Di dunia dark web, satu nama ditakuti: LOOTER. Tak ada yang tahu identitas aslinya, hanya bahwa ia adalah algojo bayaran dengan keterampilan militer luar biasa. la bisa menyusup, membunuh, dan menghilang tanpa jejak. Kontraknya datang dari kriminal, organisasi bayangan, bahkan pemerintah yang ingin bertindak di luar hukum.
Namun, sebuah misi mengungkap sesuatu yang seharusnya terkubur: identitasnya sendiri. Seseorang di luar sana tahu lebih dari yang seharusnya, dan kini pemburu berubah menjadi buruan. Dengan musuh di segala arah, LOOTER hanya punya satu pilihan -menghancurkan mereka sebelum dirinya yang lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khabar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16
[ILEGAL JOB]
02:33 AM
Looter melangkah keluar dari dari tempat itu yang kini penuh dengan mayat tanpa suara. Setiap langkahnya membawa jejak kematian, tetapi di balik topeng profesionalismenya, pikirannya berkecamuk dengan ketegangan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Misi ini seharusnya berjalan seperti biasa, tanpa beban. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Saat menyusuri koridor yang gelap, matanya menangkap sesuatu yang tidak seharusnya ada di medan perang ini, jeruji besi yang menutup sebuah ruangan di sudut komplek.
Ia berhenti, mengintip ke dalam. Tiga anak kecil dengan pakaian lusuh dan wajah penuh kekuatan duduk di sudut, saling berpegangan erat.
Mata mereka yang besar dan penuh ketakutan menatap Looter, seolah seolah sudah pasrah dengan nasib mereka.
Looter mengerutkan kening. Kenapa ada anak-anak di sini?
Dengan cepat, ia meraih tablet dengan akses data yang sudah dia dapatkan, dan mulai mengakses data tentang tahanan yang ada dj fasilitas ini. Matanya membelalak ketika membaca laporan yang tertera.
[LOGISTIC ROOM: 25.20.01.08]
Subjek: Anak-anak No. 137, 138, 139.
Status: Ditahan - Persiapan Transfer
Tujuan: Penjualan Organ / Eksperimen Biologis
Penjadwalan: 48 Jam Sebelum Eksekusi Final.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sudah terbiasa dengan kebrutalan dunia yang ia jalani, tetapi menjual anak-anak untuk organ atau eksperimen adalah sesuatu yang ia anggap sangat menjijikkan.
Nafasnya memburu, jemarinya mengepal erat di sekitar senjata. Ada sedikit dorongan dalam dirinya yang ia benci - rasa iba.
"Brengsek... " gumamnya pelan.
Ia mengalihkan pandangan ke anak-anak itu. Salah satu dari mereka, seorang bocah perempuan dengan rambut kusut dan mata coklat lebar, menatapnya dengan tatapan penuh harapan.
Looter menghela napas. Ia bisa saja membiarkan mereka di sini, tapi bayangan apa yang akan terjadi pada mereka jika ia tidak bertindak membuat darahnya mendidih.
Tanpa berpikir panjang, ia mengangkat senjatanya dan menembakkan peluru senyap ke kunci jeruji. Pintu terbuka dengan suara lirih.
Anak-anak itu mundur, takut. Looter berjongkok di depan mereka, menyimpan senjatanya untuk sesaar.
"Ayo keluar dari sini," katanya dengan suara serak.
Anak-anak itu tidak langsung bergerak. Mereka ragu, tetapi ketakutan yang lebih besar membuat mereka akhirnya menurut.
Looter meraih tangan si bocah perempuan dan mendorongnya maju. "Jangan bersuara. Ikuti aku."
Dia tahu, membawa anak-anak dalam misi seperti ini adalah beban tambahan. Tapi di saat yang sama, hatinya sudah mengambil keputusan.
Entah mengapa?
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia memilih untuk tidak hanya sekedar menjalankan tugas. Kali ini, ia memilih untuk menyelamatkan sesuatu yang bisa diselamatkan.
...----------------...
03:25 AM
Markas batalion sudah rata. Di mana-mana, api menyembur dari reruntuhan dan asap tebal memenuhi langit malam.
Semua yang dulu menjadi pertahanan batalion kini hanyalah puing dan kobaran api, saksi bisu dari kekejaman Looter.
Namun, situasi di wilayah itu masih bergolak. Kelompok lain, yang haus akan kekuasaan, berusaha merebut sisa wilayah batalion yang tersisa. Di sisi lain, beberapa prajurit sisa yang bertugas di luar sempat berkumpul untuk mempertahankan apa yang tersisa.
"Kita harus merebut kembali wilayah ini!" Teriak seorang komandan kecil dari sisa batalion.
Suara tembakan dari pihak lawan terdengar di kejauhan, menggelegar bersama rintihan pertempuran. suasana berubah kacau;teriakan, tembakan yang brutal, dan jeritan prajurit saling bersahutan mengisi udara.
"Siap, hidup atau mati!" gumamnya dalam hati.
Tanpa ampun, ia menyelinap mendekati empat orang di depannya. Dalam sekejap, ia menerjang seorang prajurit yang sedang berdiri sendirian di pinggir lapangan, menusuk dengan brutal ke bagian lehernya.
Darah menyembur, mengotori seragam hijau yang tadinya bersih.
Salah satu prajurit beteriak, "Tembak! Tembak!"
Namun, responnya terlambat....
