Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Noah menunggu jawaban dari asistennya, menit demi menit berlalu tanpa terasa. Hingga suara Benjamin kembali terdengar.
"Penyerangan yang Anda rencanakan gagal total, Tuan." Jawab Benjamin.
"Gagal? kenapa bisa gagal?" desak Noah tak sabar.
Benjamin menghela napas panjang, "Nona Eleanor berhasil mengalahkan para orang suruhan kita."
Noah mengeraskan rahang, jemarinya mengepal di atas meja. Matanya menatap tajam ke luar jendela, ke arah gemerlap kota yang kini terasa seperti ejekan atas kegagalannya.
"Kamu bercanda, Benjamin?" suara Noah terdengar dingin dan menusuk.
"Tidak, Tuan," jawab Benjamin dengan nada serius. "Kami sudah mengatur segalanya dengan matang, tapi Nona Eleanor sepertinya sudah menduga serangan itu. Dia tidak hanya bertahan, tapi juga melawan. Anak buah kita kalah telak."
Noah memijat pelipisnya, berusaha menahan amarah yang mulai membakar dadanya. "Berapa orang yang tertangkap?"
"Tidak ada yang tertangkap, Tuan. Mereka hanya terluka, karena mereka berhasil melarikan diri."
Noah menggeram pelan. Ini bukan sekadar kegagalan biasa, ia sama sekali tidak pernah memperkirakan jika Eleanor bisa mengalahkan orang-orang yang ia sewa.
"Bagaimana dengan Eleanor sekarang?" tanyanya dengan nada lebih tenang.
"Dia kembali ke kediamannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi saya yakin dia tidak akan tinggal diam, Tuan. Kita mungkin baru saja membuka perang yang lebih besar."
Noah menyandarkan punggungnya ke sofa, mengembuskan napas panjang. Matanya menatap kosong ke dalam gelas yang sudah kosong.
Aria telah menawarkan kerja sama untuk menyingkirkan Eleanor, dan kini, wanita itu justru membuktikan bahwa ia tidak bisa diremehkan.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Entah kenapa, alih-alih frustrasi, Noah justru merasa tertantang.
"Baik," katanya akhirnya. "Kita ubah rencana. Jika Eleanor ingin bermain, aku akan pastikan dia menyesal telah melawan."
***
Tidak berbeda jauh dengan Noah, kini Eleanor menyempatkan diri untuk meretas semua CCTV yang ada di area jembatan tempatnya di serang.
Meski jam sudah menunjukan pukul empat pagi, ia sama sekali tidak berniat untuk tidur. Ia belum bisa tenang sebelum tahu siapa orang yang telah membuatnya celaka.
Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, mem-bypass firewall demi firewall dengan presisi seorang ahli. Beberapa detik kemudian, layar di depannya mulai menampilkan rekaman dari berbagai sudut jembatan.
Eleanor mempercepat playback, matanya tajam mengawasi setiap pergerakan yang terekam di layar laptopnya.
Di menit ke-22, tepat sebelum ia diserang, sebuah bayangan muncul dari sudut kiri layar. Sosok itu mengenakan hoodie hitam, wajahnya tertutup, dan gerakannya terlalu mulus seolah sudah terbiasa menghindari CCTV. Eleanor menyipitkan mata, mengulang rekaman dalam gerakan lambat.
"Tunggu…" gumamnya. Ia menangkap sesuatu yang nyaris terlewat.
Sosok itu, meski mengenakan hoodie dan berusaha menyembunyikan identitasnya, memiliki ciri khas yang tak bisa disembunyikan tangan kirinya sedikit kaku saat bergerak, seperti ada cedera lama atau kebiasaan tertentu.
Eleanor membuka database pribadinya, menelusuri setiap catatan yang pernah ia kumpulkan tentang orang-orang yang memiliki gaya gerak seperti itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan kecocokan.
Matanya membelalak. "Wah, jadi itu dia..."
Orang yang berada di balik pria berandalan itu bukanlah orang asing. Ia mengenalnya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, orang itu seharusnya sudah mati.
"Aku pikir kita tidak akan bertemu lagi," ujar Eleanor terkekeh.
Tanpa menunggu lama, ia menyalin rekaman itu dan mulai menelusuri sosok pria tersebut.
Jarinya dengan cekatan menelusuri berbagai database rahasia yang ia akses secara ilegal.
Jika orang itu benar-benar masih hidup, pasti ada jejak yang bisa ditemukan transaksi keuangan, pergerakan sinyal ponsel, atau bahkan aktivitas online yang tidak sengaja tertinggal.
Sementara proses pencarian berjalan, Eleanor menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ingatan tentang pria itu perlahan kembali ke dalam benaknya.
Sosok yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, seseorang yang seharusnya tidak mungkin muncul lagi.
Layar laptopnya berkedip, menandakan hasil pencarian telah ditemukan. Mata Eleanor langsung tertuju pada satu nama yang muncul di daftar pencarian.
