Kamu membuat Hasan selalu melanggar aturan. Dia jadi sering melakukan dosa tanpa dia sadari."
Menyebalkan, dengusnya dalam hati.
Luna melepaskan tangan Hasan dengan tangannya yang bebas. Hasan tersenyum saat pegangannya terlepas.
Luna duduk di samping laki laki itu, menyandar di sandaran kursi. Tangannya mengambil satu lagi botol kecil berisi air mineral. Untung tadi dia ambil dua.
Dia meminumnya sedikit, kemudian membuka kotak roti yang tadi diberikan Ajeng. Masih ada satu potong roti dalam ukuran cukup besar.
Luna membagi dua roti itu dan memberikannya pada Hasan yang mau saja menerimanya.
Mereka menghabiskan parohan roti itu saling diam.
Luna meneguk lagi sedikit airnya. Kemudian agak menengadahkan kepalanya. Dia memejamkan matanya sebentar. Dia benar benar lelah malam ini.
"Boleh minta minumnya?"
"Itu bekasku."
"Ngga apa apa." Tanpa menunggu jawaban Luna lagi, Hasan mengambil botol minuman di tangan Luna dan meminum isinya.
Luna menatap ngga pecaya. Laki laki itu mau minum bekas dari bibirnya?
Manis, batin Hasan dengan desiran panas di dadanya.
"Kalo calon istrimu tau bagaimana? Kelakuanmu di luar nalar," sindir Luna dengan rona merah di pipinya. Dia merasa debar aneh di dadanya saat melihat laki laki itu minum tadi.
Kalo perempuan itu tau, bisa ma ti, 'kali, batin Luna geli.
"Dari kemarin aku sibuk banget," curhat Hasan mengalihkan topik.
"Tenggorokan kamu sakit?" tanya Luna setelah mengamati keadaan Hasan. Hasan masih menatap lurus ke arah pot pot bunga di depannya.
"Ya, kayaknya radangku belum sembuh."
"Kamu demam."
Hasan tersenyum.
"Tubuhku malah rasanya dingin."
"Obat tensinya sudah diminum?"
"Belum." Hasan mengeluarkan plastik obat di dalam sakunya. Tanpa ragu dia segera menelannya dan menghabiskan minuman Luna.
"Kunci mobil kamu? Biar aku saja yang nyetir." Luna tau keadaan Hasan sudah ngga baik baik saja.
"Aku masih kuat. Kita pergi sekarang?" tolak Hasan sambil bangkit berdiri.
Luna juga ikutan berdiri.
"Aku mau makan bakmi kuah. Kamu mau?" Hasan butuh makanan yang segar segar untuk meredakan perih di tenggorokannya.
"Kamu punya tempat makan bakmi yang enak?" tanya Luna
Hasan berjalan mengikuti Luna.
"Di restoran hotel bintang lima?" tanya Hasan.
"Kenapa harus restoran di hotel bintang lima, sih?" Lidahnya butuh yang ekstrim.
"Kamu mau di roof top hotel aja?" tanya Hasan lagi menawarkan.
"Tempat kamu biasa makan aja," tolak Luna.
Hasan terdiam. Tempat biasa dia makan?
Dia jarang makan di luar. Uminya biasanya menyuruh orang mengantarkan makan siang ke perusahaan. Lebih sering juga makan di kantin atau di rumah makan padang saja kalo uminya sibuk. Kecuali permintaan klien yang meeting saat makan siang atau makan malam di restoran mewah.
Tapi kalo bersama adiknya, mereka lebih suka makan di lesehan biasa. Atau memborong makanan dari penjual keliling untuk dimakan dengan para santri.
"Aku biasanya makan di rumah," ucap Hasan apa adanya.
"Umi dulu pernah jadi chef," jelasnya lagi ketika Luna masih menatapnya tanpa bisa mengeluarkan bantahan.
"Oooh, masakannnya enak, dong, umi kamu," puji Luna tulus.
"Begitulah. Aku juga bisa masak Kalo mau nanti sesekali akan aku masakkan buat kamu."
Luna tertawa mendengarnya. Aneh aja, biasanya perempuan yang menawarkan masakannya.
Dia bisa masak? Luna sulit percaya.
"Waktu di Kairo dan di Amerika, aku bosan beli, karena menunya itu itu saja. Jadi kalo ngga sibuk, aku masak di apartemen," jelas Hasan.
Luna manggut manggut. Selama kuliah di Inggris, Luna membawa koki. Hanya Ayra yang hobi mengutak atik dapur.
"Aku punya tempat makan bakmi yang enak," putus Luna karena Hasan masih belum bisa kasih solusi.
"Oke, di restoran mana?" tanya Hasan sambil membukakan pintu mobil.untuk Luna.
Luna tersenyum samar ketika melihatnya. Ada desiran halus di dadanya.
Dia ngga salah, kan, kalo senang dengan perlakuan Hasan?