Looter bergerak cepat, mengalihkan mereka dengan tembakan cepat dari pistol berperedamnya. Setiap tembakan yang keluar dari senjatanya berbicara tentang ketelitian dan kekejaman yang mengerikan, membuat tubuh prajurit tercekat dan terjatuh satu per satu.
Di antara keributan, seorang prajurit berteriak, "Siapa itu?!"
Namun, Looter tak memberi jawaban, dia hanya berlari melawan kerumunan, membawa tiga anak itu sambil terus menembak siapa saja yang mencoba menghalangi jalannya. Anak-anak itu masih ketakutan, salah satu bocah berbisik lirih, "Kak, aku takut..." sambil menggenggam tangan temannya erat.
**"Jangan takut, aku akan melindungi kalian," ** jawab Looter dengan penuh keyakinan.
Ketegangan di udara makin terasa, seolah waktu menyusut di tengah teriakan dan deru tembakan. Semakin dekat ke bukit, serangan musuh semakin gencar dan tak terduga. Dalam sekejap, Looter mendengar suara langkah berat mendekat dari segala arah.
**"Kita harus bergerak cepat, tidak ada waktu untuk ragu!" **teriaknya sambil menembak serentak ke kiri dan kanan.
Di tengah kejaran musuh, Looter sempat mengirim pesan dari tablet yang terpasang di lengannya.
> Hai! Kau masih punya hutang denganku, kan? Aku akan menagihnya sekarang.
Pesan singkat itu terkirim ke entah siapa penerimanya.
Peluru brutal melesat, menembus kegelapan perang yang mencekam keselamatan. Suara 'Jlebb' begitu ringan dari arah musuh, menembus pinggang membuat setiap langkah terasa seperti melawan arus deras. Namun, Looter menolah menyerah, menatap ke depan dengan mata penuh keberanian.
"Aku terluka, tapi kalian harus selamat," bisiknya sambil mengusap darah di luka dengan kain lap.
Setibanya di bukit, Looter melihat siluet perahu karet yang telah disiapkan.
Sungai mengalir di bawah bukit tampak seolah menjadi jalan pelarian yang penuh harapan. "Hampir sampai, bertahan sedikit lagi" teriaknya dengan semagat yang menggebu.
Mata mereka tertuju pada perahu yang berkilau meski diterpa bayang-bayang kegelapan. Namun, musuh tiba-tiba bertambah muncul dari segala arah yang tak terduga, menutup jalur menuju evakuasi. Peluru brutal kembali melesat, menciptakan tabrakan antara kehancuran dan harapan yang tersisa.
"Cepat, lari" perintah Looter menggema di tengah teriakan dan deru tembakan.
Dalam situasi yang semakin mencekam, Looter menarik salah satu anak-anak ke samping dengan sigap. "Jangan berhenti, Jangan menoleh!" perintahnya penuh kewaspadaan sambil terus maju.
Kakinya terengah-engah, darah mengalir di pinggang yang kembali terbuka bekas tembakan musuh. Meski begitu, lari adalah satunya jalan, dan memastikan setiap langkah mereka lebih dekat. Dengan sudah payah, mereka akhirnya mencapai bukit yang telah ditandai sebelumnya.
Di sana, perahu karet sudah mengunggu, dengan mesin outboard yang menyambut kedatangan. Desiran angin malam berpadu dengan deru tembakan musuh, menciptakan irama pertempuran yang mendebarkan.
"Kita akan segera terbangun dari mimpi buruk ini," bisik Looter meski lukanya semakin terasa.
Dalam momen kritis, mereka harus melewati satu gelombang terakhir serangan. Sekelompok musuh tiba-tiba mengepung titik evakuasi berusaha menghentikan langkah mereka. Dengan brutal, Looter membuka tembakan penutup, setiap shot mengorbankan sisa nyawa musuh yang tersisa.
Peluru yang berseliweran menciptakan panorama kekacauan. Saat Looter terjatuh di antara tembakan yang menggila, ia tetap berusaha bangkit meski terluka. Nyeri di pinggang mengerikan, namun dia tidak bisa berhenti di sana.
"Aku terluka, tapi kalian harus selamat... jangan pernah lupakan keberanian kita!" teriaknya serak.
Kata-kata itu menancap di hati anak-anak, menyalakan api semangat yang kuat. Dengan keberanian yang menyala-nyala, Looter dan anak-anak itu akhirnya berhasil menaiki perahu karet. Mesin outboard dinyalakan, mengaum seolah mengusir bayang-bayang perang yang menghimpit.
Mereka menembus gelombang itu dengan susah payah, meninggalkan medan yang penuh dengan hal brutal dan darah. Di kejauhan, bayangan musuh perlahan menghilang, menyisakan harapan akan hari baru bagi anak-anak.
Saat perahu menjauh dari medan tempur, Looter menghela napas panjang, merasakan campuran antara kelegaan dan sakit yang mendera. "Kalian aman sekarang, tapi perjuangan belum usai," ucapnya lembut kepada anak-anak yang masih terdiam dengan penuh harapan.
Mata mereka yang lelah dan penuh trauma menatapnya, selah bertanya tentang masa depan yang tak pasti. Dalam keheningan malam, namun di atas perahu itu setiap pelukan dan bisikan menjadi janji behwa mereka akan bertahan.
Suara radio mengalun di telinga Looter.
"Terima kasih, Looter. Utang nyawa belum terlupakan, apapun itu akan aku bantu."
Suara itu merupakan jawaban dari pesannya beberapa saat yang ia kirimkan lalu.
To Be Continued.....