Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulau Langit
nb: perkamen adalah kertas khusus yang terbuat dari kulit hewan
*****
Setelah membaca perkamen dari Penatua Klan Adhitama, ketegangan di penthouse terasa mencekik. Gavin membuang gulungan itu ke meja, tangannya mengepal erat. Ini adalah pertama kalinya Karina melihat Gavin Adhitama menunjukkan kecemasan.
"Pulau Langit," bisik Gavin, nadanya dingin dan penuh kewaspadaan. "Itu bukan nama yang indah, Karina. Itu adalah nama benteng kuno klan kami. Tempat di mana kekuasaan dan tradisi dipandang lebih penting daripada hukum negara mana pun."
"Kenapa kau begitu tegang, Gavin? Kau Pemilik Phoenix Group. Bukankah kekayaanmu membuatmu setara dengan mereka?" tanya Karina, bingung.
Gavin menggeleng. "Kau tidak mengerti, Karina. Phoenix Group adalah bagian dari kekayaanku, tetapi Klan Adhitama adalah sumber dari segalanya. Mereka adalah bankir bagi raja-raja, pemilik lahan yang tak terhitung, dan mereka bergerak di luar jangkauan media. Mereka tidak peduli dengan saham di bursa. Mereka hanya peduli dengan Marga."
Gavin menjelaskan bahwa Klan Adhitama memiliki aturan ketat yang dibuat berabad-abad yang lalu. Salah satu aturannya adalah, pewaris utama harus menikah dengan wanita yang disetujui, atau setidaknya diuji secara ketat. Wasiat kakek Gavin hanyalah ujian awal. Ujian dari Penatua adalah klimaksnya.
"Penatua ada tiga belas orang," lanjut Gavin. "Mereka adalah hakim, juri, dan algojo. Jika mereka memutuskan kau tidak layak, mereka akan memaksa kita bercerai. Mereka bahkan mungkin mencoba menikahkanku dengan salah satu putri dari keluarga aliansi mereka."
Karina merasakan rasa takut yang sesungguhnya. Ancaman ini jauh lebih nyata daripada serangan Maya Liong yang hanya merusak reputasi.
"Jadi... kita akan pergi ke sana dan aku harus membuktikan nilaiku?" tanya Karina, mengumpulkan keberanian.
"Ya. Tapi kau tidak sendirian. Kita akan menghadapinya bersama," janji Gavin.
Tiga hari berikutnya dihabiskan untuk persiapan intensif. Gavin menangguhkan semua kegiatan bisnisnya dan fokus sepenuhnya pada Karina. Ia mengajarinya lebih dari sekadar etiket dasar.
"Mereka akan mencari kelemahanmu," kata Gavin, saat mereka berlatih berjalan di aula penthouse. "Jangan pernah menunjukkan ketakutan. Jika mereka menghina masa lalumu, balas dengan fakta bahwa kau adalah satu-satunya yang bertahan di sisiku saat aku tidak punya apa-apa."
"Jika mereka mengungkit soal latar belakang keluargaku?" tanya Karina.
"Katakan pada mereka bahwa kehormatan tidak dibeli dengan uang. Bahwa kau membangun kariermu sendiri, bukan sekadar mewarisi," jawab Gavin. "Kejujuran dan integritasmu yang membuatmu berbeda dari semua wanita yang mereka kenal."
Gavin juga memberinya informasi tentang musuh potensial di sana.
"Ada sepupuku, Julian Adhitama," kata Gavin, nadanya menjadi tajam. "Dia adalah sepupu yang paling ambisius. Dia benci aku, karena dia merasa dia seharusnya menjadi pewaris utama. Dia tampan, licik, dan sangat didukung oleh beberapa Penatua. Dia akan melihatmu sebagai penghalang dan sasaran empuk. Dia akan mencoba merayu atau mempermalukanmu."
"Apa kelemahan Julian?"
"Keserakahannya. Dan dia tidak punya pengalaman hidup susah," ujar Gavin, tersenyum sinis. "Kau telah membersihkan toilet, Karina. Kau sudah melalui neraka. Julian belum pernah kesulitan membeli kopi. Ingat itu."
Pada hari keberangkatan, suasana terasa seperti misi militer. Pesawat jet pribadi Gavin yang mewah membawa mereka ke pulau terpencil yang tidak tercantum dalam peta publik.
Di dalam jet, Karina mengenakan gaun sutra minimalis, tetapi perhiasannya diletakkan di dalam brankas. Gavin ingin Karina tampil elegan, tetapi tidak mencolok, untuk menghindari tuduhan pamer.