Tapi kemudian dia teringat si sombong yang merasa sudah jadi calon istri Hasan.
Sama yang itu, gitu juga ngga, ya? Batinnya menolak ge er.
"Nanti aku kasih tau."
"Oke."
Senyum Luna masih terulas di bibirnya ketika Hasan menutup pintu mobilnya. Tapi dia pura pura ngga mau melihat Hasan.
Hasan juga tersenyum dalam diam. Dia melipat bibirnya sambil berjalan memutari kap depan mobilnya.
*
*
*
"Di sini?" Hasan menatap bingung ketika Luna memintanya berhenti di pinggir tanah kosong yang ramai oleh pembeli dari gerobak penjual kaki lima.
"Bakmi di sini enak. Kami sering makan di sini. Martabaknya juga enak," ceplos Luna memuji.
Hasan takjub mendengarnya. Bayangkan saja, mobil mobil mewah mereka parkir di sini?
Sekarang saja mobilnya tampak jomplang di deretan motor motor yang ada di sini.
"Kalo radang kamu sudah sembuh, kita bisa makan bebek goreng di sini," ucap Luna sambil melepas seatbeltnya.
"Kita?" Hasan menatap Luna dengan senyum di bibirnya.
Luna baru tersadar dia sudah salah bicara. Belum sempat diralat, Hasan sudah menodongnya lagi.
"Jadi nanti kita bisa makan bebek berdua lagi?"
Kembali pipi Luna merona.
"Berdua terus, nanti ketiganya muncul setan," balas Luna pura pura sewot sambil membuka pintu mobilnya. Hampir saja dia tersandung heelsnya sendiri ketika turun dari mobil karena salah tingkah.
Hasan tertawa mendengarnya, sambil membuka pintu mobilnya.
Kedatangan mereka membuat banyak pasang mata yang melayangkan tatap kagum. Dikira artis, karena terlalu tampan dan cantik.
Hasan agak rikuh tapi dia jadi tenang melihat Luna yang tampak santai.
"Kamu mau bakmi kuah?" tanya Luna.
"Iya."
Luna mendekati bapak bapak yang menjual bakmi.
"Dua, ya, pak, bakmi kuahnya. Makan di sini."
"Iya, non."
"Nanti bungkusin juga, pak, empat bakmi goreng. Yang pedas seperti biasa. Oh ya, pak, yang makan di sini tadi, satunya ngga pedas, satunya lagi pedas seperti biasa."
"Siap, non." Luna mengeluarkan dua lembar uang seratusan.Tapi dia kalah cepat dengan Hasan.
"Biar aku saja."
"Ya, makasih kalo gitu. Tapi nanti masih mau borong yang lain. Masih tetap mau bayarin?" todong Luna cuek. Dia sengaja mau buat Hasan ilfeel
"Ngga apa apa."
"Kalo umi kamu, mau ngga martabak sama bebek goreng?" tanya Luna.
"Boleh juga." Hasan tetap tersenyum dan mengikuti langkah Luna yang menuju gerobak martabak yang lebih dekat.
"Martabak asin dua, manis dua, pak. Yang super, ya."
"Siap, non."
"Tambah dua lagi yang asin sama yang manis, pak."
"Siap, mas."
Hasan mengulurkan dua lembar uang seratusan sambil menatap Luna.
"Segini cukup?"
"Tambah satu lagi yang manis, pak," sahut Luna.
"Siap, nona."
"Ngga apa apa, kan?"
Hasan mengangguk.
"Padahal pesananku tadi dua kotaknya buat umi kamu."
"Makasih, ya. Aku pesan buat yang nyantri. Malam malam mereka suka ngaji di masjid."
"Oooh..." Awalnya ingin buat Hasan Ilfeel, Luna jadi punya ide lain.
"Kalo gitu, kali ini aku aja yang bayar bebek gorengnya, ya."
"Jangan, biar aku aja tetap yang bayar."
"Aku juga mau pahalanya. Masa buat kamu semua."
"Niatnya udah jadi pahala."
Selalu aja ada bantahan dari Hasan. Tapi tiap kata kata yang terucap dari bibir Hasan membuat hatinya tersipu.
"Bang, bebek gorengnya yang utuh dua belas, emm.... San, cukup ngga, kalo buat santri kamu sebelas bebeknya?"
"Lebih dari cukup. Satunya malah bisa buat makan umi, abi dan adikku Faris.. Ohya, berapa harganya, bang?"
"Sembilan ratus ribu, mas."
Hasan mengeluarkan sembilan lembar uang seratusan. Dalam hati dia bersyukur karena membawa cukup banyak uang cash di dalam dompetnya.
jujur aku penasaran kenapa hasan menolak laila??
ataukah dulu kasus luna dilabrak laila,, hasan tau??
udah ditolak hasan kok malahan mendukung tindakan laila??
Laila nya aja yg gak tahu diri, 2x ditolak msh aja ngejar²😡