"Benjamin Graves"
Ia mengernyit. Nama itu seharusnya sudah tidak ada dalam daftar siapa pun selama tiga tahun terakhir. Tapi kini, jejak digitalnya mulai bermunculan kembali.
Transfer anonim dalam jumlah besar ke akun-akun tersembunyi, akses masuk ke sistem rahasia, serta perjalanan yang tidak pernah tercatat secara resmi. Bukan hanya itu, di sana juga tertera nama orang yang selama ini memperkerjakan Benjamin.
"Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Benjamin?" gumamnya.
Eleanor mengecek lokasi terakhir di mana jejaknya terdeteksi. Sebuah alamat muncul di layar.
Tanpa ragu, ia menutup laptopnya setelah menyimpan semua data yang ia perlukan.
"Aku tidak percaya jika dia masih hidup." Gumam Eleanor.
Ingatannya kembali ke masa tiga tahun sebelum kematiannya, saat ia masih menjadi Emma sang Queen of the Fight.
Malam itu hujan turun dengan deras, petir menggelegar di kegelapan malam yang sunyi. Emma menyeka air hujan yang membasahi wajahnya, ia menatap sosok pria yang kini berdiri di depannya.
Benjamin Graves.
Pria itu tampak tak terpengaruh oleh hujan, tubuhnya tegap dengan tatapan dingin yang tak bisa dibaca. Di antara kilatan petir, Emma bisa melihat luka lama di sudut bibirnya bekas pertarungan mereka yang terakhir.
"Kamu benar-benar tak bisa dihancurkan, ya?" suara Emma nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Benjamin hanya menyeringai kecil, matanya menatap Emma dengan penuh perhitungan. "Kamu benar-benar mengira bisa lepas dariku begitu saja?"
Emma mengepalkan tangannya. Saat itu, ia sudah berencana untuk rehat dari pekerjaannya. Meninggalkan semuanya pertarungan, organisasi, dan yang terpenting, Benjamin. Tapi pria itu selalu satu langkah di depannya.
"Aku tidak ingin ini berakhir dengan darah," Emma memperingatkan.
Benjamin melangkah maju, kepalanya sedikit dimiringkan. "Tapi kamu tahu, Emma. Kita tidak pernah bisa lepas dari itu."
Emma menghela napas panjang, tubuhnya bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Hujan semakin deras, membasahi tanah di bawah kaki mereka. Untuk terakhir kalinya, ia berharap masih ada cara lain.
Tapi harapan itu pupus saat Benjamin melayangkan pukulan pertama di wajah Emma, hingga membuat tubuh Emma terhuyung dan jatuh ke aspal.
"Kamu pikir bisa lepas dariku begitu saja hm?" Benjamin bergerak mendekati Emma.
"Oh, sebenarnya tidak begitu." Emma perlahan menegakan kembali tubuhnya. "Aku hanya tidak berniat mengotori tanganku dengan darahmu, tapi sepertinya kamu ingin menguji skill yang aku miliki, Ben."
"Munafik! kamu selalu seperti ini Emma, kamu membanggakan skillmu yang tidak seberapa itu." Sinis Benjamin semakin mengikis jarak dengan Emma.
Mendengar itu, Emma hanya terkekeh. Ia sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh tatapan Benjamin yang menusuk.
"Bilang saja kalau kamu iri, hanya karena aku lebih unggul darimu... kamu sampai mengorbankan persahabatan kita?" Emma terkekeh miris.
Mereka sudah bersahabat selama lima tahun, pertemuan mereka terjadi sejak Emma berusia lima belas tahun. Benjamin bekerja di sebuah perusahaan ternama, sedangkan Emma lebih memilih bekerja dengan bebas tanpa terikat dengan perusahaan mana pun.
"Persahabatan kita tidak ada artinya setelah kamu..." Benjamin mengurungkan niatnya ketika secara tiba-tiba Emma mengeluarkan pistol dari sakunya.
Emma menyunggingkan senyum sinis di bibirnya, "Aku sudah mengatakan bahwa sejak awal, tidak boleh ada perasaan di antara persahabatan kita, Ben."
"Sial." Benjamin mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. "Aku tidak tahu akan seperti ini, Emma."
"Pembohong, kesalahanmu bukan hanya itu! kamu bahkan membocorkan rencanaku pada target yang harus aku singkirkan. Apa kamu pikir aku bodoh sampai tidak tahu hah?!" seru Emma dingin.
"A-aku..."
Dor.
Satu peluru melesat dan menembus dada Benjamin, pria itu jatuh terduduk dan muntah darah dari mulutnya.
"Aku harap kita tidak bertemu lagi, Benjamin. Meski itu di neraka sekalipun." Ucap Emma dan pergi meninggalkan Benjamin yang tengah sekarat.
thor 😄😄😄😄😄😄