Saat pesawat mendarat di landasan pribadi di Pulau Langit, mereka disambut oleh hembusan angin laut dan suasana yang terasa kuno. Tidak ada mobil mewah, hanya sedan hitam antik yang mengantar mereka.
Perjalanan ke kediaman utama memakan waktu lama, melewati hutan lebat yang dijaga ketat oleh pengawal bersenjata yang tidak menggunakan seragam modern.
Saat mereka tiba, Karina terkesiap. Kediaman Adhitama bukanlah istana modern, melainkan kompleks bangunan batu kuno yang tampak seperti kuil, dikelilingi oleh dinding tinggi dan tebal, dengan arsitektur yang mencerminkan kekayaan selama berabad-abad.
Di halaman utama, orang yang menunggu mereka, adalah sekelompok kecil orang. Semuanya mengenakan pakaian tradisional yang mewah, tetapi ekspresi mereka dingin dan angkuh.
Di antara mereka, berdiri seorang pria muda tampan dengan senyum sinis: Julian Adhitama.
Julian melangkah maju, tangannya diulurkan kepada Gavin. "Selamat datang kembali, sepupuku yang malang. Atau haruskah aku memanggilmu 'mantan pecundang'?"
"Selamat datang, Julian," balas Gavin, jabat tangannya sekuat baja. "Aku harap kau sudah menerima kekalahanmu dengan damai."
Julian mengabaikan Gavin dan mengalihkan tatapannya yang menghakimi ke Karina. Ia tersenyum, senyum yang menjijikkan.
"Dan ini pasti Nyonya... Karina. Jujur saja, sepupu, aku membayangkan istrimu sedikit... lebih berkelas. Aku dengar dia adalah mantan manajer pemasaran dari perusahaan bangkrut. Kau seharusnya datang padaku, aku punya puluhan wanita dari klan yang lebih baik."
Karina merasakan kemarahan Gavin di sampingnya. Tetapi ia ingat pelajaran Gavin. Jangan tunjukkan kelemahan.
Karina melepaskan tangan Gavin dan melangkah maju, lalu langsung menghadap Julian.
"Tuan Julian Adhitama," kata Karina, suaranya tenang dan tegas. "Saya tidak dipilih oleh kekayaan. Saya dipilih karena saya memiliki hati yang tidak pernah meninggalkan suami saya saat ia tidak punya apa-apa."
Ia menatap lurus ke mata Julian, tanpa gentar. "Saya adalah Karina Adhitama. Dan saya di sini bukan untuk bersaing dengan wanita lain, melainkan untuk menegakkan posisi saya sebagai Ratu. Anda harus terbiasa dengan itu."
Julian terkejut. Dia tidak menyangka wanita ini memiliki keberanian untuk menatapnya seperti itu.
Namun, sebelum Julian sempat membalas, seorang pria tua yang mengenakan jubah hitam, tampak seperti pemimpin klan, melangkah maju. Ini adalah Penatua Tertinggi.
"Cukup perdebatan di pintu masuk, Gavin," kata Penatua itu, suaranya kering seperti kerikil. "Kau membawa wanita ini ke sini, berarti kau siap dengan konsekuensinya."
Ia menatap Karina dari ujung kepala sampai kaki. "Nyonya Karina. Kau telah diuji oleh kakekku, tetapi kau belum diuji oleh klan. Persiapkan dirimu. Ujian pertama akan dimulai matahari terbit besok."
Malam itu, Gavin dan Karina ditempatkan di sebuah sayap mewah, tetapi Gavin tidak bisa tenang.
"Mereka akan mencoba menjebakmu dengan aturan klan, Karina. Mereka akan menggunakan tradisi untuk membuatmu terlihat bodoh. Kau harus berhati-hati," kata Gavin, menggenggam tangan istrinya.
Karina, meskipun takut, kini memiliki tujuan. "Aku tidak takut pada tradisi mereka, Gavin. Aku sudah menghadapi kemarahan Ibuku dan serangan Maya Liong. Apa pun yang mereka lakukan, aku tidak akan pernah membuatmu malu."
"Aku tahu," bisik Gavin, mencium keningnya. "Tapi ingat, di sini, satu kesalahan kecil bisa membuat perceraian paksa."
Gavin memeluknya erat, menatap hutan gelap yang mengelilingi kompleks kuno itu. Ia tahu, di Pulau Langit, ia hanya bisa mengandalkan satu-satunya hal yang tidak bisa dibeli dengan uang yaitu cinta dan kesetiaan istrinya.